Bahtera rumah tangga yang diambang kehancuran tak mungkin lagi bisa kau jadikan tempatmu untuk berpijak. Tetap berada di sana, hanya akan membuatmu tenggelam. Kehilangan seluruh oksigen yang kau butuhkan dan mati karena kehabisan udara. Seharusnya, kau meninggalkan kapal yang sudah bocor itu agar kau tak ikut tenggelam karenanya. Namun sayang, hatimu terlalu bodoh dan kakimu terlalu kaku untuk diajak pergi. Kau pikir, bocor masih bisa ditambal, rusak masih bisa diperbaiki, dan melupakan fakta bila kebocoran yang ada di Bahtera itu sudah begitu besar. Air pun sudah memenuhi setengah kapal tersebut. Kau harus cepat pergi. Menyelamatkan diri dan juga hatimu. Kau tak boleh hancur bersama Bahtera itu.
Setelah tangisnya reda. Ayu kembali memfokuskan dirinya. Ia tak bisa terus begini. Ia butuh ruang dan jarak yang jauh untuk sejenak dari Lian. Ia tak bisa menghadapi pria itu saat ini dengan segala kerumitan yang menguasai sanubarinya. Ia butuh waktu untuk menerima kenyataan pahit di depannya, menerima hancurnya Bahtera yang mereka bangun bersama, dan menerima bila ia tak mungkin lagi bisa mempertahankan rumah tangga mereka. Mungkin, selama ini Ayu hanya mencari alasan untuk tak bercerai, meski ia tahu bila rumah tangga mereka tak lagi bisa diselamatkan. Dirinya hanya menggunakan alasan balas dendam untuk tetap berada di dalam Bahtera rumah tangga yang telah karam. Menipu dirinya bila semua akan membaik.
“Sepertinya Anda butuh berlibur,” Suara Gina membawa Ayu kembali ke alam nyata, “Anda harus mendinginkan kepala agar nggak mengambil keputusan yang akan Anda sesali di kemudian hari. Saya pikir, Anda nggak seharusnya mengambil jabatan Direktur. Bukankah lebih baik bila Anda tetap menempati posisi CEO dan tak mengambil kedua tugas secara bersamaan?”
Seorang CEO diperlukan untuk menangani para investor dan media saat itu sedangkan Direktur yang mengeksekusi semua yang CEO instruksikan. Bisa disimpulkan bahwa CEO adalah sang pemilik rencana dari sebuah perjalanan bisnis sebuah perusahaan, sedangkan Direktur lah yang menjalani strategi perjalanan tersebut. Memang seharusnya dirinya tak mengambil tempat sebagai Direktur, namun ia tak memiliki kandidat yang pas untuk mengisi posisi Direktur untuk menggantikan suaminya yang berkhianat. Andai saja, ia memiliki seorang yang bisa dipercayainya, maka ia pasti tak ‘kan mengambil keputusan ini.
“Aku sedang nggak bisa berpikir jernih dan sepertinya aku nggak akan bisa menempati tempat sebagai seorang CEO lagi. Selama ini, aku yang menangani semuanya dan dia yang menjalankannya, tapi aku nggak bisa menangani apa pun dengan otak seperti ini,” Ayu tak mau membantah bila dirinya tak cukup kuat untuk kembali berhadapan dengan Lian, “Aku pikir, kita harus membuka lowongan CEO dan biarkan aku yang menjadi Direktur karena aku nggak bisa berpikir. Sampai aku bisa bangkit kembali, maka aku akan menempati posisi itu lagi. Jika aku tetap menjalankan dua tugas ini, maka aku akan kelimpungan. Aku sudah terlalu lama bergantungan pada seseorang untuk melaksanakan semua yang ada di otakku,” Lanjut Ayu lagi.
Gina mengangguk mengerti. “Ya, membuka lamaran untuk posisi ini adalah hal yang baik. Setidaknya, sampai Anda kembali stabil,” Gina menyarankan, “Saya akan segera mencari kandidat terbaik agar Anda bisa sedikit bersantai dan fokus pada masalah pribadi,” Lanjut wanita itu. Ayu tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Gina memang selalu bisa diandalkan. Wanita itu selalu mampu berpikiran tenang dan memberikannya solusi yang tak pernah ia pikirkan. Gina selalu seperti rem yang menghentikannya melakukan hal yang akan semakin menyiksa dirinya.
“Tolong selesaikan semuanya dalam waktu satu bulan ini. Aku mau seorang yang satu misi dan visi denganku. Orang yang bisa merasa memiliki perusahaan ini agar dia pun menjaganya dengan baik,” Ayu menarik napas panjang dan menghelanya perlahan, “Untuk sementara. Aku akan pergi selama dua hari. Tolong urus semuanya dan kabari jika memerlukan sesuatu,” Lanjut Ayu. Gina mengangguk dan berpamitan untuk pergi meninggalkannnya.
Sepeninggalan Gina, Ayu mengarahkan pandangannya keluar. Langit sudah tampak gelap. Tampak begitu indah dengan banyaknya hiasan langit yang menghiasinya. Lampu-lampu dari bangunan yang berada di sekitar tempat itu terlihat seperti bintang yang berkelip. Pemandangan yang dulu dikatakan oleh Lian sebagai pemandangan yang paling indah di ibu kota. Hal yang membuat ibu kota tak sekacau apa yang diamatinya di pagi hari. Melihat semua lampu-lampu kecil itu, membuat perasaan Lian damai. Hal yang baru Ayu sadari bila memang lampu-lampu yang menghiasi kota Jakarta di malam hari memang lah indah. Seperti gemerlap bintang di bumi. Pria itu selalu mampu melihat sisi baik dari segala hal yang terlihat begitu kacau. Lian pun mampu melihat sisi baiknya di balik sikapnya yang angkuh dan juga dingin pada saat pertemuan pertama mereka. Sikap Lian yang perlahan membuatnya luluh dan kehilangan dirinya sendiri.
Tak ingin kembali larut dalam kesedihannya. Ayu segera bangkit berdiri dari kursi kebesarannya. Sudah terlalu lama ia menangis dan meratapi kapal yang telah karam. Perlahan, ia harus bangkit kembali dan tak membiarkan siapa pun menjatuhkannya. Tak mengapa, mungkin saja esok dirinya bisa tertawa saat mengingat semua tangisnya hari ini. Pasti akan ada saat di mana ia menganggap semua lukanya ini sebagai lelucon semata. Tak mengapa, ia bisa bangkit.
Ayu menyambar tas tangannya. Suara high heelsnya yang bersentuhan dengan lantai menggema ke penjuru ruangan karena tempat itu sudah tampak sepi. Ruangan yang semula terang benderang pun sudah tampak gelap gulita. Ayu merasa tak berguna di kantor itu selama satu harian ini. Dirinya hanya menangis, merenung, dan tak mengerjakan apa pun yang seharusnya ia kerjakan di sana. Seharusnya, ia tak membiarkan seseorang masuk ke dalam hatinya. Seharusnya, ia pun tak membuka pintu hati bila seperti ini akhir kisah cintanya.
Ayu menghubungi supirnya, Mang Karman begitu sudah berada di luar bangunannya. Meminta pria paruh baya itu untuk segera membawanya pulang. Ayu berharap bisa segera tidur dan melupakan segalanya. Meski saat esok dirinya harus menyapa kenyataan pahit, setidaknya dengan tidur ia bisa mengistirahatkan hati dan juga pikirannya untuk sejenak.
Ayu menatap sekeliling. Jakarta seperti kota yang tak pernah tidur. Meski jam di pergalangan tangannya sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Masih banyak kendaraan berlalu lalang di jalan. Orang-orang pun masih terlihat di badan jalan. Benar apa yang pernah Lian katakan dulu. Jakarta adalah kota yang indah pada saat malam tiba. Ayu tersenyum miring. Dirinya harus berhenti memikirkan Lian dan tak seharusnya apa yang ia saksikan, harus selalu dikaitkan kembali dengan pria itu. Lian ini dan Lian itu. Dirinya benar-benar menyedihkan.
Ayu menghentikan pandangannya pada sosok yang begitu familiar. Dua orang yang mampu mengembalikan rasa sakit ke dalam sanubarinya tampak tengah berpelukan tidak jauh dari tempatnya berdiri. Semua yang dikatakan pria itu tentang cinta, terdengar sebagai bualan semata. Bagaimana bisa pria itu mengatakan tentang cinta, bila dirinya bermain cinta? Tak ada satu pun kata yang keluar dari mulut pria itu yang bisa dipercayai Ayu. Lihatlah pria itu, di sana dan berpelukan. Padahal, baru tadi bagi ia meyakinkan Ayu untuk memberikannya kesempatan kedua dan mengatakan jika pria itu mencintainya. Sebenarnya, apa artinya cinta? Ayu tak paham.
Tak tahu sudah berapa lama Ayu memandangi pemandangan yang menyakiti hatinya itu, hingga mobil yang menjemputnya sudah berhenti tepat di hadapannya. Lampu mobil yang menyorot sepasang anak manusia itu, membuat Si pria membalik tubuh dan pria itu tak mampu menyembunyikan keterkejutannya begitu menemukan Ayu yang masih menatapnya nanar. Ayu tak ingin terus memandang pria sampahh yang sudah dibuangnya kembali ke tempatnya semula. Hanya saja hatinya tak mau mendengarkan apa yang otaknya perintahnya. Kakinya bahkan membeku di sana, terasa begitu berat hanya untuk sekadar digerakkan. Hal ini mengerikan dan tak pernah Ayu berpikir bila tubuhnya bisa terasa mati seperti ini hanya karena pria itu.
Lian segera menjauhkan perempuan yang tadi dipeluknya begitu erat. Pria itu segera menghampiri Ayu, sedang Si wanita yang dihampiri tengah merutuk dirinya sendiri dalam hati. Ia tak habis pikir mengapa dirinya terpaku dan menunggu pria itu mendatanginya. Bukankah harusnya ia berlalu pergi dan menujukkan wajah dingin seolah yang pria itu lakukan tak bisa menghancurkannya? Harusnya, dirinya tak terpengaruh dengan kemesraan keduanya. Ia tahu benar bila yang ada di antara mereka hanyalah status semata. Kapal mereka telah karam.
Pria itu hanya berjarak dua langkah darinya saat Ayu mampu mengendalikan dirinya kembali. Wanita itu segera membalik tubuh untuk masuk ke dalam mobil, namun dihentikan oleh Lian yang mencengkram pergelangan tangannya. Ayu tak mau bersusah payah kembali menoleh pada pria yang pastinya akan kembali menipunya dengan kata-kata indah tentang cinta.
“Yu … aku bisa jelaskan semuanya,” Napas pria itu terdengar terengah-engah, “Ini semua nggak seperti yang kamu pikirkan,” Pria itu mencengkram bahu Ayu, lalu mengarahkan tubuh Ayu ke arahnya. Ayu dapat melihat di balik punggung pria itu, wanita yang tadi didekap oleh Lian masih berdiri di tempatnya. Terlihat tak ingin beranjak. Tengah menanti kekasihnya yang ingin merangkai kata penuh kebohongan pada Ayu. Pria itu begitu palsu. Pengkhianat cinta.
Ayu mengepalkan tangannya erat-erat. Ia menggertakkan giginya dan menatap Lian tajam. “Lepaskan tangan kotormu dariku!” Suara wanita itu terdengar bergetar, antara menahan amarah dan juga air mata yang memberontak untuk dikeluarkan karena pedih yang bersemayam dalam hati, “Aku nggak sudi disentuh dengan pria penipu sepertimu!” Lanjut wanita itu penuh penekanan. Perkataan Ayu membuat Lian melonggarkan cengkramannya pada pundak Ayu.
“Dia datang ke sini hanya untuk mengakhiri hubungan kami. Semua ini nggak seperti yang kamu bayangkan, Yu,” Pria itu masih berusaha mengemis rasa iba Ayu yang telah mati, “Itu hanyalah pelukan perpisahan, Yu. Nggak lebih,” Pria itu membuat wajahnya semelas mungkin. Wajah yang dulu kerap membuat Ayu luluh dan langsung memanjakan pria itu. Ayu memberikan pria itu semua yang dimilikinya. Kedudukan, kehormatan, raga, dan juga hati. Namun apa balasannya? Pria itu menghancurkan hatinya berkeping-keping.
“Kamu nggak perlu menjelaskan apa pun padaku karena sebentar lagi kita nggak ada hubungan apa pun. Kamu bebas bermesraan dengan siapa pun karena aku nggak peduli,” Ayu berkata dengan datar meski hatinya meraung kesakitan, “Toh apa yang kamu katakan adalah bualan semata. Kamu nggak pernah tulus dengan semua ucapanmu. Menggelikan sekali karena aku mempercayai semua kebohongan itu,” Ayu tersenyum tertawa garing, menertawai kebodohannya di masa lalu, “Kekasihmu sudah menunggu dan nggak baik membiarkan wanita menunggu. Jika dia begitu nggak bisa lepas dan mau kita segera bercerai, maka minta dia bersabar karena aku nggak akan membiarkannya mendapatkan semua yang dia inginkan.”
Lian tampak marah dan kembali mencengkram pergelangan tangan Ayu begitu Si wanita hendak membuangan pandangan darinya. “Sampai kapan pun, aku nggak akan pernah menceraikanmu. Aku nggak akan pernah mau bercerai darimu, Yu. Aku akan memperbaiki semuanya dan membuatmu melihat ketulusanku,” Pria itu menatap kedua netra Ayu dalam-dalam, “Kamu boleh mengambil semua yang kamu berikan padaku karena itu memang bukan hakku dan aku pun merasa kerdil dengan menikmati semua pemberianmu. Menghancurkan egoku sebagai seorang pria, jadi aku akan membuktikan padamu kalau aku nggak mencintai hartamu, melainkan dirimu, Yu. Aku hanya khilaf dan nggak akan mengulangi kesalahanku.”
Ayu tersenyum mengejek. Pria itu sangat pintar bermain kata. “Lanjutkan saja kekhilafanmu karena aku nggak peduli dengan semuanya. Kapal kita telah karam dan nggak bisa diselamatkan lagi. Jangan salah paham saat aku bilang nggak mau bercerai sekarang karena aku sudah nggak mencintaimu lagi. Semua sudah ku kubur dalam-dalam. Kamu akan terjatuh ke jurang dan untuk merangkak keluar pun, kamu nggak akan sanggup,” Lanjut Ayu dengan senyum miring. Ia menepis kasar tangan pria yang membeku di tempatnya dan Ayu menggunakan kesempatan itu untuk masuk ke dalam mobil dan membawa hatinya yang hancur.