bc

Summer Elegy

book_age0+
340
FOLLOW
1.4K
READ
love after marriage
age gap
second chance
doctor
drama
comedy
bxg
campus
city
like
intro-logo
Blurb

Bagi Mercy, kebahagiaan itu hanya dua:

1. Bisa tidur dan makan tanpa diganggu.

2. Sergio Romanos.

Perjuangannya untuk mendapatkan Sergio setelah bertahun-tahun berusaha akhirnya berhasil, dan kisah cintanya bersama Sergio adalah yang terbaik--menurutnya.

Namun hal itu tidak berlangsung lama karena kemudian Sergio minta putus dengan mengatakan: "She's probably pregnant with my baby."

Kebahagiaan itu lenyap sudah.

-----

Bagi Andrew, malapetaka itu hanya dua:

1. Ditinggalkan.

2. Dilupakan.

Dia tidak melupakan, maupun meninggalkan. Sebaliknya, dialah yang ditinggalkan.

Mengubur semua masa lalunya yang tidak ingin diingatnya adalah salah satu hal yang membuatnya tetap bertahan.

Tapi awan kelabunya berangsur bergerak saat dia bertemu dengan seorang residen bedah.

Malapetakanya pun berlalu.

-----

Klise memang mengharapkan dua tokoh utama untuk menjadi satu pada akhirnya. Tapi bukankah memang hidup harus selalu optimis untuk mengharapkan akhir yang bahagia?

"Gue nggak optimis."

"Bukannya hidup harus optimis?"

"Seharusnya. Bukan berarti selamanya optimiskan?"

"Dasar pesimis!"

chap-preview
Free preview
One
Mercy. "Mey, lo abis ini mau ngapain?" Tanya Sissy. "Gue masih ada konsul lagi nih ke kampus. Ada tindakan yang membuat gue shock parah sih tadi, makanya gue kudu balik ke kampus dulu. Sekalian sih sama anak-anak lainnya juga." "Hngg..." aku menggangguk saja. Sissy ini kadang nggak bisa mengerti keadaan temannya yang kelelahan karena jadi babu. "Lo mau ikut ke kampus nggak?" Tanyanya Aku menggeleng, masih menenggelamkan kepalaku. Aku saat ini sedang tidur—well, tidak sepenuhnya tidur juga sih. Aku duduk diatas kursi yang biasa dipakai para co-ass untuk begadang menulis laporan, aku melipat kedua tanganku di atas meja dan menenggelamkan kepalaku di dalamnya. Udara sejuk dari pendingin ruangan ini membuatku semakin lelap. Walaupun aku tidak bisa tidur, setidaknya berikan aku waktu untuk memejamkan mataku barang beberapa menit saja sebelum aku kerja rodi lagi. "Mey, gue serius. Mau ke kampus nggak? Nanti kalo ternyata ada Sergio di kampus lo mewek lagi karena nggak bisa ketemu dia?" Aku mendengus sebal, akhirnya aku membuka mataku dan menegakkan tubuhku lalu melihat Sissy dengan tatapan mautku. "Mey, kantong mata lu..." Dia terkejut kantong mataku yang bertambah besar dan semakin menghitam. "Rambut lo Mey..." dia menunjuk mata dan rambutku secara bergantian, dengan tatapan heran karena wujudku yang... entahlah, mungkin mengenaskan. "I don't even care what other people say about me today. But please, lo tahu kan betapa susahnya gue dapetin Sergio? Masa lo tega banget mau ajak gue ketemu Sergio kayak begini tapi wujudnya?" aku mulai mengacak-acak rambutku. "Arghhh!! Kenapa gue harus ambil bedah sih?! Jadi susah dapet waktu bobo kan gue! Terus gue nggak bakal bisa cantik-cantik lagi kayak dokter gigi di lantai atas! Huaaaaaa!!!" "Yah Mey... jangan nangis dongg!!!" seru Sissy. "Ya udah deh, kalo ada Sergio gue bilang lo lagi nyalon, lagi mempercantik diri demi masa depan lo yang cerah bersama spesialis obgyn terbeken di masa depan." Aku langsung membentuk 'o' dengan menggunakan jari telenjuk dan jempol tangan kananku, lalu memejamkan mataku dan membenamkannya seperti tadi lagi. Tak lama kemudian setelah Sissy menutup pintu, aku masih memejamkan mataku. Namun, "surga" singkat bagi residen bedah yang singkat itu tidaklah cukup untuk disebut singkat bagi kami, para residen bedah. Drrt... Drrtt... Ponselku berdering. Oh my, bisakah pasien tidak datang dulu sebentar saja. Aku butuh istirahat. Sangat membutuhkan istirahat. Catat itu baik-baik. Drrt... Drrtt... Aku mengabaikan getaran pertama dan keduanya. Aku masih tidak mau melihat siapa yang menelepon, dan aku tidak peduli tentang siapa yang sekarat di luar sana. Aku mau istirahat. Drrt... Drrtt... Oke, baiklah! "Siapa sih yang nelpon jam segini!?" seruku. Aku segera melihat caller ID yang muncul di layar ponsel putihku. Komandan Bedah. Aku terkejut melihat siapa yang meneleponku. Rupanya Dokter Dhani! Sial! Kenapa harus beliau yang menelepon!? Aku ingin mencabut baterai ponselku saja rasanya. Tapi kalua begitu dia pasti akan mengomeliku karena melarikan diri dari tanggungjawab, dan pasti akan menyuruhku untuk melanjutkan tidurku, lalu menulis surat pengunduran diriku dari rumah sakit ini sebagai residen. Ugh, serba salah saja. Akhirnya, aku mengangkat telepon dari Komandan Bedah alias Dokter Dhani. "I—iya, Dok... Marceline Effendi siap mendengar komando." "Siap mendengar komando mata lu somplak! Kalo siap dengar komando dari getaran pertama diangkat! Udah berapa kali coba kamu angkat telepon lama begini?" "Am.. Ampun Dok... Baru dua kali kok.." "Baru dua kali!? Heh, kalau emang udah nggak mau jadi dokter lagi, cepet-cepet kawin gih sama Dokter Sergio! Nggak usah di rumah sakit! Bikin repot aja!" serunya. "Dalam dua menit kamu nggak ada di ruangan saya, langsung tulis surat pengunduran diri kamu di depan saya." Sambungan telepon terputus. Ini gawat. Astaga! Dua menit? Ruangan Dokter Dhani, ada sayap kanan rumah sakit ini. Sedangkan ruang istirahat co-ass dan residen tempatku berada sekarang ada di sayap kiri. Kira-kira kalau jalan ke sana perlu waktu sekitar lima menit karena alur muter-muter rumah sakit ini. Tapi... kalau lari... Tampa berpikir panjang, aku langsung memasukkan ponselku ke dalam snelli—jas putih selalu di pakai para dokter—lalu memakai sepatuku, dan melihat jam. 13.36. Oke, aku keluar ruangan. Aku melalui ruangan tertutup yang hanya dipakai oleh pegawai-pegawai dan co-ass serta residen. Kemudian, aku melalui lobi rumah sakit yang sangat ramai. Tentu saja ramai, bagaimana tidak? Hari ini banyak sekali yang sedang melakukan medical check-up karena promosi yang sedang diberikan oleh departemen penyakit dalam. Setelah akhirnya melewati lobi yang luar biasa ramai itu, aku pun melewati meja front office, mengitarinya dan akhirnya masuk ke departemen bedah. Aku sedikit merapikah pakaianku di depan ruangan Dokter Dhani. dr. Dhani Dharmawan, Sp. B. Aku mengetuk pintunya, dan masuk. "Jam berapa ini?" tanyanya dengan nada rendah. Ya Tuhan, aku lebih baik dimaki langsung olehnya. Apalagi posisi saat aku masuk di dalam sana banyak residen lainnya dengan pakaian rapih, sambal memakai snelli yang bersih dan putih itu. Astaga... "Jam 13.39 Dok," jawabku. Persetanlah dengan segala makian yang akan mengikutinya. "Tadi saya bilang berapa menit?" "Dua menit Dok!" seruku balik. "Telat satu menit. Lakukan hukumanmu nanti," kata Dokter Dhani. "Berdiri di sana." Aku pun mengerti. Aku berdiri di sebelah Dea, gadis yang sangat rajin dengan selalu membawa catatan apabila ada panggilan konsulen seperti ini. Aku? Boro-boro bawa catatan, sampai di tempat ini nggak telat aja udah sukur. Panggilan siang ini sebenarnya cuma mau memberitahukan>Hello, hal seperti itu bisa dibaca lewat buku saja kali. Untuk apa Dokter Dhani mengumpulkan kami semua disini. Bikin susah saja. "Kamu!" seru Dokter Dhani sambil menunjuk orang disebelahku, Lewis. "Ulangi penjelasan saya tadi. Nyaris saja aku pikir aku tadi. Sudah beberapa kali ini aku selalu mengira kalau aku yang kena tunjuk Dokter Dhani tapi ternyata bukan aku yang sebenarnya ditunjuk. Thanks God. "Baiklah, sekarang sudah jam dua. Bagi yang jaga malam dan sudah piket pagi, silahkan pulang. Sekarang waktunya pertukaran jam jaga," kata Dokter Dhani. Akhirnya!!! Bisa mandi juga di rumah! "Untuk yang jaga besok jangan sampai telat! Mau alasannya pacaran kek, mau mobilnya gembos bannya kek, mau disuruh kawin kek, yang penting kalian harus sampai disini sebelum jam jaga dimulai! Mengerti?" "SIAP MENGERTI DOK!" Aku sudah sumringahan karena kesenangan akan mendapatkan weekend hari ini. Walaupun aku harus kembali lagi di minggu malam, tapi setidaknya lumayanlah ya untuk mendapatkan weekend hari ini. "Marceline! Jangan kabur dulu! Lakukan hukumanmu!" Oh ya, aku lupa dengan hukumanku. Sial. "Baik Dok." Aku melangkah keluar ruangan Dokter Dhani menuju ruangan mencuci alat-alat operasi. Biasanya yang melakukan hal semacam ini perawat saja. Sialnya aku sudah terlalu sering melakukan hal ini sampai-sampai aku lebih sering dipanggil 'Sus' ketimbang dipanggil 'Dok.' Aku ke dalam ruangan itu sambil memakai masker, penutup kepala, dan sarung tangan. Disana, sudah ada perawat-perawat kamar bedah yang biasa membersihkan alat-alat operasinya. Aku sudah hapal, mereka pun begitu juga harusnya. "Eh, ada Suster Mercy!" seru salah satu diantaranya. See what I told you? "Kena hukuman lagi ya dari Dokter Dhani?" Aku memberengut sambil mengangguk. Ya kalau aku nggak kena hukuman ngapain aku disini sih Sus? "Maklumin aja ya Dok," kata salah satu yang lainnya. "Dokter Dhani lagi putus cinta. Terus, pasien tadi—karena memang sudah komplikasi banyak—meninggal di meja operasi." Oh gitu toh ceritanya. Pantesan Dokter Dhani galak bener. Dia stress. --- Pulang ke rumah aku bertemu dengan Oma. Iya, kalian nggak salah baca Oma. Bukan Mama. "Dhani bilang kamu tadi lama angkat telepon?" Hadeh... kena lagi deh aku. "Iya tadi telat dikit," balasku. "KAMU TUH YAAA!!! HARUSNYA TAHU KALO JADI DOKTER ITU NGGAK BOLEH LAMA-LAMA!" "Am... Ampun Oma!!! Kan nggak sengaja juga!" "Kalo nggak sengaja nggak usah nunggu sampai getaran yang ketiga bisa kan? Lama amat sih!?"  "AMPUN OMAAAA!!!" "Ampun doang? Besok-besok masih begitu lagi?!" "Nggak Oma!! Udah cukupp! Mercy kapok Oma!! Kapoooook!" "Sana mandi!" Oma langsung menyuruhku mandi begitu aku kira Oma bakal memukul betis dan lenganku lagi. "Kali ini Oma nggak bakal pukul kamu. Sergio mau ajak kamu pergi makan malam hari ini, masa Oma tega biarin kamu jelek di depan Sergio?" Aku membelalakkan mataku. "Serius Oma?" Oma membalasnya dengan anggukkan. "Nggak ada kuliah malam dari Oma lagi hari ini?" "Kalau kamu mau, Oma bisa buat Sergio nggak jadi jemput kamu sih." Oma langsung mengambil ponselnya dan mulai mencari nama Sergio. "Eh... Nggak usah Oma. Mercy mandi dulu, nanti kalo ada Sergio bilangin tunggu bentar yahhh... Mercy mandinya nggak lama kokkk! Suwer dehhh! Love you Omaaa!" Aku pun segera mandi dan bergegas agar bisa ketemu Sergio. Rasanya sudah berabad-abad tidak bertemu dengannya membuatku ingin sekali untuk menyentuhnya. Kesibukan yang sialan ini membuatku tidak punya banyak waktu untuk bersamanya. Rasanya aku ingin sekali memiliki waktu pacaran normal seperti orang-orang kebanyakan. But, the patient needs doctor, and the doctor needs rest. Pasien di rumah sakit memang perlu dokter, dan setelah dokternya menolong pasien maka dokter secara naluri memerluka istirahat. Well, idiom itu berlaku untuk aku dan Sergio yang selalu kelelahan setelah jam jaga dan praktik yang hektik. Baiklah, setidaknya aku bisa pacaran normal dulu hari ini. Setidaknya aku bisa bertemu Sergio dulu. Bersyukur aja untuk hari ini. 

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Sexy Boss ⚠️

read
540.9K
bc

Istri Kecil Guru Killer

read
156.7K
bc

Marriage Agreement

read
590.8K
bc

The Prince Meet The Princess

read
182.0K
bc

Dosen Killer itu Suamiku

read
312.0K
bc

My Boss And His Past (Indonesia)

read
236.7K
bc

GADIS PELAYAN TUAN MUDA

read
465.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook