Tak pernahkah kau merasa aneh dengan cara hati bekerja. Dulu, hati bisa memuja satu orang dengan begitu dalamnya, lalu sesaat kemudian kau bisa dengan cepat berpaling dan tak lagi memujanya. Dulu, hatimu selalu bergemuruh senang setiap kali kalian bertemu, lalu entah apa yang terjadi, hingga kau berharap tak lagi bertemu dengannya. Hati begitu sulit dimengerti. Bagian paling rapuh dan tak bisa dijamin. Rasa bisa beralih, hati bisa patah, dan kecewa bisa membuatmu tak mampu lagi merasakan cinta yang dulu begitu kau sukai. Pada intinya, begitulah manusia. Terkadang mengikuti arus dan terbawa arus kencang, hingga kehilangan diri sendiri.
“Kamu selalu seperti ini. Diam dan menatapku dengan tatapan yang membuatku merasa begitu kerdil, Yu,” Suara pria itu tertahan, seolah tengah menahan getaran di hatinya. Perasaan berkecamuk yang membuatnya begitu hancur. Entah mengapa, wanita itu selalu membuatnya merasa seperti ini. Ia tahu bila dunia mereka begitu berbeda. Meski dirinya adalah seorang sarjana, namun dirinya hanya lah seorang pemuda desa. Sementara Ayu? Wanita itu luar biasa.
Bila semua kisah dongeng memiliki seorang pangeran dan putri raja yang akan berakhir hidup bahagia bersama, namun tidak dengan kisah mereka. Bila beberapa kisah dimulai dengan seorang pria kaya yang bertemu dengan upik abu, lalu jatuh cinta, sayangnya bukan begitu kisah mereka. Dirinya adalah seorang pria sederhana yang bertemu dengan seorang putri raja. Dirinya hanya lah seorang pria kecil yang jatuh hati pada perempuan hebat seperti Ayu. Ia pikir cinta saja cukup, namun kenyataannya tak seperti itu. Dirinya merasa bila cinta saja tak cukup untuk mereka berdua. Begitu banyak perbedaan dan sedikit kesamaan yang bisa menyatukan.
“Tampaknya, sejak awal memang ada kesalahpahaman di antara kita,” Ayu kini mengerti bila sejak awal mereka tak memiliki rasa yang sama. Melihat bagaimana pria itu memandang dan mengatakan semua hal menyakitkan itu membuatnya yakin bila pria itu tak mengerti perasaannya. Pria itu tak tahu apa yang terjadi di dalam hatinya. Cintanya.
“Bila kamu terus mengatakan aku merendahkanmu, maka hubungan selama dua tahun ini adalah kesalahpahaman,” Ayu tersenyum miring. Dirinya merasa begitu bod0h, “Hanya aku yang tenggelam dalam cinta, sedangkan kamu nggak pernah merasakan hal yang sama. Kini, semuanya sudah menjadi jelas,” Lanjut Ayu dengan wajah tenang, meski hatinya hancur.
“Untuk menghentikan kesalahpahaman ini, maka kita harus kembali menjadi sepasang orang asing,” Ayu berjalan ke arah kursinya dan duduk di bangku kebesarannya, tak ingin lagi melanjutkan kesalahpahaman yang semakin menghancurkan hatinya, “Sekarang keluar dari ruanganku karena begitu banyak yang harus ku lakukan karena pekerjaanmu selama ini.”
Pria itu menarik napas panjang dan menghelanya perlahan, lalu mengacak rambutnya dengan gusar. Percuma berbicara pada Ayu yang selalu merasa paling benar dan berkuasa. “Pikirkan semuanya dengan baik, Yu. Kamu juga nggak bisa menghakimiku seperti ini. Aku sudah meninggalkannya dan kamu harus tahu kalau aku mencintaimu. Bila kamu masih mau mendengarkanku, maka kamu harus tahu kalau bercerai darimu, nggak pernah menjadi sesuatu yang ku inginkan. Kita bisa memperbaiki semuanya, Yu,” Pria itu tak lagi mau memaksa. Ia menatap punggung Ayu sendu, lalu berjalan keluar dari ruangan perempuan itu.
Sepeninggalan Lian, air mata Ayu mengalir begitu saja. Ia menghirup napas dalam-dalam, berusaha mengenyahkan rasa perih yang menguasai sanubarinya. Dadanya begitu sesak, tak peduli seberapa banyak oksigen yang ia hirup, tak mampu menghilangkan sesak di dadanya. Kini, kata cinta pria itu tak lagi terdengar seindah dulu. Kata cinta yang mulai kehilangan maknanya. Kata yang diucapkan hanya untuk menghibur hati yang lara, kata yang diucapkan tanpa merasakan perasaan itu di hati, dan kata yang tak lagi ingin didengarkan oleh Ayu.
Di sisi lain, Lian berjalan ke arah meja kerjanya yang baru. Banyak pasang mata yang sedari pagi menatapnya penuh tanya. Ada beberapa yang jelas-jelas menatapnya dengan tatapan merendahkan dan semua ini adalah ulah Ayu. Jika memang perempuan itu mencintainya dan menganggapnya sebagai suami. Harusnya perempuan itu tahu benar bagaimana cara menjaga kehormatan dan juga harga dirinya, bukan? Namun sayang, yang Ayu lakukan padanya adalah menjatuhkan martabatnya. Wanita itu membuat banyak orang mulai membicarakannya.
“Pak Lian,” Suara itu datang dari seorang pria yang berada di balik punggung Lian, pria itu mengarahkan pandangan ke belakang dan tersenyum pada Pak Joko, Manager senior di bagian sales administrasi, “Selamat datang di bagian sales. Saya harap, Bapak betah di sini,” Pria itu mengulurkan tangannya pada Lian dan bersikap ramah, namun Lian tahu bila pria itu hendak mengejek keadaaannya. Mungkin saja, saat ini pria itu tengah menertawai penderitaannya.
Lian tahu bila pria itu tak begitu menyukainya. Semua ini terjadi karena ia mendapati bila bagian administrasi sales begitu kacau, hingga mereka mengalami masalah besar. Lian tentu saja menyalahkan pria itu dan kini Lian mulai paham mengapa Ayu menempatkannya di bawah pria bernama Joko itu. Ayu ingin membuatnya merasa ditindas dan menderita. Ayu memang paling tahu cara menyiksa seseorang. Hal yang tanpa sadar selalu dilakukan Ayu padanya.
Lian berdiri dan menerima uluran tangan pria itu. “Terima kasih banyak, Pak. Saya akan berusaha untuk melakukan yang terbaik,” Bila memang ini keinginan Ayu untuk membuatnya mundur atau membalas dendam atas apa yang dilakukannya, maka Lian tak ‘kan mundur. Perempuan itu harus tahu bila Lian adalah seorang pria yang tulus dalam mencintai dan tak seperti apa yang orang-orang di luar sana katakan. Dirinya hanya melakukan satu kesalahan, melupakan janji suci yang diucapkannya bersama Ayu. Janji yang harusnya membuatnya tak lagi melirik wanita lain dan melengkapi semua kekurangan teman hidupnya. Ia melakukan kesalahan.
“Untuk permulaan. Pak Lian akan sangat sibuk hari ini. Kita closing dan biasanya akan pulang hingga tengah malam. Saya harap, Pak Lian bisa mengikuti ritme pekerjaan kami dan nggak melakukan kesalahan yang membuat seluruh administrasi bagian sales kacau. Saya nggak mau ditegur lagi, jadi mohon berusaha lah dengan keras,” Senyum pria itu mengandung banyak arti, namun Lian paham. Pria itu menikmati keadaannya sekarang dan nerakanya akan segera dimulai. Tak mengapa, Lian bukan lah pria lemah yang mudah mundur begitu saja.
“Tentu saja, Saya tahu benar bila administrasi adalah hal yang sangat krusial dan nggak mungkin mengacaukannya,” Lian tersenyum tenang, tak menunjukkan kecewa ataupun amarahnya. Sementara itu, pria di hadapannya berdecak kesal. Pria itu tersenyum kecut dan berlalu pergi meninggalkannya tanpa mengatakan sepatah kata pun. Tampak begitu kesal.
Lian kembali duduk di tempatnya. Pria itu mengamati kubikelnya yang tak semewah meja kerjanya dulu. Ayu bersikap begitu angkuh dengan berpikir jika dirinya begitu berkuasa. Ayu lupa, jika tak baik bila ada dua nakhoda yang memimpin satu kapal. Bahtera rumah tangga yang mereka jalani bisa hancur karena dua orang nakhoda yang memiliki cara pandang yang berbeda tentang kepemimpinan. Mengapa Ayu tak mampu melihat sisi ini dan terus saja menyalahkannya? Apakah wanita itu lupa, jika Lian pernah begitu tergila-gila pada Ayu.
Di sisi lain, Ayu yang keluar dari ruangannya untuk memeriksa keadaan Lian hanya bisa mengulum senyum tipis melihat pria yang berusaha tegar itu. Ia tak ‘kan membiarkan pria itu bersantai. Dirinya memang picik, namun Lian yang mengajarkannya lebih dulu. Lian mengatainya seolah dirinya adalah robot yang tak memiliki hati. Seorang pemimpin otoriter yang hanya bisa menyiksa Lian. Tak mengapa, mungkin memang Ayu harus menjadi seperti apa yang Lian sampaikan. Dirinya harus membuang hati dan kembali bangkit meski begitu sakit. Semuanya sudah sangat terlambat untuk diperbaiki. Kata cinta dan hubungan suci di antara mereka, tak lagi bisa membantu hatinya kembali pulih. Mereka harus menjadi sepasang asing.
Ayu menggerakkan tangannya di udara, memanggil asisten yang sedari tadi berdiri di belakang punggungnya. “Kacaukan angka di bagian sales dan buat semua berantakan. Semua orang yang ada di bagian sales harus pulang cepat meski keadaan begitu kacau, tapi biarkan Mas Lian lembur sendirian dan memperbaikinya sendiri,” Suara Ayu begitu dingin, membuat wanita yang mendengarkan perintahnya itu sedikit merinding. Sudah lama dirinya mengikuti Ayu dan ini adalah diri Ayu yang dulu. Dingin dan tak tersentuh, wanita itu begitu kaku dan mengerikan.
Sejak pertama kali Ayu mengambil alih perusahaan, wanita itu langsung mengangkatnya menjadi seorang asisten. Dirinya adalah bukti hidup akan kerja keras Ayu yang tak ingin dipandang rendah oleh para pemegang saham lainnya hanya karena dirinya seorang perempuan. Mengenal Ayu membuat perempuan yang lebih tua sepuluh tahun dari Ayu itu sadar benar bila kehidupan Ayu tak seindah apa yang kerap dipamerkan para orang-orang yang mengejar berita tentang kehidupan para konglomerat. Sejak kecil, Ayu sudah mulai belajar tentang bisnis, cara bermain saham, dan lain sebagainya seakan para anak orang kaya memang dipersiapkan untuk meneruskan apa yang sudah dipersiapkan oleh para tetua mereka. Anak-anak harus siap.
“Apa perlu seperti ini, Bu?” Tanya itu tak lagi bisa ditahannya dalam hati, Gina, Asisten Ayu mendadak menyesal setelah mengucapkan pertanyaan yang tak seharusnya ia layangkan pada Ayu, “Maaf, bukan maksud saya mencampuri urusan Ibu. Hanya saja, ini akan berdampak bagi perusahaan kita juga. Apa perlu melakukan hal ini? Kenapa tidak melakukan cara lain saja?” Lanjut Gina yang sebenarnya sedikit iba dengan Lian karena Gina begitu mengenal Ayu. Bila wanita itu sudah bertekad, maka tak ada seorang pun yang bisa lepas dari cengkramannya. Ayu adalah wanita yang tak ‘kan menyerah sebelum merasa puas dalam menghancurkan.
“Lalu, apa yang harus ku lakukan?” Kali ini Ayu membalik tubuhnya dan menatap Gina sendu. Tak seperti apa yang Gina pikirkan, wanita itu tampak begitu hancur. Matanya berkaca-kaca seolah memang tak lagi mampu menampung literan air mata yang memberontak untuk dikeluarkan. Selama mengenal Ayu, ini pertama kalinya Gina melihat Ayu sehancur dan sebingung ini. Perempuan itu tampak terlalu lama menggantungkan dirinya pada Lian.
Hal yang wajar setelah kau begitu lama sendiri dan menghadapi dunia yang keras seorang diri. Ayu sudah harus mengambil alih perusahaan di usianya yang baru menginjak dua puluh lima tahun. Dia anggap tak mampu dan menerima kritikan oleh banyak orang. Semua orang di sekitar Ayu, bahkan tak memberikannya waktu untuk berduka setelah kepergiaan orang tuanya. Ayu lelah dan Gina tahu itu. Setelah perempuan itu mampu membungkam mulut semua orang dengan prastrasinya, Ayu segera melarikan diri ke pinggiran kota. Mendatangi tempat di mana tak seorang pun mengenalnya dan akan menilai kemampuannya. Tempat di mana ia pikir, dirinya bisa kembali merasa hidup dan semua itu benar karena di tempat itulah dirinya bertemu dengan Lian yang mampu menghancurkan semua tembok pertahanannya. Cinta, indah dan juga mengerikan. Paket yang membuatmu begitu bergantungan dan juga lemah karenanya.
“Kita akan memikirkannya. Untuk saat ini, lebih baik Ibu menghirup udara segar. Saya pikir, Ibu butuh ruang untuk menata hati,” Perempuan itu menyentuh lengan Ayu, berusaha memberikan perempuan di hadapannya dukungan yang diperlukan oleh Ayu. Meski Ayu tampak seperti robot dan tak berperasaan, Gina tahu benar bila Ayu adalah wanita yang baik. Dirinya hanya salah memilih orang untuk menitipkan hatinya yang rapuh. Manusia bisa berbuat kesalahan, bukan? Namun sayang, kesalahan Ayu harus dibayarnya dengan berat.
“Aku hanya ingin dia tahu betapa sakitnya hatiku saat ini. Aku ingin dia merasakan pedih yang sama dan melihat, apakah dia mampu menanggung semua beban ini?” Suara Ayu bergetar, “Aku harus menghancurkannya untuk menyelamatkan hatiku,” Lanjut Ayu dengan mata memerah dan air mata perempuan itu jatuh begitu saja. Tatapannya tajam, namun mengandung luka. Perempuan itu berusaha terlihat kuat, meski tak mampu menyembunyikan kehancurannya. Sungguh, hati Gina turut tersayat pedih menyaksikan perempuan yang berusaha mati-matian menahan isak tangisnya. Gina segera menarik Ayu kembali masuk ke dalam ruangan, tak ingin wanita itu menjadi bahan tontonan dan memeluk tubuh Ayu erat-erat, tangis Ayu pun pecah.