Apa yang diihat semua orang, tak selalu kejadian yang sebenarnya. Kebahagian yang ditunjukkan orang-orang, tak bisa membuat kau beranggapan jika orang itu sempurna dan bahagia. Pada hakikatnya, tak ada seorang pun yang tak memiliki masalah di dalam hidup. Tak ada seorang pun yang mampu hidup bahagia selama-lamanya tanpa rasa sedih maupun kesepian yang menghampirinya. Pada intinya, tak semua orang yang tampak bahagia, benar-benar bahagia. Mereka hanya pintar menyembunyikan rasa dan juga masalah yang mereka hadapi.
Apa yang tidak Ayu miliki di dalam kehidupannya. Ia hampir memiliki semua yang orang-orang impikan di luar sana. Keluarganya kaya dan ia bisa membeli apa pun yang ada di dunia ini tanpa memikirkan bila uangnya akan berkurang. Kedua orang tua yang begitu menyayanginya, meski tak memiliki banyak waktu untuk memainkan rumah-rumahan dengannya. Wajahnya? Ayu mewarisi kecantikan Sang ibu yang tak lain adalah seorang penyanyi terkenal di masa lalu. Hidung mancung dan bibir mungil itu adalah warisan ibunya. Saat wanita itu tersenyum, maka lesung pipi di pipi kiri akan menambah kecantikan wanita itu. Tubuhnya sempurna karena dirinya sudah diajarkan menjaga tubuh sejak remaja, pergi ke tempat gym dan makan-makanan sehat. Pada intinya, Ayu tak pernah tahu bagaimana rasanya kekurangan di dalam hidup ini.
Semua orang mengatainya sebagai gadis beruntung dan berharap bisa berada di posisinya. Meski hanya sepuluh menit, banyak orang yang ingin menjadinya. Gadis konglomerat yang tak pernah memusingkan uang, seperti masalah sebagian banyak orang di muka bumi ini. Dirinya selalu tampil sempurna. Ke manapun dirinya melangkah, banyak orang yang menatapnya iri, kagum, dan memuja. Ayu paket lengkap. Cantik, kaya, dan juga baik hati. Setidaknya, sebelum kepergian kedua orang tuanya, wanita itu adalah seorang yang sehangat mentari. Mudah senyum dan selalu menyapa semua orang yang ditemuinya. Dirinya adalah role model banyak gadis.
Namun keindahan membuat orang lupa, bila manusia adalah makhluk yang tak sempurna. Di dalam hidupnya yang tampak menyenangkan itu, Ayu pun mendapatkan banyak kesulitan. Senyum sempurna dan segala ketenangan yang ditunjukkannya, menyembunyikan semua perjuangan kerasnya sebagai seorang pewaris tunggal. Ia tak pernah pergi bermain berasama teman-teman seperti remaja kebanyakan. Dirinya terlalu sibuk belajar dan disiapkan untuk kuat.
Ayu yang sudah menyelesaikan semua tugas yang dikirimkan Gina. Memasang headset Bluetooth ke telinganya. Ia tak ingin memanjakan telinganya dengan melodi laut yang kembali membuatnya teringat pada pria yang tak pernah memikirkannya. Melodi indah yang dulu disukainya, sekarang harus menjadi sesuatu yang tak disukainya. Bukan karena kemerduannya yang berubah. Hanya saja, kenangan yang tersimpan di dalam setiap embusannya. Menyakitkan sanubarinya, membuat dadanya begitu sesak. Ini bukan lagi saatnya menyiksa diri.
Ayu terkesiap begitu merasakan seseorang duduk di hadapannya. “Boleh aku bergabung?” Tanya Si pria dengan begitu ramah. Suaranya masih terdengar oleh Ayu karena memang Ayu tak begitu suka mendengar musik dengan volume yang terlalu besar. Ia tak ingin memekakkan telinga dan tak tahu apa yang terjadi di sekitarnya. Sejak dulu, dirinya sudah terbiasa memperhatikan sekeliling karena dirinya adalah pusat perhatian dan menjaga image sudah tertanam di dalam pikirannya sejak ia muda. Terlahir di keluarga kaya, tak selamanya menyenangkan. Begitu banyak beban yang harus dipikul, yang tak bisa diketahui orang di luar sana. Mereka yang menganggap hidupnya mudah, tak tahu bila ia sama saja dengan mereka.
Ayu melepas salah satu headset yang menutupi telinganya dan meletakkannya di meja. “Kamu penguntit?” Ayu menatap Si pria dengan tatapan penuh curiga. Ia masih mengenali pria menyebalkan yang ditemuinya kemarin. Pria sok tahu yang menghakiminya. Ya, ia putus asa dan patah hati. Ya, ia berpikir bila kematian akan terasa menyenangkan. Namun, ia tak ingin pergi dari dunia ini sebelum melihat penderitaan orang yang membuatnya kembali hancur.
Pria di hadapan Ayu terbahak. “Kamu percaya takdir atau jodoh?” Si pria menatap Ayu penuh minta, meski perempuan di hadapannya terlihat jengah padanya, “Dari pada berpikir kalau aku seorang penguntit. Kenapa nggak berpikir kalau takdir yang mempertemukan kita?” Lanjut Si pria yang tak merasa tersinggung dengan sikap dingin dan nada sarkas Ayu.
“Kata takdir dan jodoh hanya digunakan pria untuk menggoda seorang perempuan yang mereka pikir lemah. Nyatanya, pria itu terlalu bodo0h karena berpikir bila semua perempuan di muka bumi ini adalah pengkhayal sejati yang percaya akan kisah dongeng tentang putri raja. Dia lupa, kalau ada sebagian wanita yang cukup realistis dan membenci pria seperti itu,” Ayu berkata dengan sarkastis, sedangkan pria di hadapan Ayu kembali tergelak. Padahal, Ayu tak melucu.
“Secara nggak langsung, kamu mengataiku bod0oh?” Si pria menaikkan sebelah alisnya dan menatap Ayu penuh tanya, sedang perempuan itu memutar kedua matanya dengan malas.
“Ternyata, kamu cukup pintar untuk merasa tersindir,” Ayu berkata dengan datar, “Jika kamu begitu pintar. Seharusnya, kamu juga meninggalkan mejaku dan nggak lagi mengganggu. Aku butuh kesunyian dan orang sepertimu terlihat nggak begitu bisa menutup mulutnya.”
Lagi-lagi pria itu tergelak. Ayu mulai heran dengan pria di hadapannya. Bagaimana sikap dingin dan perkataan sarkasnya dianggap sebagai lelucon oleh pria itu? Padahal Ayu tak berminat untuk melucu. Ia hanya tidak menyukai pria yang hampir sama seperti Lian. Pria yang tak terpengaruh dengan sikap dinginnya dan terus mendekatinya. Sayangnya, Ayu tak ‘kan tertipu untuk yang kedua kalinya. Mungkin saja, semua pria di dunia ini sama bejatnya seperti Lian. Menggoda dengan kata-kata indah, lalu melemparmu begitu saja ke dasar. Menyakitimu seolah kau adalah robot yang tak mampu merasakan rasa sakit sama sekali. Pria adalah penipu.
Pria itu menyandarkan punggung di sandaran kursi, lalu melempar pandangan ke sekelilingnya, membuat Ayu mengikuti arah pandang pria itu. “Seperti yang kamu lihat. Tempat ini ramai dan aku nggak menemukan tempat kosong. Kebanyakan yang datang adalah pasangan dan keluarga. Rasanya nggak enak jika aku bergabung dengan meja mereka. Lalu, aku menemukan seorang yang sedang sendirian di sudut ruangan,” Pria itu menoleh pada Ayu dan menatap ke dalam mata Ayu, “Ku pikir, lebih baik aku bergabung dengannya,” Lanjut Si pria.
Ayu tak tahu sejak kapan tempat itu seramai ini. Tadi pagi saat ia datang, masih ada beberapa kursi kosong yang tersisa. Setelah menghabiskan sarapannya, wanita itu memesan makanan lain, seolah dirinya begitu lapar dan tak makan seminggu lamanya. Ia seperti hendak melampiaskan semua amarah dan kesedihannya dengan makanan. Bukankah makan banyak bisa mengurangi stressmu dan itu lah yang tengah Ayu lakukan. Hingga dirinya tak sadar bila tempat itu sudah mulai ramai. Dirinya tenggelam dalam makanan dan juga pekerjaan. Mungkin, inilah saatnya pergi dan kembali bersembunyi di dalam cottagenya. Menanti malam tiba, lalu berjalan-jalan sebentar di pinggir pantai, mencari makanan, dan kembali untuk tidur. Ya, hanya itu rencana yang ada di dalam benaknya saat ini. Ia tak ingin berada di tengah keramaian dan merasa begitu kesepian. Ia tak ingin merasakan tahap paling parah dari patah hati itu.
“Kalau begitu, kamu bisa menikmati meja ini sendirian karena aku akan pergi,” Ayu hendak mengemaskan barang-barangnya di meja, akan tetapi Si pria mencegahnya dengan menahan laptop yang hendak Ayu masukkan ke dalam ransel dengan tangannya. Perbuatan pria itu membuat Ayu segera memelototi pria yang tak berhenti bersikap menyebalkan.
“Tinggal lah sebentar,” Pria itu kali ini menatapnya memohon, seolah pria itu sama sepertinya. Tak begitu suka atau sudah muak dengan kesendirian. Pria itu terlihat tak begitu suka bersantap seorang diri, sama seperti Ayu yang bersorak senang begitu ia menikah dengan Lian, sehingga dirinya tak lagi harus menyantap makanannya seorang diri bila mengunjui restoran untuk mencicipi makanan di sana. Dirinya merasa beruntung dengan kehadiran Lian yang benar-benar melengkapi semua kekurangan dan kehampaan di hidupnya. Namun sekarang tidak lagi.
“Aku nggak begitu suka bergabung dengan seorang asing,” Ayu menyingkirkan tangan pria itu dan memasukkan laptop ke dalam tas ranselnya, “Lagi pula, aku bukan wanita seperti yang ada di dalam pikiranmu. Wanita kesepian atau lemah yang bisa kau jerat dalam permainan hatimu. Aku nggak tertarik sama sekali dengan manusia sepertimu,” Lanjut Ayu sarkastis.
“Aku akan mentraktirmu Papeda ikan kuah kuning yang terkenal di restoran ini,” Tawar pria itu yang tentu saja langsung membuat Ayu tertawa garing, seolah mengejek tawaran pria itu, “Aku yakin kalau kamu belum mencobanya. Aku sudah beberapa kali ke sini dan menu ini adalah menu favorit di restoran ini. Melihat piring-piring kosong di meja ini membuatku yakin kalau kamu masih bisa menyantap makanan ini dan kamu akan menyesal jika nggak mencobanya,” Lanjut Si pria yang masih berusaha meyakinkan Ayu untuk tetap tinggal.
“Asal kamu tahu, aku nggak perlu traktiran orang sepertimu. Untuk membeli seluruh restoran ini saja aku sanggup bila aku mau dan menerima uang seorang asing bukan lah hal yang kusukai,” Ayu mengangkat sedikit dagunya dan membiarkan pria itu melihat kesombongannya.
Pria itu tersenyum dan mengulurkan tangannya pada Ayu. “Namaku Darian Kusuma dan dengan begini, aku bukan lagi seorang asing untukmu karena kamu sudah menegtahui nama lengkapku,” Pria itu mengedipkan sebelah matanya pada Ayu, sedang Ayu menatap Si pria garang dan tak berniat untuk menyambut uluran tangan pria itu. Siapa sangka, pria itu malah menggenggam tangannya yang masih berada di meja dan menggerak-gerakkannya di udara.
Ayu segera menarik tangannya. “Apa kamu memang selalu menyebalkan seperti ini?” Ayu bertanya dengan gusar. Ayu salah, pria di hadapannya tak seperti Lian di awal pertemuan mereka dulu. Lian bersikap sopan meski Ayu bersikap dingin padanya. Pria itu juga tak membuatnya kesal seperti apa yang … siapa namanya tadi, Darian. Ya, tak seperti Darian yang sejak awal pertemuannya membuat amarah Ayu meningkat. Bagaimana bisa Ayu selalu membandingkan semua pria yang ditemuinya dengan Lian? Begitu putus asa dan besarkah cintanya untuk Lian?
Pria itu tergelak. “Biasanya nggak seperti ini karena perempuan langsung meleleh begitu ku senyumin,” Si pria tersenyum penuh percaya diri, sedang Ayu menatapnya jijik.
Pembicaraan keduanya terhenti, begitu seorang pramusaji menyajikan dua porsi makanan yang tadi disebutkan oleh Si pria. Darian tersenyum menggoda sembari mengedipkan sebelah matanya pada Ayu. Si pramusaji segera meninggalkan keduanya begitu Darian mengucapkan terima kasih. Sementara itu, Ayu menatap Si pria dengan tatapan tak percaya. Mengapa ada pria yang menyebalkan dan pemaksa seperti pria itu? Ia pikir, siapa dirinya itu?
“Makanlah selagi hangat. Makanan ini bisa membuat hatimu senang,” Kali ini Si pria berkata dengan lembut, tak ingin lagi memancing kemarahan Ayu, “Aku nggak bermaksud apa pun. Aku hanya berpikir jika orang yang sedang sendirian seperti kita, hanya butuh ditemani. Lagipula, makan sendirian itu nggak menyenangkan. Aku nggak pernah suka makan sendirian.”
Perkataan dan sikap pria itu terlihat begitu tulus, akan tetapi Ayu terlanjur menutup hati dan memutuskan untuk tak lagi mempercayai orang lain seperti dulu. “Nggak perlu basa-basi atau mengatakan hal-hal yang seolah membuatmu mengerti diriku,” Ayu berkata dingin.
“Terserah padamu karena aku nggak minta kamu mempercayai apa pun yang ku katakan, tapi aku harap kalau kamu nggak suka membuang makanan. Sayang sekali kalau makanan ini nggak dihabiskan,” Si pria menatap makanan di meja dengan sedih, membuat Ayu mengarahkan pandangan ke arah yang sama, “Nggak baik terlihat kuat saat hatimu sedang lemah. Nggak baik menahan tangis saat ingin menangis. Sedikit kebaikan, nggak akan membunuhmu, Nona.”
“Nyonya!” Ralat Ayu. Ayu segera mengambil makanan yang disajikan di depan mereka dan menyantapnya. Ia ingin segera pergi dari Darian yang seolah mampu melihat hatinya.