Bagian 1

1393 Words
Alya POV Alya Anindya wanita berusia 25 tahun memiliki postur tubuh yang proporsional. Wajah cantik ditambah dua lesung pipi menambah manis penampilan. Alya hanya tinggal berdua dengan ibunya sejak usianya 17 tahun. Lalu dimana ayahnya?? Ia sebenarnya sudah bosan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Ya, semenjak ia tahu kalau ayahnya pergi meninggalkan mereka demi wanita idaman lain. Alya sangat benci kepada ayahnya. Alya berasal dari keluarga yang cukup berada, tapi sejak perpisahan kedua orang tuanya hidup Alya berubah 180°. Alya remaja harus membantu ibunya berjualan demi mencukupi kebutuhan hidup mereka. Ibu Alya, Nina namanya berjualan snack ringan, karena rasa yang enak jadi banyak yang pesan dan semakin hari bertambah maju. Walau dengan kondisi keuangan yang cukup, tidak mengurangi semangat Alya untuk terus menuntut ilmu, hingga lulus kuliah dengan predikat cumlaudenya. Sekarang Alya sudah bekerja di salah satu perusahaan swasta sebagai salah satu staff di divisi keuangan. Keuangan keluarga Alya sudah stabil, bisa dibilang lebih dari cukup. Ditambah ibu Nina sekarang sudah memiliki usaha kateringan sendiri. Akhhir pekan seeperti saat ini biasanya Alya menghabiskan waktu untuk membantu ibunya beres-beres rumah, atau menonton drama Korea. Alya bukan tipe wanita yang suka jalan-jalan kemall. Alya termasuk anak rumahan. Saat sedang asyik nonton drama korea tiba-tiba pintu kamar diketuk dari luar. Tok..tok.. "Al..Alya..." panggil Ibu Nina. "Iya Bu, masuk aja engga Alya kunci pintunya." "Al, ada Fahri di depan, temuin dulu gih." Fahri adalah tunangan Alya, dalam waktu dekat mereka akan melangsungkan pernikahan. "Mas Fahri Bu?" "Iya, buruan temuin dulu ya." "Iya Bu, ko tumben banget mas Fahri kerumah engga ngabari Aku dulu ya." gumam Alya sambil memakai hijabnya. Alya memang sudah berhijab sejak sekolah menengah atas, walau masih sering menggunakan celana jeans, atau jilbab yang tidak menutupi bagian dadanya. "Mas Fahri, sudah lama?" Sapa Alya. "Belum ko Al." "Ko tumben mas engga ngabari Alya dulu mau main ke rumah? Alya jadi ga nyiapin makanan apa-apa." "Engga apa-apa Al," jawab Fahri dengan senyum menawannya "Oh iya Al, ada yang mau aku omongin sama kamu, tapi lebih baik kita ngobrolnya di luar aja ya." "Boleh mas, sebentar ya Alya pamit sama ibu dulu sekalian ambil tas dikamar" yang dijawabi anggukan oleh Fahri "Bu, Alya sama mas Fahri mau keluar dulu ya." pamit Alya ke ibunya. "Mau keluar? Ya sudah hati-hati di jalan ya.” "Baik ibuku sayang," jawab Alya sambil mencium pipi ibunya. Setelah berpamitan mereka langsung pergi. Alya dan Fahri memilih cafe dekat taman kota, tidak terlalu jauh dari rumah. Lima belas menit sudah sampai di cafe tersebut. "Mas Fahri mau pesen makan apa mas?" "Aku pesen minum aja Al, coffe cappucino late." "Kenapa mas? Mas Fahri belum makan siang kan?" "Gapapa Alya, aku memang belum lapar," Bohong Fahri sambil tersenyum. "Ya sudah kalau begitu pesen cheese cake aja ya mas buat cemilan." "Ya sudah terserah kamu aja." "Mba cheese cake dua, sama cappucino latenya dua ya." Pesen Alya ke pelayan. Bagaimana caraku menyampaikannya Al, kalau kamu terlalu baik seperti ini ,batin Fahri "Al, ada yang mau aku omongin sama kamu ini tentang hubungan kita." "Ya udah diomongin aja mas, mas Fahri ko keliatan gugup gitu. Kita kan juga sebentar lagi mau menikah pasti banyak yang harus diomongin kan mas." canda Alya. "Al," ucapan Fahri terpotong karena ada pelayan yang mengantar pesanan mereka. "Eh iya mas Fahri tadi mau ngomong apa? Jadi kepotong kan." "Sayang, loh kamu ada disini? Ko engga ngabari aku, handphone kamu juga aku hubungi engga diangkat," sapa seorang wanita yang tiba-tiba datang dan langsung menggelendot di lengan Fahri. Alya yang melihat interaksi dua orang di depannya cuma bisa terbengong 'sayang', aku tidak salah dengar kan tadi wanita itu manggil mas Fahri sayang. Fahri yang melihat ga enak ke arah Alya langsung mau mengenalkan wanita tadi ke Alya. "Al, kenalin ini.." “Hai, kenalin aku Sesil calon istri dari Fahri," ucap Sesil sambil mengulurkan tangannya. Fahri yang mau memperkenalkan Sesil kalah cepat dengan Sesil. Alya yang mendengar kata-kata Sesil tiba-tiba pikirannya jadi blank. "Calon Istri" bukannya aku calon istrinya. "Hallo," sapa Sesil yang mulai lelah mengulurkan tangannya "Ah, iya maaf, Alya" Alya merasa seperti de Javu, pikirannya benar-benar kosong. Mas Fahri yang dia anggap laki-laki baik nyatanya tidak jauh berbeda dengan ayahnya. Perasaan itu kembali hadir, rasa tersisih, terabaikan hingga tak sadar satu tetes air mata lolos dari matanya. Cepat-cepat Alya menyekanya. "Aku pergi dulu Sesil, aku lupa kalau ada janji dengan temanku." Pamit Alya bohong. Alya cepat-cepat pergi dari tempat itu. "Al, tunggu Al, aku bisa jelasin ini semua." "Cukup mas, tidak ada yang perlu dijelaskan lagi." Alya langsung lari keluar. Fahri yang mau mengejar Alya langsung dicekal oleh Sesil. "Fahri kamu mau kemana?” Fahri di depan Sesil tidak bisa berkutik dan membiarkan Alya pergi, "Maafkan aku Al, ini tidak seperti yang kamu pikirkan." batin Fahri. Fahri dan Alya memang sudah merencanakan pernikahan mereka, namun tiba-tiba perusahaan Fahri mengalami kerugian besar, dan hanya keluarga Sesil yang bisa membantu Fahri dengan syarat ia harus menikahi Sesil. Fahri setuju dengan kesepakatan tersebut, dan ia berniat akan membicarakan baik-baik dengan Alya. Namun siapa yang menyangka kalau akhirnya akan seperti ini. Alya berlari keluar dan langsung mencegat taxi yang lewat. "Taman kota pak." "Baik mba" Sesampainya di taman kota, Alya berjalan dengan gontai, kakinya terasa lemas. Ia menuju kursi di pojokan taman, di bawah pohon besar yang jauh dari jangkauan orang lewat. Karena ini jam makan siang taman itu juga terlihat lebih sepi. Alya memilih mendudukkan dirinya di situ. Sepuluh menit sudah berlalu Alya hanya duduk, tidak ada air mata yang keluar. Tatapannya kosong hingga di menit selanjutnya tangis Alya pecah. Tangis pilu yang menyayat hati bagi siapa saja yang mendengar pasti ikut merasakan kepiluan itu. "Ya Alloh ujian macam apa lagi ini, dulu ayah, sekarang mas Fahri, mereka sama-sama Alya sayangi dan cintai. Tapi mereka juga yang ninggalin Alya demi wanita lain," rintih Alya dalam tangisnya. "Apa Alya memang tidak pantas untuk dicintai,disayangi ya Alloh." Trauma akan masa lalu Alya kembali hadir, merasa diabaikan, diacuhkan, tak diinginkan membuat Alya merasa tidak percaya diri lagi. Alya teringat dia belum sholat Dzuhur, Alya menghentikan tangisnya dan segera menuju masjid yang ada di samping taman kota. Disholatmya Alya menumpahkan segala isi hatinya kepada Alloh SWT. Selepas sholat Alya mengusap wajahnya berharap bisa mengurangi sembab diwajahnya, agar ibunya tidak mencurigainya.             Alya langsung pulang ke rumah. Sesampainya di rumah ibu Nina menanyakan Fahri yang tidak mengantarnya pulang. Alya hanya menjawab kalau mas Fahri ada keperluan lain jadi tidak bisa mengantar pulang. Sudah pasti berbohong, ia tidak mau melihat ibunya sedih. Dua Minggu sudah berlalu semua panggilan maupun pesan dari Fahri Alya abaikan. Di kantor pun  Alya mengabaikan Fahri. Alya kini mulai terlihat berbeda. Tatapannya sering kosong, pekerjaannya banyak yang salah, wajahnya terlihat murung, dan sering menangis tanpa sebab. Semua adalah efek dari rasa trauma yang dari dulu ia pendam sendiri, rasa diabaikan, diacuhkan dan merasa tak diinginkan merubah semua sikap Alya. "Al,,, ni anak kenapa si? Dari kemarin bawaannya ga konsen Mulu, wajahnya murung mulu. Al, woiiii!" Teriak Mita ditelinga Alya. "Mitaa, Apa-apaan si teriak-teriak di telinga." Maki Alya kerena sudah dibikin kaget. "Nah kan marah, loe tuh yang kenapa daritadi gue panggil-panggil ga nyaut-nyaut?" Alya hanya menanggapi dengan tatapan datar. "Duh.. ni anak kesambet apa si, ko loe sekarang jadi oon begini. Tuh loe dipanggil Bu manajer, katanya laporan yang loe buat udah ditunggu-tunggu sama beliau." "Hmmm." cuma ditanggapi dengan lesu oleh Alya "Ya Ampun ni anak emang ngeselin banget ya, gue ngomong panjang kali lebar cuma dijawab hmm doang, males gue lama-lama sama elo." Seketika tangis Alya pecah, mendengar kata-kata terakhir Mita teman kantornya. "Yah ko malah nangis si. Hei,,, Al jangan di masukin ke hati, kamu tau sendiri kan ak suka bercanda sama kamu." Tangis Alya semakin keras membuat teman-teman satu ruangannya menoleh kearah mereka. Mita yang dilihatin sama yang lainnya merasa ga enak hati "hehe, biasa lagi PMS jadi sensitif." "Udah Al jangan nangis lagi dong, mana Alya yang aku kenal, kamu ada masalah apa? Cerita ya sama aku, nanti makan siang kamu harus cerita sama aku. Oke?” Alya menganggul dan menatap Mita sambil mengelap ingusnya yang keluar. Bagaimana pun ia tetap membutuhkan teman untuk berbagi, Karena tidak mungkin ia cerita ke ibunya. Ia tidak mau menambah beban ibunya. Mita teman satu kantornya yang berisiknya minta ampun, tapi dia juga yang paling peduli. Mita menjadi satu-satunya teman dekat alya, karena teman Alya tidaklah banyak bisa dihitun dengan jari melihat dari sifat tertutupnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD