Andai Hati Tak Pernah Jatuh

1941 Words
Jatuh hati berarti kau menyukai apa yang ada di dalam hatinya. Bukan sekadar rupanya yang rupawan, namun kau menyukai cara pandangnya memandang dunia, kerendahan hatinya, bagaimana caranya membuatmu nyaman, dan kau tak lagi memerlukan alasan untuk jatuh hati padanya karena kau menyukai semua yang melekat di dalam dirinya. Kau bukan hanya jatuh cinta, melainkan jatuh hati. Kau bisa jatuh cinta berulang kali, namun tidak dengan jatuh hati. Dibutuhkan perasaan yang lebih dari suka untuk membuatmu jatuh hati pada seseorang. Ayu sadar, bila seharusnya ia tak jatuh hati pada seseorang dengan begitu dalamnya. Harusnya, sebelum hati mencintai terlalu dalam, ia memasang pagar di dalam hati agar tak terluka karenanya. Harusnya, ia berlari sebelum perasaan menenggelamkannya. Begitu banyak kata seharusnya yang bermain di dalam benak Ayu saat ini. Kata yang mungkin akan menyelamatkannya dari kehancuran hati. Namun sayang, ia tak mampu memutarbalikkan waktu. Tak mungkin juga menarik kembali perasaan yang telah diberikannya secara utuh untuk pria itu. Hatinya baru saja sembuh dari kehilangan kedua orang tuanya. Bertahun-tahun, ia berusaha memulihkan hati dari kehilangan dan juga cinta yang tak pernah menetap. Dengan mudahnya, Lian membuatnya runtuh, meski tahu bila hatinya begitu rapuh. Ayu memutuskan untuk berhenti di sini. Berhenti mencintai dia yang tak membalas rasanya. Mencintai bukan lagi prioritas utama Ayu bila pria itu yang membuatnya jatuh hati. Lian hanyalah seorang penipu hati yang hanya tahu menghancurkan apa yang Ayu berikan untuknya. Ayu memutuskan untuk mematikan semua saraf di hatinya, meski tak mampu membunuh saraf sakit yang membuat hatinya perih. Pria itu memperlakukan hatinya bak hotel yang bisa dimasuki sesuka hatinya. Datang dan pergi begitu saja tanpa membawa beban apa pun. Tak ingin menetap dan singgah saat membutuhkannya. Ayu begitu hancur dan dirinya semakin hancur lebur karena pengkhianat pria itu. Yang paling menyakitkan adalah pria itu melempar semua kesalahan padanya. Pria itu adalah tersangka, akan tetapi ingin mengambil posisinya sebagai korban. Pria itu terbiasa menjadi tersangka dan kini dirinya merasakan rasa pedih Ayu, menempati posisi korban. Namun sayang, meski sudah menempati posisi korban sekali pun, pria itu tak juga menyadari kesalahannya. Padahal, Ayu sudah menyerahkan semuanya pada Lian. Hidup maupun hatinya yang rapuh. “Kata orang, di tempat tinggi seperti ini, kamu nggak boleh banyak melamun,” Suara itu kembali terdengar. Kali ini datang dari balik punggung Ayu. Wanita itu mendengkus kesal dan tak mau bersusah payah membalik tubuh karena bisa menebak siapa pemilik suara tersebut. Seorang pria asing yang begitu ingin tahu dan menyebalkan. Sok kenal, sok dekat. “Apa kamu mengikutiku?” Tanya Ayu begitu Si pria sudah berdiri di sisinya. Pandangan keduanya fokus pada pemandangan indah di hadapan mereka. Pemandangan yang memanjakan mata dan membuatmu mengerti bila Tuhan memang berkuasa atas segala hal yang ada di bumi ini. Tuhan menciptakan alam yang indah untuk dinikmati oleh umatnya. Berharap para penghuni bumi bisa lebih bersyukur setiap kali menikmati keindahan lukisan tangan-Nya itu. Terdengar gelakan kecil dari sebelah Ayu. “Aku ingin mengabaikanmu, tapi nggak bisa karena kamu tampak nggak baik-baik saja. Jangan menodai tempat seperti ini untuk ajang bunuh diri,” Pria itu menghakiminya dan Ayu paling benci diperlakukan demikian. Wanita itu segera menoleh pada Si pria yang menatapnya penuh iba. Hal kedua yang dibencinya dari pria itu. Ayu tak suka dikasihani. Lagi pula, harusnya bukan dirinya yang perlu dikasihani saat ini. “Siapa kamu sampai berani-beraninya menilai kalau aku nggak baik-baik saja. Bahkan menuduh jika aku berniat bunuh diri di tempat ini?” Ayu berteriak kesal. Hidungnya kempas kepis karena amarahnya dan ia menatap pria itu tajam, “Asal kamu tahu saja,” Wanita itu menempatkan jari telunjuknya di dekat hidung pria yang menunjukkan wajah tenang dan tak terusik dengan kemarahannya, “Aku baik-baik saja dan nggak berniat bunuh diri sama sekali. Apa kamu pikir kalau orang yang melamun adalah orang yang putus asa? Apa kamu pikir, orang yang memejamkan mata dan menikmati embusan angin adalah orang yang menderita? Kamu bukan siapa-siapa dan kamu nggak mengenalku, jadi jangan berasumsi jika kamu tahu sesuatu tentangku,” Lanjut Ayu yang menggeram kesal. Jarinya masih terarah pada Si pria. Amarahnya menggebu-gebu. Sungguh, Ayu marah pada semua yang terjadi di dalam hidupnya dan marah pada dirinya sendiri. Ia kecewa dan ingin mengamuk pada siapa pun saat ini. “Orang yang berusaha keras untuk menjelaskan bila dirinya baik-baik saja adalah seorang yang jauh dari kata baik-baik saja,” Pria itu tersenyum lembut. Kalimat yang keluar dari bibir pria itu membuat Ayu tercengang. Bibir bagian bawahnya bergetar karena kekacauan di hatinya. “Diam yang artinya benar,” Pria itu menepuk-nepuk pelan puncak kepala Ayu, “Semuanya akan baik-baik saja,” Lanjut Si pria seraya tersenyum menenangkan, membuat tubuh Ayu membeku di tempat. Sudah lama sekali, tak ada orang yang menepuk kepalanya, memeluknya, dan mengatakan bila semua akan baik-baik saja saat ia ketakutan. Pria yang seharusnya memberikan semua itu padanya, malah memilih untuk memberikan semua perlindungan dan kenyamanan itu pada wanita lain. Pria yang seharusnya memanjakannya, malah pergi ke pelukan wanita lain. Sungguh, sebegitu tak berharganya kah Ayu di mata pria itu? Tanpa sadar, air mata Ayu jatuh begitu saja. Tak lagi bisa dibendung, membuat pria di hadapan Ayu terkejut sesaat. Pria itu mengusap air mata Ayu, sedang Ayu yang merasakan sentuhan pria asing itu tersadar bila dirinya sekarang sudah semakin lemah. Bagaimana bisa dirinya menangis di hadapan seorang pria asing? Semua ini salah pria itu. Ya, salah Si pria yang seolah mampu melihat ke dalam hati terdalamnya. Bagaimana bisa orang asing itu membuatnya seperti ini? Tidak, Ayu tak boleh terlihat hancur di hadapan siapa pun. Terutama, pada seorang pria asing yang menyapanya dengan tak sopan dan memancinga marahnya. Ayu menggertakkan giginya. Ia menatap pria itu tajam, lalu menepis tangan Si pria yang masih berada di hadapan wajahnya dengan kasar. Kemudian Ayu memutuskan untuk tak lagi menetap di sana. Ia segera turun dari puncak. Mungkin memang dirinya belum siap untuk menghadapi dunia saat hatinya kacau balau. Mungkin yang dibutuhkannya saat ini adalah meringkuk di dalam selimut yang mampu memberikannya kehangatan yang tak diterimanya. Ya, semua ini salah. Dirinya pergi jauh hanya untuk membuktikan jika dirinya begitu lemah. Sementara itu, Si pria asing menatap Ayu sendu. Ia membeku di tempatnya berdiri dan menatap punggung Ayu yang kian menjauh, hingga menghilang dari pandangannya. Harusnya, ia tak ikut campur dengan urusan orang lain. Harusnya, ia tak mengakrabkan dirinya dengan seorang perempuan asing dan menikmati perjalanannya seperti bisa. Namun mengapa tak bisa? Begitu banyak luka di dalam sepasang netra perempuan asing itu. Luka yang mengerikan. “Aneh … melihat matanya, seperti melihat ke dalam netraku sendiri. Seperti tengah berkaca pada diriku di masa lalu. Sungguh mengerikan saat melihat kehancuran yang sama di mata orang lain,” Pria itu berkata di dalam hatinya dan mencoba mengusir bayangan Ayu. Di sisi lain, Lian masih berdiam diri di kursi ruang tamu. Ia tak bergerak. Tak makan dan tak beranjak meski diusir. Ia hanya ingin bertemu dengan Ayu. Jika Ayu bersikap keras kepala, maka dirinya bisa melakukan hal yang sama. Wanita itu harus tahu betapa seriusnya Lian saat ini. Dirinya tak mudah menyerah dan ia sudah memutuskan untuk mendapatkan Ayu kembali. “Nggak ada gunanya bersikap keras kepala seperti ini,” Suara wanita yang begitu familiar membuat Lian mengadahkan wajah dan mengarahkan pandangannya pada wanita paruh baya yang entah sejak kapan berdiri di hadapannya. Wanita itu duduk di sofa yang berada di seberang sofa tempat Lian duduk. Perempuan itu menatap Lian dengan tatapan meneliti. Berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya pria itu inginkan dengan sikap kerasnya itu. Mendapatkan Ayu? Pria itu pasti tak berpikir bila memaafkan sebuah pengkhianatan adalah sesuatu yang mudah, bukan? “Panggilkan Ayu untuk bertemu denganku, Bi. Aku hanya butuh membuatnya mengerti,” Lian memelas. Ia tahu bila wanita di hadapannya itu adalah seorang yang penting untuk Ayu. Bila saja, wanita itu meminta Ayu untuk mendengarkannya, Ayu pasti menurut pada wanita itu. Bi Atun tersenyum lirih. “Seperti yang Bibi bilang, Mbak Ayu sudah pergi ke suatu tempat,” Wanita itu menghela napas panjang, “Jika memang Mas Lian nggak percaya. Lebih baik, kita berkeliling ke seluruh rumah. Bila Mas Lian sudah melihat bila Mbak Ayu nggak ada di rumah, Bibi harap, Mas Lian segera pergi dari sini. Mbak Ayu berpesan untuk mengusir Mas Lian begitu Mas terbangun, tapi Bibi nggak tega. Namun perbuatan Mas bisa menyusahkan Bibi juga, jadi Bibi harap kerjasama dari Mas Lian,” Perempuan itu berkata dengan lembut. Lian tak menemukan kebohongan di dalam sepasang netra wanita paruh baya di hadapannya, akan tetapi hati kecilnya merasa bila ia harus mencari Ayu ke penjuru rumah. Ia tak bisa menyerah begitu saja dan harus segera menemukan Ayu. Semakin lama mereka bermusuhan, maka semakin besar kebencian yang menguasai sanubari Ayu. Ia tak boleh membiarkan semua hal ini. Lian segera bangkir berdiri dan hendak mencari keberadaan Ayu. “Jika memang Bibi membolehkanku untuk menyisir ke penjuru rumah, maka aku akan sangat berterima kasih. Bukannya nggak mempercayai Bibi, tapi aku sangat putus asa,” Lian menatap wanita itu memohon, sedang Bi Atun tersenyum tipis dan mengangguk. Ia mempersilahkan Lian untuk berkeliling ke penjuru rumah, ditemani dengan salah satu pengawal. Lian memasuki ruangan demi ruangan, mencari keberadaan Ayu, dan meneriakkan nama perempuan itu. Namun sayang, dirinya tak menerima jawaban apa pun. Hanya ada keheningan yang membuat suaranya menggema. Wanita itu tak lagi ditemukan. Ke mana Ayu pergi? Mengapa perempuan itu pergi begitu saja saat masih begitu banyak masalah yang harus mereka luruskan? Apakah ini adalah akhir dari pernikahan mereka? Ini adalah hukuman yang harus ditanggung Lian seumur hidupnya? Apakah dirinya harus melepaskan Ayu begitu saja? Selang beberapa menit berlalu. Pria itu sudah menelusuri seluruh ruangan yang ada di rumah yang sudah ditempatinya bersama Ayu. Dirinya kembali ke ruang tamu dengan putus asa dan kembali menemui Bi Atun yang tampak menantinya, seolah hendak memberitahu Lian bila semua yang dikatakannya adalah kebenaran. Dirinya tak berbohong pada pria itu. Lian tersenyum lirih saat mereka sudah berdiri berhadapan, sedang Bi Atun membalas senyumnya. “Sebelum kalian menikah, Bibi sudah memperingatkan kepada Mas Lian bila Mbak Ayu itu adalah wanita yang lemah. Hatinya begitu rapuh dan Mas harus menjaga Mbak Ayu dengan baik,” Bi Atun memecahkan keheningan di antara mereka, “Pada saat itu, Mas Lian berjanji untuk menjaga Mbak Ayu dengan baik dan nggak mau menyakiti hatinya. Mas Lian begitu yakin dan melupakan fakta bila rasa bisa saja berubah,” Bi Atun menatap pria itu sendu, sedang Lian tercengang mendengarkan perkataan wanita itu. Ya, dulu dirinya begitu sombong dan yakin bila rasanya pada Ayu tak mungkin bisa berubah. Pernikahan adalah akhir indah bagi dongeng cinta mereka dan selamanya ia akan menggenggam tangan Ayu dengan erat, tapi apa yang dilakukannya sekarang? Ia menyakiti hati perempuan itu dan membuat Ayu menderita. “Jika Mas Lian memang masih menyimpan sedikittt … saja rasa untuknya,” Wanita itu menempelkan jari jempol dan telunjuknya, kemudian meletakkannya di udara, tepatnya di hadapan wajah Lian sembari memasang ekspresi terluka, “Maka Mas Lian harus melepaskan Mbak Ayu. Kalian harus belajar hidup tanpa satu sama lain dan memulai semuanya dari awal. Mas Lian nggak boleh lagi menyakiti Mbak Ayu dengan memintanya mengerti akan pengkhianatan yang nggak mungkin bisa diterima hatinya. Jika memang Mas Lian pernah atau masih mencintai Mbak Ayu, maka jangan sakiti dia lagi. Mbak Ayu sudah menjalani kehidupan yang malang. Kenapa Mas Lian tega menambah luka di dalam hatinya?” Air mata perempuan itu jatuh, begitu pun dengan Lian. Hatinya hancur lebur dan perih menyiksa bathinnya tanpa ampun. Andai hati tak pernah jatuh, mungkin tak ada seorang pun dari mereka yang harus pergi dengan luka yang menganga di dalam hati. Andai hati tak pernah jatuh, mungkin tak ada seorang pun dari mereka yang mengemis sedikit iba pada rasa sakit yang menyayat hati. Mungkin memang, tak seharusnya ada orang yang jatuh hati pada orang lain.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD