IMPG-17

1502 Words
Teriakan Eun dengan menyembulkan kepalanya dari kaca jendela membuat Ryeon balik kanan. Eun melambaikan tangannya dari kaca jendela mobil, membuat Ryeon melangkah sambil menampilkan senyumnya.  "Sudah tidak kedinginan bukan?" Percayalah itu hanya basa-basi Ryeon setelah masuk ke dalam mobil. Jaketnya rupanya tidak terlalu bisa menutupi seluruh tubuh Eun. Bagian paha hingga kaki juga agak tereskpos.  Laki-laki seperti dirinya, tentu tak bisa menahan matanya untuk tidak menoleh dan memperhatikan itu. Tapi, sebisa mungkin ia mencari fokus lain untuk matanya.  "Emm, sepertinya pahaku..." Eun sengaja menggantungkan ucapannya. Semoga saja Ryeon paham. Ia cukup merasa tidak nyaman dengan pahanya yang sedikit terekspos padahal jika dibilang pahanya tidak terlalu buruk.  Ryeon tersenyum. Ia paham, Eun cukup tidak nyaman. "Tidak pa-pa, tenang saja aku tidak akan mengintipnya." Katakanlah itu memang omong kosong. Ia sedari tadi menahan diri untuk tidak melihatnya.  "Sekarang kita pulang," sambung Ryeon. Eun menyetujuinya. Kedinginan bukanlah kondisi yang bagus. Ia ingin segera pulang dan bergelung dalam selimut yang tebal.  *** Entah perasaan apa yang menghinggapi hatinya. Seketika saja rasa benci itu berubah menjadi suka. Atau lebih tepatnya penasaran.  Dae Eun Jung, gadis menyebalkan dengan seribu kesombongan itu, berhasil membuat jantungnya berdebar walau hanya seperkian detik. Gadis itu mampu membuatnya seakan merasakan perasaan yang sudah lama mati. Sejak kekasih tercintanya kala itu, pergi karena suatu penyakit.  Mengingat itu, Jerome jadi mencengkeram kuat-kuat setang motornya. Semenjak kepergian Selena, ia sudah mati rasa. Namun berkat adanya Dae Eun Jung rasa itu tumbuh kembali.  Meski saat mendapati ada sosok laki-laki lain yang dekat dengan gadis itu. Seketika juga hatinya gundah. Ia tak tau siapa laki-laki yang rela menjemput Eun saat hujan begini. Rela mencari gadis itu dan terlihat khawatir.  Ia harus segera mencari tau siapa laki-laki itu sebelum perasaanya kian tumbuh. Ia tak mau, perasaannya tak terbalas dan pada akhirnya ia akan kecewa lagi.  Motor Eun, melenggang melewati ribuan hujan yang jatuh menusuk tiap inci tubuh Jerome. Malam gelap nan gemuruh ini menjadi saksi, bahwa ia kembali jatuh cinta.  *** Dengan cepat, Ryeon membukakan pintu untuk Eun. Sudah memegang payung di tangan kirinya agar mereka tak kehujanan. Sesekali mata Ryeon tak bisa fokus pada satu titik saja. Paha mulus Eun lah alasannya.  Ryeon melipat payungnya saat mereka berdua sudah masuk ke dalam rumah. Eun segera lari ke dalam. Ia mulai berganti pakaian. Ryeon kembali menyiapkan makanan yang mungkin saja kembali dingin.  Semilir angin juga membuat kulit Ryeon dingin. Walau ia tak basah, percikan air mengenai baju dan juga celana bagian bawah. Rambutnya juga sedikit basah.  Kedua mata Ryeon segera menoleh, menatap Eun yang sudah berganti dengan pakaian tebal. Switer longgar dengan warna yang sudah pudar dan celana jeans besar dengan warna yang juga sudah luntur. Sesaat ia tersenyum tipis saat Eun melangkah mendekatinya.  Gadis yatim piatu yang tumbuh dengan baik, itulah batin Ryeon.  Mungkin hanya satu dua orang di luar sana yang dapat bertahan seperti Dae Eun Jung. Dan ia benar-benar kagum. Salah satu alasannya juga itu. Kesederhanaan dan juga keberanian Dae Eun Jung menghadapi dunia sendirian. Itulah yang membuat Ryeon suka pada gadis itu.  Meski tak terlihat, Eun seperti memberi kekuatan untuk siapa saja yang mengerti kehidupannya. Dan justru bukan sebaliknya.  Ia jadi bertanya-tanya, dengan siapa Dae Eun Jung mengungkapkan keluh kesahnya jika ibunya sudah tiada? Ibu Ryeon adalah tempat curhatnya dan Ayahnya adalah tempat Ryeon meminta semua fasilitas mewah. Memang terdengar manja dan Ryeon akui itu. Sementara Eun, dia berbeda sekali. Jangankan barang mewah, dipeluk pun mungkin sampai-sampai Eun merindukannya.  "Kau lapar?" tanya Ryeon, Eun mengangguk.  Eun mengamati laki-laki di depannya. Kulit Ryeon nampak pucat, bibirnya sedikit membiru. "Ryeon, kau seperti kedinginan. Apa kau perlu switer atau sejenisnya?"  Ryeon tersenyum. "Tidak perlu, tidak terlalu dingin." Bohong jika ia tidak kedinginan, nyatanya ia terus menggosok-gosok telapak tangannya di balik meja. Ia hanya tidak ingin merepotkan Eun. Gadis itu sedang menyantap makanannya. Tak mungkin membiarkan Eun berbolak-balik mengambilkan switer atau selimut untuknya.  "Kau tidak makan?" tanya Eun lagi.  "Tidak. Makanlah dan habiskan semuanya jika kau kuat," kata Ryeon bercanda. Eun terkekeh kecil. "Jika itu menyangkut makanan, aku selalu kuat," jawabnya. Keduanya terkekeh. Eun mulai menyuapi dirinya.  "Mmm, malam ini aku tidur di sini kan?"  Pergerakan Eun terhenti. Ryeon jadi terdiam dan merasa bahwa Eun sepertinya tidak akan menerimanya. Maksudnya tidak akan mengizinkannya untuk tinggal malam ini. Apalagi setelah kejadian tadi.  "Eun, kau... Masih marah padaku tentang kejadian tadi?" Pelan-pelan Ryeon bertanya agar Eun tak kembali marah. Atau lebih tepatnya sekadar memastikan. Menelan makanannya, Eun mengambil gelas yang berisi air lalu diteguknya beberapa kali. "Kau tau, aku tidak bisa marah pada orang yang sudah menyelamatkanku." Senyum Ryeon seakan malu-malu untuk terbit. Mengapa rasanya senang sekali mendengar jawaban itu. "Kau, habiskan makanannya setelah itu bergegaslah tidur." Eun mengangguk.  "Ah, Ryeon, ada yang ingin kutanyakan." Eun menggigiti ujung sendok.  "Apa?" Ryeon memainkan kaleng bir.  "Dari mana kau tau jika aku ada di jalan itu?" Eun harus mencari tau, sumber Ryeon tau jalan itu. Laki-laki itu menatapnya.   "Dari anak buahku, kenapa?"  Anak buah Ryeon? Bukankah dua orang yang membawakan makanan dan kasur tadi? Eun berpikir sejenak. Memangnya siapa mereka berdua? Apa juga seorang mafia? Apa mereka berdua sudah tau markas The Darkness of heaven?  "Mereka hacker?" Alis Ryeon terangkat. Kemungkinan besarnya adalah tidak paham tentang apa yang Eun katakan.  "Ah, maksudku mereka bisa tau itu dari mana?" Hampir saja Eun keceplosan.  "Aku punya banyak kenalan Eun, mereka juga. Jadi, untuk mengetahui alamat seperti itu, sangatlah mudah, " jawab Ryeon.  Mudah? Memangnya siapa Ryeon.  Eun tertawa kecil. "Memangnya siapa dirimu?" Pertanyaan itu dilontarkannya dengan nada yang sedikit terdengar seperti guyonan agar Ryeon tak curiga padahal, Eun memang berniat bertanya dengan keingintahuan.  "Hahaha, aku Ryeon. Bukan siapapun," jawabnya, tidak seperti yang Eun harapkan.  "Aku kira kau tergabung dalam suatu organisasi menyeramkan."  "Kau peramal?"  "Ha?" Eun yang baru memasukan makanan kemulutnya, cepat-cepat menelan makanannya karena terlalu penasaran. Melihat itu, Ryeon terkekeh. Dae Eun Jung terlihat lucu.   "Apa yang kau katakan itu benar." Ryeon terkekeh. Eun terdiam. Ia tidak salah dengar kan? Ryeon tergabung dalam sebuah organisasi menyeramkan? Apa Ryeon juga seorang Psikopat atau mungkin seperti Balgom, Yerome, Jerome?  "Mengapa kau menatapku seperti itu?" tanya Ryeon. Eun segera tersadar, lalu menggeleng secepatnya.  "Organisasi apa?"  Ryeon mengambil kaleng bir. Ia membukanya. "Bukan aku, tapi Ayahku," katanya membuat Eun sedikit lega namun tetap berdebar dadanya. Ryeon meneguk bir dalam genggamannya.  "Organisasi apa?" tanya Eun lagi, penasaran.  "Aku juga tidak tau. Tapi yang jelas, Ayahku tergabung dalam organisasi menyeramkan." Ryeon menggerakkan jemarinya seolah menakuti Eun. Tidak takut, Eun justru tertawa. Ryeon lucu juga.  Semoga saja Ayah Ryeon bukanlah Hyun Sik. Lucu juga, jika Ayah Ryeon adalah Hyun Sik.  "Eun," panggil Ryeon, Eun menarik alisnya.  "Apa yang kau cari di ladang?"  Eun terdiam, matanya bergerak ke kanan dan kiri. "Hmm, tentu gandum." Jawabannya masih sama seperti tadi. Memangnya, apa yang harus dilakukan seseorang saat orang itu pergi ke ladang gandum?  Kedua alis Ryeon bertautan. "Untuk apa?" "Tidak ada. Aku berbohong. Sebenarnya, aku hanya ingin mencari tempat yang tenang." Sepertinya, alasan mencari gandum di malam hari bukanlah alasan yang terdengar masuk akal. Untung saja, otaknya cukup reposif untuk hal seperti itu. Atau lebih tepatnya, untuk sekarang ini.  "Dan kau memilih ladang?" Eun mengangguk. "Cukup unik," komentar Ryeon. Eun tersenyum. Daripada harus protes, senyum seolah tidak keberatan dengan apa yang Ryeon katakan, itu lebih terdengar bagus.  Entahlah, unik atau tidaknya ia ingin segera keluar dari pertanyaan seputar ladang. Terlalu malas ia beralasan. Ah, otaknya terlalu malas memikirkan sesuatu.  "Lain kali, jika ingin pergi, pergilah bersamaku."  "Mengapa harus bersamamu?" Ryeon bukan siapa-siapanya. Laki-laki itu hanya teman yang baru kenal. Dan semakin dekat ia dengan Ryeon maka akan berbahaya. Bahaya, jika Ryeon tahu pekerjaannya.  "Aku hanya ingin menjagamu." Ryeon meneguk birnya lagi.  "Tidak perlu Rey." Bibirnya tersenyum, seolah mengatakan bahwa, memang ia akan baik-baik saja tanpa penjagaan Ryeon. Ia juga bukan bayi yang harus mendapat pengawasan ketat. Juga bukan putri mahkota.  "Rey?" Ryeon terheran, mengapa Eun memanggil namanya dengan panggilan seperti itu. Eun mengangguk menampilkan senyuman lebar.  Entahlah, rasanya ia ingin memanggil Ryeon dengan panggilan Rye.  "Terdengar bagus," komentar Ryeon.  "Memang bagus." Eun menyendok makanannya, itu suapan terakhir.  "Kau sudah selesai?" Eun mengangguk sambil mengunyah makanannya.  "Kalau begitu, ayok tidur." Hampir saja ia tersedak makanannya. "Tidak bersamamu Ryeon. Kumohon kau untuk pulang." Terdengar kasar memang atas apa yang setelah Ryeon lakukan untuknya. Tapi mau bagaimana lagi, Ryeon adalah bahaya untuknya. Jika laki-laki itu memilih tinggal maka Eun tidak bisa leluasa. Dan tangannya terasa gatal jika semalam saja ia tidak melukai sesuatu. Meski malam ini ia sudah melukai Jerome.  Ah, mengingat itu seketika ia khawatir dengan kondisi laki-laki itu.  "Kau mengusirku?"  "Aku tidak mengusirmu Ryeon. Tapi kumohon kau mengertilah."  Menarik napasnya, lalu menghebuskannya perlahan. "Eun, jika kau tak bisa menerimaku sebagai orang yang cukup dekat denganmu. Maka, anggap saja aku seperti tamumu." Ungkapan itu, cukup membuat hati Eun tersentuh.  Kenapa Ryeon begitu kukuh untuk tidur di rumahnya malam ini? "Dan, jangan terus-terusan menolakku, Eun. Aku cukup sakit mendengarnya. Kau tidak ingin dijaga olehku, kau tidak mengizinkanku untuk tidur di rumahmu walaupun hanya semalam. Lalu selanjutnya apa lagi?" protes Ryeon dengan suara pelan.  "Aku bukan menolakmu Ryeon. Hanya saja, sulit untukku menerima orang baru. Selama ini aku selalu hidup sendiri, dan tak pernah ada orang baru dalam kehidupanku. Satu-satunya orang yang dekat denganku adalah Kang Dae, dan itupun juga teramat sulit saat awal-awal aku mengenalnya," sahut Eun panjang lebar.  Ia jadi mengingat saat pertama kali ia mengenal Kang Dae.  "Kalau begitu, biarkan aku lebih dekat daripada Kang Dae."  Eun terdiam. Mencerna satu kalimat yang dikeluarkan oleh Ryeon.  "Mengapa kau melakukan itu padaku? Aku tidak tau apa tujuanmu Ryeon!"  Ryeon menarik napas. "Tujuanku adalah... Aku ingin menjadikanmu kekasihku." 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD