IMPG-15

1570 Words
"Sampai ketemu besok!" Balgom melambaikan tangannya lewat kaca jendela yang terbuka. Dae Eun Jung membalas lambaian tangan Balgom.  Setelah kepergian Balgom dan Yerome--Jerome memilih pulang lebih dulu dengan berjalan kaki--ia melajukan sepeda motornya menyusuri jalanan yang kanan kirinya adalah perkebunan.  Cukup pintar Hyun Sik mencari markas, tempat ini tidak terjangkau GPS dan tidak ada kamera pengawas pula di setiap sudut jalan.  Menyusuri jalanan yang beratapkan langit gelap. Angin dingin tertiup, membuat kulit lehernya merinding. Ia memandang ke atas sekilas.  "Hn, sepertinya hujan akan kembali turun," gumamnya.  Drrrt... drttt... drrtt...  Apalagi jika bukan suara getar ponsel yang membuat saku jaketnya bergetar. Karena hal itu, ia harus menepi. Tangannya merogoh saku lalu dikeluarkannya ponsel butut miliknya.  Ah, ponsel ini harus diganti secepatnya.  Satu nama di layar plasma miliknya membuat dahinya mengernyit dalam. Untuk apa Ryeon menghubunginya? Bahkan sampai ratusan kali. Apa laki-laki itu kekurangan pekerjaan?  "Halo?"  "Kau di mana?" Terdengar nada khawatir dari suara Ryeon juga seperti tergesa.  Menjauhkan ponselnya, ia mengamati layar plasma itu sambil berpikir.  "Kau kenapa?"  Di seberang sana Ryeon berdecak. Ia berekspresi kesal, seakan ada Eun di depannya. "Kau yang kenapa? Pergi begitu saja?!" Sekarang laki-laki itu membentaknya.  Dae Eun Jung terdiam, mencoba mengingat apa yang terjadi. Lalu pada akhirnya ia ingat, sebelum ia memutuskan untuk rapat dengan timnya, ia sempat makan malam bersama Ryeon. Lalu pada akhirnya berakhir dengan adu mulut karena Ryeon yang menuduhnya Psikopat.  Padahal itu benar, tapi ia pura-pura marah saja.  Mengingat itu, ia masih harus berpura-pura untuk marah pada Ryeon. "U--untuk apa kau mencariku?" tanya Dae Eun Jung dengan nada ketus.  Terdengar geraman dari seberang sama, Dae Eun Jung terkikik pelan.  "Kau harus tahu, aku mencarimu dan kau pergi tanpa berpamitan itu benar-benar membuatku khawatir!"  "Memangnya siapa kau harus mengkhawatirkanku?"  Tidak tau mengapa atau mungkin perkataan Dae Eun Jung salah, tapi yang jelas di seberang sana Ryeon langsung terdiam. Sepertinya, perkataannya memang ada yang salah.  Keterdiaman Ryeon membuat Dae Eun Jung berpikir sejenak, banyak hal yang ia pikirkan dalam kurun waktu singkat itu. Ia juga mengamati ke kanan kirinya yang merupakan perkebunan. Sangat nampak sepi dan gelap. Lalu bodohnya ia justru berhenti di tengah-tengah sepi itu.  Mungkin sekitar dua menit hingga Ryeon membuka suaranya, "pulanglah. Aku akan menunggumu di rumah," ujar Ryeon pelan. Terdengar nada sendu. Tapi gadis dengan jaket hitam itu sepertinya tidak peka.   Mulutnya baru saja akan terbuka untuk membalas perkataan Ryeon. Tapi, tiba-tiba tetesan air yang jatuh dari langit mengenai pangkal hidungnya refleks membuat dahinya mengernyit. Ia berdecak pelan. Ia belum sampai rumah, tapi langit sudah tidak bersahabat.  "Kau pulang saja, sepertinya aku akan terjebak hujan." Eun hanya tak mau membuat Ryeon menunggu. Kasihan lelaki itu, jika malam ini langit tidak bersahabat lalu mengguyurkan hujan tepat saat ia masih di sini, maka Ryeon akan semakin lama menunggunya. Atau kemungkinan paling buruknya adalah ia tidak bisa pulang.  Menerobos hujan yang deras dengan sepeda motor adalah cara yang salah. Selain jarak pandang yang tentu akan membuat masalah, badan juga akan jadi korbannya.  Dan bertepatan dengan itu, hujan deras tiba-tiba mengguyur area itu. Membuat Dae Eun Jung langsung mematikan panggilan telfonnya sepihak dan bergegas melaju, sebelum hujan membuat jarak pandangannya kabur.  Baru saja ia berpikir akan hal itu dan langit seakan tak menunggunya untuk mencari tempat lebih dulu.  Sementara itu, Ryeon yang sudah kembali di rumah Dae Eun Jung bisa bernapas lega. Meski gadis itu belum kembali, setidaknya ia sudah tau jika gadis itu tidak apa-apa.  Ryeon masuk ke dalam rumah, ia kembali menyiapkan makanan untuk Dae Eun Jung tapi kali ini ia menaruhnya di ruang tamu saja. Biarkan mereka makan dengan tv sebagai hiburan. Setelah kejadian tadi, mereka nanti pasti akan canggung.  Ryeon mengganti makanan yang tadi dengan yang baru.  Saat tangannya baru selesai meletakan sendok dan lainnya. Otaknya seakan mengingat apa yang Dae Eun Jung katakan lewat telpon sebelum panggilan berakhir.  Gadis itu akan terjebak hujan?  Seketika pula Ryeon melangkah keluar, ia memandang ke atas. Langit memang nampak gelap. Tapi ia tidak yakin apa itu karena awan mendung atau bukan. Masalahnya, saat malam hari mendung ataupun tidaknya hampir terlihat sama.  Kehadiran bintang dan bulan yang bisa menjadi pembeda.  Satu hal yang ia sesali, mengapa ia tidak menanyakan di mana posisi gadis itu sekarang? Kalau begini caranya ya sama saja. Ia tetap akan memikirkan gadis itu.  Huh! Dae Eun Jung memang bisa membuatnya gila. Gadis yang baru ditemuinya beberapa waktu, tapi sudah mampu membuatnya kalang kabut seperti ini. Lalu bagaimana jika gadis itu sudah menjadi miliknya?  Tapi apa yang ia pikirkan itu hanyalah sebatas 'jika'.  *** Hujannya semakin deras dan Dae Eun Jung harus berhenti di sebuah gubuk pinggir jalan. Dengan kegelapan yang mendominasi sekelilingnya. Tapi untungnya, di kala seperti ini otaknya dapat digunakan untuk berpikir, ia menggunakan sepeda motornya untuk penerangan.  Untung saja suara hujan menuliskannya dari kesunyian di area perkebunan ini.  Saat ia melirik jam, memang sudah larut malam. Harusnya ia sudah sampai rumah dan tidur di kasur nyaman.  Menghela napas pelan, kemungkinan ia tidur di sini saja. Dengan badan yang sedikit basah karena tadi sempat terguyur hujan sebelum sampai di gubuk ini "Siapa yang kau tunggu?" Suara bariton itu membuat Dae Eun jung terkesiap, seketika membuka kelopak matanya. Dan saat itu juga, di depannya sudah ada Jerome dengan payung yang melindungi dirinya.  Sejak kapan laki-laki itu ada di sini? Dan bukankah Jerome sudah pulang lebih dulu.  "Kau mengikutiku?" tukas Dae Eun Jung sambil menatap Jerome sinis. Ia masih ingat bagaimana ngototnya laki-laki itu tadi. Ya tentu saat sedang rapat dan selesai rapat.  Jerome melipat payungnya, lalu duduk di dekat Dae Eun Jung. "Tidak. Ini tempatku. Aku sering berdiam di sini," jawabnya tanpa melihat ke arah Dae Eun Jung.  "Kau mencoba melucu?" sewot Eun, disambut lirikan tajam oleh Jerome.  "Kukira kau sudah pulang."  "Aku tidak akan pulang jika hujan." Jerome mengambil rokoknya, menyulutnya lalu dihisap oleh laki-laki tampan itu.  "Lalu, di mana kau mendapatkan payung itu? Setahuku kau sudah pulang lebih dulu, jadi harusnya kau sudah sampai. Serta arahmu berjalan... Mengapa dari sana?" Dae Eun Jung menunjuk arah di mana Jerome datang sebelumnya. Pertanyaan Dae Eun Jung yang terlalu banyak itu membuat Jerome menatapnya tak suka. Dan laki-laki itu memilih untuk tidak menjawab. "Kenapa kau tidak mematikan motormu?" tanya Jerome sambil mengangkat dagunya menunjuk sepeda motor Eun yang mau tidak mau harus kehujanan karena gubuk yang tidak begitu luas untuk menampung motornya.  "Setidaknya hanya langit saja yang gelap." Entah mengapa bibirnya malah mengucapkan kata itu. Setelahnya ia sadar dan merutukinya dalam hati.  Jerome menoleh. "Hatimu tidak?"  Melirik Ryeon dengan ragu-ragu. "A--apa maksudmu?" Kenapa saat dingin-dingin begini justru pipinya seakan memanas?  "Kau... Kenapa? Ada apa dengan pipimu? Apa kau alergi?" Jerome menunjuk wajah Eun, wajah Jerome begitu dekat dengan wajah Eun membuat gadis itu kesulitan bernapas karenanya. Bagaimana tidak, ia harus menahan napas untuk jarak sedekat ini.  Eun mendorong bahu Jerome keras. "Ck, tidak! Aku hanya kedinginan," elak Eun yang tentu saja berbohong.  "Begitu ya?" Terlihat Jerome senyum-senyum sendiri.  "I---iya." Dan Eun terlihat salah tingkah.  "Apa kau yakin tidak ingin pulang?"  Dae Eun Jung menatap ke langit. "Hujan masih deras. Aku tidak ingin mengorbankan tubuhku." Dia lalu menoleh ke arah Jerome. Satu pertanyaan yang muncul di benaknya. Mengapa Jerome tidak seperti biasanya, mengapa laki-laki itu tidak menggunakan urat ketika berbicara dengannya? Apa Jerome sudah berubah? Atau memang pribadinya seperti itu?  Dan Dae Eun Jung lebih condong pada kemungkinan kedua.  "Baiklah, kita tunggu di sini sampai reda," ucapnya sambil memainkan ujung payung.  Semakin terheran, sebenarnya apa yang terjadi pada Jerome.  "Kau bilang kita?" Jerome menoleh lalu mengangguk sekali. Tatapan mereka bertemu, sebelum akhirnya Dae Eun Jung memilih memandang ke bawah.  "Aku akan menemanimu," ucapnya sembari menggeser duduknya mendekati Dae Eun Jung.  Entah mengapa Eun cukup tidak nyaman dengan sikap Jerome yang berubah drastis ini.  "Kau tau, daripada aku menunggu hujan bersamamu di sini...." Dae Eun Jung berdiri. "Lebih baik aku pulang dan menerobos hujan," sambungnya terdengar serius.  Jerome berdiri, mencekal pergelangan Eun saat gadis itu akan melangkah mendekati motornya. Jerome dengan niat yang memang ia rencanakan, mendekatkan tubuhnya ke Dae Eun Jung.  "A--apa yang kau lakukan?!" tukas Eun sambil melotot. Ia menjauh sebisa mungkin saat ia mendapati sinyal-sinyal bahaya dari pergerakan Jerome.  Laki-laki itu menampilkan senyuman miring yang sangat jelas. Mata laki-laki itu juga menyorotnya penuh gairah.  Kurang ajar ternyata Jerome memang sudah menunggunya dan merencanakan ini! Ia bukan orang bodoh yang tak bisa membaca rencana lawan.  Tangannya masuk ke dalam saku hoodie. Sepertinya Jerome lupa, kemampuan apa yang ia punya.  Jerome boleh saja seorang hacker handal, tapi ia adalah psikopat.  Mendekatkan tubuhnya, Jerome mengambil cepat tangan Eun, menguncinya menjadi satu dan digenggam oleh cowok itu.  Sial!  Tubuh Dae Eun Jung di dorong ke belakang dengan pelan, Jerome menuntunya agar gadis itu duduk kembali di gubuk itu.  Ini saatnya....  Jerome mendekatkan bibirnya pada leher jenjang milik Eun. Menghirup wanginya lalu mengendusnya dalam.  Eun melotot dan berusaha sebisa mungkin menjauhkan dirinya dari Jerome. Kurang ajar, bahkan tanganya dikunci kuat-kuat.  Eun mencoba mencari cara terbaik. Ia memanfaatkan kesempatan saat Jerome sedang mengecupi lehernya yang mulus ini.  "Mengapa kau tidak mengeluarkan suaramu seperti saat di mobil kala itu?" tanya Jerome dengan suara serak.  "f**k! Kau hanya laki-laki gila. Mengapa kau selalu marah padaku dan sekarang kau menikmati tubuhku?!"  "Kau bilang aku menikmati? Kau tau, aku hanya akan membuatamu memohon!"  "Banyak omong!!"  DUGG! Eun membenturkan keras-keras kepalanya pada kepala Jerome. Sontak laki-laki itu melepaskan tangan Eun yang dikunci olehnya dan meringis kesakitan. Eun juga meringis kesakitan, jangan kira itu tak sakit. Bahkan kepalanya terasa pening dan telinganya berdengung.  "Kau!!" Jerome menatapnya tajam. "Apa?" tantang Eun.  "Aish, kepalaku...," lirih Jerome sambil memegangi kepalanya yang mengeluarkan sedikit darah. Dia menatap Eun penuh murka, lalu tanpa aba-aba, Jerome menempelkan bibirnya pada Eun.  Eun tak bisa berkutik karena badan Jerome menguncinya di sudut gubuk itu. Sebisa mungkin ia mendorong bahu Jerome, tapi laki-laki itu semakin brutal.  "Ahh," desah Eun ketika jemari Jerome mengelus bagian bawahnya yang sayangnya dapat dijangkau oleh laki-laki laknat itu.  Jerome membuka kancing celananya saat Eun terengah dan napasnya memburu. Mengeluarkan miliknya, lalu Jerome membuka kaki Eun agar melebar.  "Apa yang ka---"  Lagi-lagi bibir Eun dibungkam oleh Jerome.  "Kau akan menikmatinya...." 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD