6

1060 Words
   Fauzan dan Nathasia saling menguatkan, kenyataan soal kebenaran Ben menyapa mereka begitu tiba - tiba. Rasa kecewa, marah, sedih semua campur aduk. Fauzan mengalihkan tatapannya pada besannya. " Hen, maaf untuk kesalahan ini.." sesal Fauzan dengan mata merah menahan air mata. Sekuat mungkin Fauzan tidak akan menangis di depan besan dan anak - anaknya. " Semua sudah terjadi zan, jangan jadikan itu alasan untuk menjadikan hubungan kekeluargaan kita pecah, aku pun minta maaf karena anakku belum bisa membahagiakan mendiang anakmu.." Hendru menepuk sekilas bahu Fauzan sebagai tanda untuk menenangkan sahabat sekaligus besannya itu. " Terima kasih Hen karena masih mau menjalin hubungan kekeluargaan dengan kami yang mengecewakan kalian.." Sesal Nathasia berderai air mata. " Sama - sama, jangan merasa bersalah karena kita sama - sama salah, biarkan Kara dan Kenan bahagia, jangan sampai kita merusak kebahagiaan mereka.." balas Hendru yang di angguki istrinya. Kara mengusap air matanya yang terus mengalir itu, merasa lega juga dengan reaksi keluarganya. Beban di pundak pun sedikit terangkat, tinggal fokus pada Ben dan keluarga mendiang Rio. " Jangan nangis terus sayang.." bisik Kenan dengan sesekali mengecup kepala Kara. *** " Pantes mas Kenan kurang gesit saat istrinya hamil, ternyata bukan anak mas Kenan.." Keara mangut - mangut paham. Dia pikir kakaknya itu memang suka mempermainkan perasaan wanita atau bahkan mungkin Kenan ingin koleksi perempuan. " Maafin kak Sinta Ke, aku yang salah, harusnya_" " Apaan sih Ra, ga ada yang bener atau salah! semua udah garis Tuhan.." kesal Keara lalu detik berikutnya memeluk Kara. " Udah jangan nangis!" tambah Keara. Kenan melangkah menghampiri keduanya. Kenan mengusap kepala Kara yang bersandar di bahu Keara. " Istri mah kenapa lagi? jangan nangis dong " Kenan mengambil Kara lalu mengangkatnya agar duduk di pangkuan dan pelukannya. Keara yang peka pun beranjak meninggalkan keduanya di kamar mereka. " Mas, ini yang aku takutin, rasa bersalah sama kehilangan. Aku takut Ben di ambil " Kara masih merasa belum tenang. " Ben udah nunggu di bawah, mas bawa ke sini ya?" Kenan mencoba mencari penghiburan untuk Kara. " Iyah, Kara mau peluk Ben.." manja Kara tanpa sadar. Kenan mengecup kening Kara dalam." Iyah, bentar ya " *** Kenan memasukkan tangannya ke dalam pakaian Kara. Di usapnya perut Kara lembut. Kenan berharap Kara akan segera isi. " Mas geli.." gumam Kara di sela - sela tidurnya. Kenan menarik tangannya lalu kembali memeluk Kara. Kenan tidak ingin mengganggu tidur Kara lagi. " Ben mana mas? " tanya Kara serak. " Tidur sama mama, kamu juga tidur, besok kita harus berperang sayang" Benar, dia harus banyak tenaga untuk besok. *** Kara memeluk Kenan dengan begitu erat dan terus terisak penuh haru. Tak apa jika saat umur 17 Ben di urus keluarga mendiang Rio yang jelas untuk saat ini Kara tak bisa melepas Ben yang masih kecil. " Mas makasih, Kara sayang sama mas, Ben juga.." lirihnya dengan di iringi isakan haru. Hendru, Tuti, Nathasia dan Fauzan pun sama harunya. Ben akan besar dengan keluarganya walau tidak selamanya tinggal. " Syukurlah.. Terima kasih Kenan.." Ujar Fauzan dengan mata yang memerah menahan haru. " Sama - sama pa, Ben udah kayak anak Kenan sendiri.." Semua saling memberi kekuatan, saling berpelukan satu sama lain sebagai rasa syukur atas kebahagiaan hari ini. *** Kenan membalik Kara hingga beralih ke atasnya. Kenan belum ingin berhenti. Dia sangat ingin membuat Kara hamil. " Ah mas, kapan selesainya, Kara capek ah" lirih Kara di selipi desahan. " Sebentar lagi sayang, mas akan sampe.." bisik Kenan seraya semakin mengeratkan pelukannya. " Mas ah!" pekik Kara dengan tubuh melengking di dalam pelukan Kenan " Argh.." Kenan menggeram gemas, pelepasan yang selalu terasa luar biasa. " Makasih dek, besok kita konsul ke dokter yuk biar cepet hamil.." Kara hanya mengangguk lesu. *** Kenan dan Kara menunggu giliran, keduanya sedang berada di bidan untuk konsultasi. " Pengantin baru ya? " tanya ibu - ibu yang tengah mengantar anaknya konsultasi. Kenan dan Kara saling melempar tatapan sekilas. Kenan melempar senyum pada ibu - ibu itu. " Iyah bu, baru ssbulanan.." jawab Kenan ramah. " Kaliatan, lengket banget.." goda ibu - ibu itu di akhiri kekehan pelan. Kenan dan Kara pun membalasnya dengan kekehan pelan dan malu - malu. Apa seketara itu? Pikir Kara tersipu. " Mau konsul aja apa udah isi?" tanyanya lagi. " Konsul bu.." jawab Kara di sertai senyum. Ibu - ibu itu mangut - mangut paham." Semoga cepat isi ya.." doanya yang di amini keduanya. " Ibu anter anak ibu?" tanya Kara mencoba ramah. " Iyah, ini anak pertama ibu dan hamil tua, anak pertama.." jelasnya seraya merangkul sayang anaknya itu. Kara mangut - mangut pelan. " Suaminya pilot, susah banget atur waktu di tambah mau cuti lahiran jadi makin sibuk aja.." keluh ibu - ibu itu iba pada anaknya yang tidak pernah di antar suami untuk memeriksa kandungan. " Suami akukan cari uang buat aku bu sama anak kita, jangan sedih, aku aja yang di tinggal terus kuat.." ujar anak ibu itu dengan begitu dewasa. Ibu - ibu itu kembali tersenyum cerah." Iyah, yang penting kalian sehat.." " Bu Yulia.." panggil sang perawat. Ibu - ibu itu dan anaknya pun pamit untuk di periksa. " Tinggal kita, kamu ga papakan kok pucet?" tanya Kenan cemas. Di rabanya kening Kara." kamu ga demam.."lanjutnya bergumam. *** Kenan mengerjap, secepat itu? Semanjur itu? Kenan menatap bidan dan Kara bergantian. " Kara hamil? Baru kita mau konsul bu bidan.." Kenan tersenyum cerah. Kesadarannya sudah full kembali. Kara sibuk terisak haru, dia tidak menyangka akan secepat ini di beri kepercayaan oleh Tuhan. " Itu namanya emang rejeki, kandungannya jalan dua minggu lebih, masih rentan, jaga asupan makanan, pola tidur, jangan dulu melakukan hubungan suami istri ya.. Bapaknya tahan dulu.." goda sang bidan jenaka. Kara sontak tersipu sedangkan Kenan melempar cengiran. " Jadi libur dulu ya bu bidan, okelah demi anak ga masalah.." balas Kenan masih dengan wajah yang begitu cerah. Di peluknya Kara dengan erat, di kecupnya keningnya lalu kembali memeluk Kara dengan sangat erat. " Oh iya bu bidan kalau cuma pemanasan juga ga boleh?" tanya Kenan tak tahu malu. Kara meringis dengan rona merah di pipi semakin ketara. Bidan itu tersenyum maklum." Lebih baik jangan dulu, kalo ibu yang memberikan pemanasan untuk bapak tidak masalah.." Kenan kembali memeluk Kara." Dengerin ya dan inget kata - kata dokter, untuk sementara kita libur tapi kamu bisa kasih aku pemanasan.." bisik Kenan lalu terkekeh pelan. *** Kara mengusap kepala Kenan yang tengah asyik mencium perutnya itu. " Mas mau sampai kapan? Kara mau tidur susah kalau mas Kenan cium terus perutnya, geli mas.." keluh Kara dengan suara pelan karena malu. " Abis mas terlalu seneng.." Kenan menghentikan aksinya lalu memeluk Kara dengan erat. " Kamu ga ada mau apa gitu? Mas beliin.." Kara tersenyum." Ngidam? Belum mas.." jawab Kara. " Jangan sungkan ya buat minta tolong apapun itu, mas siap selagi mas mampu.."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD