Begitu hatimu patah, maka kau tak lagi bisa bangkit dengan mudah. Kau telah berusaha dengan begitu keras, jadi bukan salahmu karena kau telah berusaha melakukan yang terbaik untuk melupakan. Bukan pula karena kau lemah, akan tetapi kenangan di antara kalian begitu banyak. Hingga kau lupa bagaimana caranya untuk hidup tanpa dirinya. Begitu banyak cerita yang telah kalian tulis bersama. Hal-hal yang membuatmu selalu teringat padanya dan membuat melupakan adalah hal yang mustahil bisa kau lakukan. Semua kebahagiaan membuatmu terjebak di dalam hal yang telah usai. Kau kerap bertanya-tanya, bagaimana caramu untuk bisa kembali ke masa-masa yang begitu membahagiakan. Bagaimana semua bisa hancur begitu saja?
Pagi ini Ayu terbangun dengan harapan baru di dalam hatinya. Sudah beberapa hari belakangan, dirinya tak ingin terbangun dan menyapa mentari pagi. Ia telah kehilangan semua gairahh hidup dan juga alasannya untuk tersenyum, hingga pagi tak lagi memberi harapan ataupun kesenangan untuknya. Ia larut dalam luka dan juga kegelapan yang mengelilinginya. Namun tidak dengan hari ini. Mendengarkan Lian yang ingin berusaha menjebaknya kembali dalam tipuan hati, menyadarkan Ayu bila dirinya harus kembali bangkit berdiri.
Ya, kenangan dan cintanya masih begitu membekas. Namun, dirinya tak bisa terus-terusan terjebak dalam nostalgia dan menangis seorang diri. Ini adalah kenyataan yang harus diterimanya. Sama dengan saat dirinya mendapatkan kabar bila kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan pesawat. Dunianya hancur dan hatinya patah karena kehilangan itu, akan tetapi dirinya bisa kembali bangkit saat melihat banyak orang palsu yang memberikannya rasa iba yang tak tulus sama sekali. Oleh karena itu, Ayu harus kembali kuat. Hatinya memang telah patah, akan tetapi bukan berarti dirinya tak bisa bangkit berdiri, bukan?
Ayu menatap pantulan dirinya di cermin. Berulang kali tersenyum pada pantulan dirinya. Ia memulas riasan tipis untuk menyembunyikan kehancuran yang terlihat jelas di wajahnya. “Kamu kuat, Yu. Kamu adalah jiwa yang bebas dan bisa terbang ke manapun yang kamu inginkan. Lupakan dia, sebagaimana dia melupakanmu. Kamu nggak bisa dihancurkan dan sudah cukup bagimu untuk meratapi nasib percintaanmu yang hancur. Pernikahanmu sudah hancur dan kamu nggak bisa mengelak dari fakta itu, Yu,” Wanita itu berkata pada dirinya sendiri.
Setelah merasa siap. Ayu meraih ponselnya. Ia memeriksa beberapa pesan dan berjalan ke luar kamar. Beberapa pekerjaan yang harus dikerjakannya telah dikirimkan Gina ke alamat emailnya. Ayu bisa memeriksa beberapa berkas itu saat sarapan nanti. Oleh karena itu, Ayu memasukkan ponselnya ke dalam ransel. Ia harus membuat dirinya tetap sibuk agar tak lagi memikirkan pria yang sudah lama tak lagi pernah memikirkan diri dan juga hatinya.
Selang beberapa menit. Ayu sudah tiba di restoran pinggir pantai. Ia ingin makan ikan bakar pagi ini. Keinginannya begitu menggebu dan tak bisa ditahan. Aneh memang, tapi mungkin semua itu adalah awal yang baik. Setidaknya, dirinya sudah memiliki keinginan untuk menyantap makanan. Setidaknya, ia kembali memiliki tujuan dan tak langsung terpikirkan tentang Lian dan pengkhianatan yang tak bisa diterima oleh hatinya itu. Ini saatnya untuk maju dengan membawa sebagian hati yang tersisa. Berharap waktu berbaik hati dan menunjukkan keajaibannya, membuat Ayu mampu melupakan semuanya dan kembali menemukan bahagia.
Wanita itu memesan ikan bakar dan sepiring nasi. Sarapan yang tak biasa, akan tetapi seperti itulah Ayu memulai paginya hari ini. Perempuan itu menatap sekitarnya. Embusan angin laut membelai pipinya. Di tepi pantai sana, ia melihat dua sejoli yang bergandengan tangan. Mereka begitu dimabuk cinta, terlihat jelas dari bagaimana keduanya saling memandang. Bahkan lautan pun iri melihat kemesraan keduanya, tetapi tidak dengan Ayu yang kini mengerti bila cinta itu tak abadi. Senyum penuh kebahagiaan terlukis jelas di wajah keduanya, membuat Ayu tersenyum miris. Dirinya pun pernah berada di titik itu. Terlihat bahagia dan mengabaikan dunia di sekitarnya. Dirinya dan Lian sering pergi ke pantai, bergandengan tangan, dan menikmati pemandangan luar biasa yang Tuhan ciptakan untuk seluruh penghuni bumi. Mereka sempurna.
Rasanya, baru kemarin dirinya berada di posisi yang sama. Menjadi wanita yang paling bahagia di dunia ini dan mengira bila kebahagiaan itu bisa dimilikinya selamanya. Hari itu mereka menghabiskan waktu bersama di pantai. Tak melakukan banyak hal di sana. Mereka hanya duduk di bibir pantai, membiarkan kaki telanjangg mereka tersapu ombak, dan menikmati pemandangan matahari terbit. Keduanya bahkan rela untuk tidur di dalam mobil demi menanti moment ini. Menjadi pengembara adalah hal yang diajarkan Lian padanya. Berjuang hanya untuk melihat pemandangan seperti ini adalah kali pertama bagi Ayu. Pria itu mengajarkan banyak hal yang tak pernah Ayu lakukan sebelum mereka bertemu. Lian segalanya bagi Ayu.
“Bagaimana pinggangmu? Apa sakit karna tidur di mobil?” Tanya Lian begitu Ayu menyusulnya yang sudah duduk di kap mobil. Pria itu mengulurkan minuman botol yang mereka beli dari mini market saat perjalanan ke tempat itu, “Maaf karena membuatmu tersiksa. Aku pikir, kamu nggak pernah melakukan hal ini dan akan menyenangkan untuk melakukan hal yang nggak pernah kamu lakukan sebelumnya,” Lanjut pria itu setelah Ayu meneguk minuman yang diberikannya. Ayu tersenyum dan menyandarkan kepalanya pada lengan Lian.
“Tidur di mobil semalaman memang nggak nyaman. Membuat sekujur tubuh sakit, tapi aku nggak masalah dengan semua itu karena kamu ada di sisiku,” Wanita itu mengadahkan wajahnya untuk menatap wajah Lian yang kini dihiasi senyum bahagia. Senyum yang sama menular pada Ayu. Wanita itu kembali menyandarkan kepalanya pada lengan Lian, “Kini aku tahu kalau kebahagiaan itu cukup sederhana,” Ayu sengaja mengambil jeda sebelum melanjutkan perkataannya, “Menghabiskan waktu dengan orang yang kita cintai adalah han yang membahagiakan. Terbangun dan melihatmu di sampingku adalah bahagia. Kini, semua tentangmu bisa membuatku sangat bahagia,” Lanjut Ayu yang tak berani menatap pria di sampingnya karena pipinya yang mulai menghangat. Malu dan juga bahagia karena semua perkataan yang keluar dari bibirnya. Hatinya bergemuruh dan tak pernah ini sebelumnya.
Pria itu menyentuh pipi Ayu, mengarahkan wajah perempuan itu ke arahnya. Lian menatap ke dalam sepasang netra perempuan itu dan tersenyum lembut. “Aneh sekali karena aku merasakan kebahagiaan yang sama dengan semua hal itu,” Pria itu mengusap lembut pipi Ayu, kemudian mempertipis jarak di antara wajah mereka, “Aku terlalu mencintaimu, Yu.”
Kata cinta pria itu mampu membuat jantung Ayu meliar. Hatinya bersorak senang dan kehangatan menjalar ke setiap ruang di hatinya. Dirinya tak pernah merasakan cinta sedalam ini dan hanya pria itu lah yang mampu membuat Ayu terjatuh begitu dalam pada cinta. Ia bahkan melupakan segalanya. Tak lagi mementingkan apa yang orang-orang katakan. Yang dirinya tahu, Lian adalah belahan jiwa yang membuatnya merasa lengkap karena cinta mereka.
“Aku juga mencintaimu, Mas,” Ucapan Ayu begitu tulus, kata hati yang dipenuhi dengan kebahagiaan. Sesaat kemudian, Lian meniadakan jarak di antara bibir mereka. Bibir mereka bergerak seirama, saling mengecap, dan lautan adalah saksi bisu akan cinta keduanya.
“Kita harus segera duduk di bibir pantai dan menikmati pemandangan yang akan membuatmu tercengang,” Ujar Lian setelah menyudahi ciumaann mereka. Ayu mengangguk, lalu keduanya kembali bergenggaman tangan dan berjalan menuju bibir pantai.
“Aku beruntung karena bisa melihat dua keindahan sekaligus,” Perkataan Lian membuat Ayu mengarahkan pandangannya pada pria yang duduk di sampingnya, “Matahari terbit dan juga senyummu,” Lanjut pria itu yang membuat pipi Ayu kembali menghangat. Jangan tanyakan bagaimana kondisi hatinya kala itu. Hendak meledak karena semua kebahagiaan yang pria itu berikan untuknya. Bukan pria itu yang beruntung, melainkan Ayu yang beruntung.
Kala itu, pemandangan yang mereka saksikan begitu indah. Mentari yang perlahan muncul mampu membuat hati keduanya menghangat. Ayu menyandarkan kepalanya pada lengan Lian, sedangkan sebelah tangan mereka saling bergenggaman. Semuanya sempurna dan Ayu berharap bila mereka bisa menyaksikan keindahan itu hingga mereka tua nanti. Bersama selamanya.
Suara ponsel menarik Ayu kembali ke alam nyata. Gina kembali menghubunginya. Mengingatkan Ayu bila dirinya belum memeriksa beberapa dokumen yang dikirimkan Gina ke ponselnya. Ayu pikir, Lian tak lagi mampu menarik fokusnya, tetapi dugaannya salah. Melihat sepasang kekasih di tepi pantai saja, mampu membuatnya teringat kembali ke masa-masa indah yang kini harus disebutnya sebagai kenangan yang harus dilupakan. Mengapa pria itu tak henti-hentinya menyiksa hati maupun pikirannya? Bagaimana caranya melupakan pria itu?
Ayu tak lagi ingin membiarkan dirinya tenggelam dalam masa lalu yang telah usai. Perempuan itu menjawab panggilan Gina dan berharap perempuan itu menyelipkan kabar tentang Lian yang sebenarnya tak harus Ayu ketahui lagi. Namun ia tak bisa membohongi hatinya. Meski hanya mendengarkan nama pria itu disebut bisa membuat hatinya perih, dirinya tak bisa menghentikan rasa ingin tahunya tentang bagaimana kehidupan pria itu tanpanya. Tidak, Ayu tak berharap bila pria itu tampak sama kacaunya seperti dirinya karena ia tahu benar bila hanya dirinya yang mencintai. Pria itu tak hancur, dirinya sendiri yang tenggelam dalam luka.
“Saya ingin memberitahukan masalah pemilihan CEO baru. Kita sudah menemukan tiga orang kandidat. Apakah Bu Ayu ingin saya kirimkan salinan lamaran para kandidat?” Gina segera bertanya begitu Ayu menjawab halo dan menanyakan kepentingan perempuan itu.
“Untuk kali ini. Aku menyerahkan semuanya padamu. Pilih satu yang menurutmu akan cocok untuk menempati posisi itu,” Otak Ayu sedang tak bisa digunakan untuk berpikir dan dia tak bisa memutuskan hal sebesar ini. Dirinya percaya bila Gina mampu melakukan tugas itu. Gina sangat mengenal pribadinya dan tahu apa yang terbaik untuk perusahaan.
“Ini keputusan besar dan harusnya Anda yang memutuskannya,” Ada keraguan dalam nada suara Gina, akan tetapi tak ada keraguan di hati Ayu. Dirinya malah ragu mengambil keputusan yang salah di saat dirinya tak bisa fokus untuk memilih yang terbaik. Untuk memilih apa yang terbaik bagi hidup dan pernikahan mereka saja Ayu tak mampu. Apa lagi memilih CEO.
“Aku sedang kacau dan nggak mau kalau pilihanku akan membuat keadaan semakin kacau. Aku mempercayaimu, jadi tolong pilih yang menurutmu terbaik. Pelajari riwayat hidupnya dan juga perjalanan karirnya. Bantu aku kali ini saja,” Ayu terdengar begitu putus asa, membuat perempuan di seberang sana mengembuskan napas panjang. Ayu berjanji, saat kembali nanti, dirinya tak ‘kan selemah ini. Dirinya butuh waktu dan menikmati lukanya sendirian.
“Baiklah. Apa perlu saya kirimkan riwayat para kandidat?”
“Nggak perlu,” Jawab Ayu cepat, “Aku akan memeriksa semua pekerjaan yang kamu kirimkan dan memberikan tanggapan secepat mungkin. Terima kasih atas bantuanmu. Semua ini sangat berarti untukku, Mbak,” Lanjut Ayu dengan tulus. Ia beruntung memiliki Gina.
“Anda nggak perlu berterima kasih,” Ujar perempuan dari seberang sana, “Ada laporan lain lagi, Bu,” Gina mengambil jeda sebelum melanjutkan perkataannya, “Pak Lian mengirim bunga untuk Ibu. Kemarin sore dan juga pagi ini. Bunga Lily putih,” Lanjut perempuan itu dengan hati-hati, tak ingin menambah luka hati Ayu. Sementara itu, Ayu mengatakan terima kasih dan panggilan pun segera berakhir. Ayu tersenyum tipis dan menatap lautan di depannya.
“Kamu tahu kenapa aku menyukai Lily putih?” Pertanyaan itu Ayu layangkan pada Lian ketika mereka mengunjui toko bunga, “Bunga Lily putih bisa disebut sebagai bunga kesedihan. Oleh karena itu sering hadir di rumah duka dan pemakaman. Sama dengan hidupku. Penuh kesedihan,” Lanjut Ayu yang tersenyum tipis, sedang Lian menatapnya sendu. Kemudian pria itu menggenggam tangannya dan berbisik; “Mulai saat ini, hidupmu nggak lagi penuh kesedihan.”