MMB - Part 5

3426 Words
"Dia anak dari selingkuhan suamimu-" "Olivia cukup!!!" teriak Lucas sekeras mungkin pada Olivia yang tidak mau berhenti berbicara. Witna yang sedari tadi mencoba menahan rasa sakit yang muncul dari dalam tubuhnya tidak kuasa lagi, dadanya semakin sesak apalagi setelah mendengar satu fakta yang baru ia ketahui sekarang. "Kau sudah kelewatan, Olivia!" ujar Lucas mendekat ke arah Witna. "Kita ke rumah sakit, ya bu," bisiknya lalu mendorong kursi roda Witna. "Tunggu sebentar," Arthur yang sedari tadi mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari bibir Olivia akhirnya bersuara. "Siapa Aleda, mom? Apa hubungannya dengan kakek?" "Kau yakin ingin mengetahuinya?" Olivia bertanya balik. "Hentikan semua ini Olivia! Kau tidak lihat bagaimana kondisi ibuku sekarang?! Kau ikut denganku Arthur! Dan kau... tetap di rumah!" ujar Lucas dengan tegas pada Olivia dan keluar dari rumah itu. Arthur menatap Olivia yang menangis menutupi wajahnya. Apa yang mereka tutupi dari nenek dan aku? Rahasia apa yang ada di keluarga ini? *** "Kau jaga nenek sebentar ya, nanti daddy akan kembali lagi," Lucas berdiri dari duduknya, Witna sudah ditangani. Dan sekarang harus di rawat karena mengalami serangan jantung. Arthur mendongakkan kepalanya, "daddy mau kemana?" "Pulang," jawab Lucas dengan singkat. Arthur menganggukkan kepala, "hati-hati di jalan, dad," Lucas mengangguk dan menepuk pundak Arthur lalu pergi dari sana. Arthur berdiri dari tempatnya, ia pandangi Witna yang saat ini terbaring di ranjang rumah sakit melalui jendela di depannya. "Apakah yang dikatakan oleh mommy itu semuanya benar, nek? kalau kakek sudah mengkhianatimu." *** "Kenapa kau bersikap seperti itu kepada ibu? Kau lupa jika ibu mengidap sakit jantung? Kau ingin kondisi ibu memburuk karena ceritamu?" "Aku harus memberitahu kebenaran tentang ayah kepada ibu, Lucas. Sampai kapan kita akan merahasiakan ini semua? Terlebih lagi Arthur, dia harus tau kalau sebenarnya dia-" "Cukup, Olivia! Ku bilang cukup! Hentikan semua cerita tentang kesalahan yang telah dibuat oleh ayah di masa lalu!" Perdebatan terjadi antara Lucas dan Olivia dengan penampilan yang masih sama, mereka terus beradu argumen di dalam kamar bahkan Lucas mengacungkan jari telunjuknya ke arah Olivia yang mana itu tidak pernah ia lakukan kepada istrinya itu. Setiap hari ada saja keributan yang akan tercipta di rumah itu. Witna yang tidak menyukai Arthur, Olivia yang terus membela anaknya di depan Witna dan Lucas yang mencoba untuk bersikap netral di antara mereka. Namun, malam ini kesalahan fatal telah Olivia lakukan dan Lucas tidak bisa mentolerir kejadian itu. Ia tidak ingin kehilangan sang ibu. Ibunya harus kembali berkumpul bersamanya lagi di rumah ini. "Kau sungguh keterlaluan! Aku tau kau membela Arthur, tapi kau harus tau kondisi di sekitarmu! Apa sekarang pantas untuk memberitahukan itu semua kepada ibu? Bahkan caramu memberitahunya pun sudah sangat salah, Olivia! Kau membentaknya! Kau meninggikan suaramu kepadanya!!" teriak Lucas dengan ekspresi wajah yang benar-benar sudah sangat marah. "Aku tidak mau kehilangan ibu. Saat ini aku benar-benar belum siap untuk kehilangan orang tuaku lagi." ujar Lucas dengan suara bergetar lalu keluar dari kamar. Olivia berusaha mengejar Lucas. "Kau mau kemana?" tanya nya berusaha menyamakan langkah kaki mereka. "Rumah sakit, Arthur sendirian," "Aku ikut." Langkah Lucas seketika terhenti. "Aku mau ikut, aku ingin menjaga ibu." ujar Olivia merendahkan suaranya dan mendekat ke arah Lucas. Ia sentuh dan genggam tangan suaminya itu lalu kembali berucap, "aku salah. Aku minta maaf. Emosi sudah membuatku hilang akal. Aku tidak akan membahas itu lagi kepada ibu," Lucas tidak menjawab ucapan Olivia. Wanita itu dapat mendengar nafas suaminya yang memburu karena marah. "Maafkan aku. Tindakan yang aku lakukan benar-benar sudah salah. Amarah sudah menguasai ku dan tanpa sadar membuat ibu sakit. Aku salah, aku tidak akan mengulanginya lagi. Kalau perlu aku akan terus meminta maaf kepada ibu, dan tidak akan meninggikan suara kepadanya lagi. Aku janji." Lucas menoleh ke arah Olivia yang mana wanita itu mengangkat jari kelingkingnya dengan kedua mata yang basah. "Janji," ujarnya yang membuat Lucas langsung tersenyum geli. "Kau pikir kita ini masih anak-anak?" Lucas tertawa dan Olivia reflek ikut tertawa. Mereka berpelukan dan Olivia kembali mengucapkan kata maaf yang dibalas Lucas dengan anggukan kepala. ^^^ "Sudah tau tidak bisa makan makanan pedas, masih saja kau lakukan!" omel Rula pada Matthew yaitu kakak keduanya, pria itu sedang mengunjungi Rula yang memang tinggal sendiri di apartemen yang dibelikan oleh orang tua mereka. Matthew, pria empat puluh tahun namun memilih untuk tidak menikah karena menurutnya pernikahan adalah hal terberat yang akan ia jalani apalagi harus hidup bersama seseorang yang kepribadiannya berbeda dengan dirinya. "Untung ada aku, coba kalau tidak. Sudah dipastikan kau tidak bisa membuka matamu lagi," "Kau mendoakan aku mati, ya?" balas Matthew dan melirik Rula dengan kesal. "Makanya, kak. Menikah lah agar ada yang bisa menjaga mu," "Ck! Kau ini berisik sekali, menyesal aku sudah mengkhawatirkan mu." Rula hanya bisa terkekeh mendengar ucapan kakaknya yang saat ini terbaring di ranjang rumah sakit. "Mommy dan daddy akan datang besok. Dari suara mereka tampaknya benar-benar sangat khawatir padamu, kak." "Dari dulu mereka memang selalu berlebihan," "Maka dari itu, kau terima saja perjodohan dari mereka, kak. Mana tau setelah menikah mereka tidak perlu susah payah mengkhawatirkan mu," "Rula, mulutmu lama-lama akan ku jahit ya! Sekali lagi kau mengucapkan kata itu akan ku hajar kau!" "Bagaimana kau akan menghajar ku? Duduk saja tidak bisa, hahaha." Rula meledek habis-habisan Matthew yang tidak bisa melakukan apa-apa. "Ah, bagaimana bisa aku memiliki adik yang sangat menyebalkan seperti dirinya!" ujar Matthew setelah Rula keluar dari ruangan itu karena hendak mencari makanan. Rula belum makan sedari sore tadi, sehabis pulang dari kantor tadi, Rula berniat untuk makan bersama dengan Matthew bahkan ia sudah membelikan dua porsi makanan untuk mereka santap bersama. Namun, keinginan dan bayangan untuk makan bersama sang kakak tidak terwujud, ia malah melihat kakaknya terbaring di lantai ruang tengah apartemen dan tidak sadarkan diri. Rula keluar dari lift yang ia masuki, kakinya terus melangkah hingga kedua matanya tidak sengaja melihat pasangan Domarion yang masuk ke dalam rumah sakit dengan tergesa-gesa. Ia ingin menyapa kedua pasangan itu, namun ia urungkan karena melihat raut wajah mereka yang tampak lelah dan lagi pula, Rula pun yakin atasan tempat ia bekerja itu tidak akan mengenali dirinya. Karena, penampilan Rula saat di kantor dan di luar kantor sangatlah berbeda. Tidak mau kehilangan kesempatan, Rula mengubah tujuannya menjadi mengikuti kedua pasangan itu. Rula mencoba mengejar, namun terlambat. Lift tertutup saat ia baru saja sampai di depan lift yang pasangan Domarion masuki. "Empat," gumam Rula melihat lantai yang di tuju dari luar lift. "Siapa yang di rawat? Apa Arthur?" tanya nya sendiri lalu cepat-cepat membuka lift yang ada di sampingnya. "Apa si tampan itu sakit? Why? Padahal tadi aku lihat di baik-baik saja," Rula terus bergumam dengan ekspresi wajahnya yang sedikit cemas. Ia masuk ke dalam lift dan menekan angka empat yang ada di sana, "kenapa banyak sekali yang masuk rumah sakit hari ini? Aku harap Arthur-ku baik-baik saja." Olivia dan Lucas keluar dari lift dan melihat Arthur yang diam memandangi neneknya dari luar. "Sayang," ucap Olivia. Arthur langsung menoleh ketika mendengar suara mommy-nya. Olivia memeluk Arthur dan mengucapkan kata maaf karena telah membuat neneknya masuk rumah sakit. Arthur hanya membalas dengan anggukan kepala dan mengelus punggung wanita itu dengan lembut. Di saat yang bersamaan, lift yang Rula masuki berhenti dan wanita itu keluar dari sana, kepalanya menoleh ke arah kiri yang mana di ujung lorong ada keluarga Domarion. Rula berusaha mencari tempat untuk bersembunyi agar tidak terlihat oleh ketiga orang tersebut. Ia memilih bersembunyi di ujung lorong arah kanan. "Jika bukan Arthur yang sakit, lalu siapa?" ujarnya dengan wajah yang bingung. "Domarion... pak Lucas, bu Olivia lalu..." kedua mata Rula reflek membesar ketika ia menghitung anggota keluarga Domarion yang ia ketahui. "Nyonya Witna," ucap Rula dengan wajah yang tampak syok. "Pasti dia yang ada di dalam ruangan itu," ekspresi wajah Rula berubah menjadi sedih, "kasihan sekali, pasti mereka sangat sedih terlebih Arthur, pasti dia sangat dekat dengan neneknya. Bahkan itu bisa di tebak dari raut wajahnya," asik memandangi Arthur dari kejauhan, ponsel yang ada di tangannya bergetar dan itu telepon dari Matthew. Mau tidak mau Rula menjawab telepon dari kakaknya itu sembari kembali masuk ke dalam lift. Ia harus kembali ke tujuan awalnya, yaitu mencari makanan. "Tidak apa-apa jika aku pulang? Jika nenek bangun dan tidak melihatku bagaimana? Apa nanti dia akan marah?" Lucas tersenyum mendengar setiap kata yang Arthur ucapkan. "Kenapa nenekmu harus marah? Toh sudah ada mommy daddy yang menemaninya. Lagi pula besok kau harus ke kantor kan? Nanti kau kelelahan dan aku tidak mau kau juga ikut masuk rumah sakit," Olivia dan Arthur terkekeh bersamaan mendengar candaan Lucas. "Daddy mu benar, sayang. Kau pulang saja biar kami berdua yang menjaga nenek. Kau tidak perlu khawatir, kalau nenek sudah sadar akan kami kabari." Arthur hanya menganggukkan kepala, "baiklah, jika kalian bersikeras ingin aku pulang, maka aku pulang sekarang. jangan lupa kabari aku kalau nenek sudah sadar nanti," "iya, hati-hati son." ^^^ Esok paginya, Arthur bersiap-siap untuk ke kantor. Kali ini tidak ada yang mengomelinya, membangunkannya dengan suara teriakan yang memekakkan telinga dan juga... ini pertama kalinya ia berangkat sendiri ke kantor. Sepi dan sunyi. Itu yang ia rasakan sekarang. Tidak ada suara omelan mommy-nya dan sang nenek yang terus memarahinya karena terus membuatnya menunggu. Namun, sekarang hanya ada dirinya seorang di meja makan yang cukup besar itu. Arthur menarik nafas panjang, "hanya sebentar, suasana itu akan kembali lagi. Kau tidak perlu risau, Arthur." Arthur menyemangati dirinya sendiri dan menyantap sarapan pagi yang sudah disiapkan oleh asisten rumah itu. Beda tempat, Rula tampak tergesa-gesa di rumah sakit. Matthew menatap heran Rula yang sudah rapi dengan pakaian kantornya. Wanita itu membawa pakaiannya ke rumah sakit karena tidak mau meninggalkan Matthew sendirian di sana. "Mommy sudah menelepon. Dia bilang akan tiba dua jam lagi, dan juga katanya keponakan mu ikut bersama mereka. Aku harap kau tidak akan stres mendengar suara bising mereka kak," Rula terkekeh jahil di tempatnya, sedangkan Matthew harap-harap cemas di tempatnya. Pria itu tidak suka dengan anak kecil, baginya anak kecil itu sangat berisik, cengeng dan pengadu. Walaupun itu anak dari saudara kandungnya sendiri, bagi Matthew mereka tidak ada bedanya dengan anak kecil yang lainnya, mereka sama-sama berisik! "Aku pergi ya kak. Makan makanan yang di bawa perawat, jangan di buang atau berbohong kepada mereka. Yang rugi dirimu juga nanti," "Iya iya, berapa kali kau mengatakan itu!" sungut Matthew yang tiba-tiba kesal. "Semoga doa-doa ku selama ini dijawab oleh Tuhan. Aku berharap kau berjodoh dengan wanita pilihan mommy, Amiin." "Rula!!" teriak Matthew bersamaan dengan Rula yang berlari keluar dari sana sebelum dirinya di timpuk bantal oleh kakaknya sendiri. *** Raut kagum dari pemilik mata hijau itu tidak bisa ia sembunyikan, terlebih lagi ketika mendengar suara berat milik Arthur dari dekat. Ya, pemilik mata yang bersinar itu adalah Rula. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa ketertarikannya pada Arthur apalagi saat ini mereka berada di satu ruangan. Arthur meminta bantuan Rula untuk mengurusi beberapa berkas penting untuknya, dan Rula yang memang sudah sangat lama bekerja di Fancy Me sangat paham dan tau cara kerja dari lawan dan pesaing perusahaan. "Pak," "Hmm," Seulas senyuman semangat dan tampak malu reflek muncul di wajah Rula. Ya Tuhan kenapa bisa kau menciptakan makhluk sesempurna ini? Bukan hanya wajah, bahkan suaranya pun kau buat sebagus wajahnya!! "Kenapa?" tanya Arthur menatap Rula yang bersemu. "Kau sakit?" "Ya?" tanya Rula tiba-tiba bingung. "Pipimu merah," Rula reflek menyentuh kedua sisi wajahnya, "tidak, saya tidak sakit." "Baguslah, aku mau minta tolong. Bisa kau selesaikan ini dan serahkan secepatnya?" Arthur menyerahkan dua map merah pada Rula. "Aku butuh data dari kedua file itu dengan benar, tampaknya ada kesalahan dari keduanya." Arthur berhenti sejenak karena melihat ekspresi Rula yang tampak muram, "kau sanggupkan?" tanya Arthur memastikan jika Rula benar-benar sanggup atas pekerjaan yang ia berikan. "Sanggup, pak." jawab Rula dengan tersenyum. "Bagus, kalau begitu kau kerjakan itu sekarang dan kembali lagi ke sini." "Baik, pak." jawab Rula dengan suara yang terdengar lesu. ^^^ Sepuluh menit berlalu setelah Rula diminta untuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh Arthur. Wanita itu tampak sudah menyelesaikan apa yang diminta oleh boss tampannya. Ia berdiri dari tempatnya dan melangkah menuju ruangan Arthur yang mana pintu ruangan itu dibuka dengan sengaja oleh pria itu. Rula berdiri di ambang pintu karena terpana akan pesona yang dimiliki Arthur. Tanpa sadar sudut bibirnya tertarik ke atas. Sekali lagi aku bertanya-tanya, kenapa bisa ada ciptaan Tuhan yang sesempurna ini? Dan juga... apa bisa aku memilikinya? Rula terus memperhatikan Arthur yang fokus di tempatnya, matanya bergerak mengikuti kemana Arthur bergerak, hingga ia menarik nafasnya dengan panjang dan menghembuskannya pelan lalu melangkah menuju Arthur. "Pak," ujar Rula menyentuh pundak Arthur. Arthur yang membelakanginya reflek memutar tubuhnya. Pandangan mereka bertemu dan Rula kembali membuka bibirnya. "Ada yang ingin ku katakan-" belum sempat menyampaikan keinginannya, ponsel Arthur lebih dulu menghentikan Rula. Arthur cepat-cepat mengangkat panggilan itu. Rula memperhatikan setiap gerak-gerik pria itu. Perhatian Arthur kembali pada Rula, "aku harus pergi. Pekerjaan yang aku minta kau taruh saja di mejaku-" "Anda mau kemana, pak?" tanya Rula memotong ucapan Arthur. Sejenak Arthur menatap Rula, "kau tidak perlu tau," ucapnya pergi dari hadapan wanita itu. "Apa bisa Anda berikan tumpangan untuk saya?" Langkah Arthur berhenti. "Kakak saya masuk rumah sakit, pak dan rumah sakit itu tidak jauh dari sini." Apa pun akan aku lakukan agar bisa terus di sampingmu. Rula bertekad, ia harus bisa menarik perhatian Arthur dan menjadikan pria itu miliknya. Walaupun terkenal dengan sikap acuh dan tidak mau taunya, ia tidak peduli akan semua itu. Sikap acuh bisa diubah ketika si pemilik mendapatkan seseorang yang bisa menghilangkan dan menghancurkan sikap itu. Dan Rula bertekad, ia akan menghilangkan itu semua dari hidup Arthur. "Kau -" "Apa boleh, pak?" ujar Rula tanpa mengijinkan Arthur untuk berbicara. Ia mendekat ke arah pria itu dan menyentuh pergelangan tangan pria itu. Mata Arthur beralih ke arah tangan Rula yang menyentuhnya, ia ingin menyingkirkan tangan itu. "Apa yang-" "Semua pekerjaan sudah saya selesaikan dan tepat saat mau menemui Anda, saya di telepon pihak rumah sakit dan mereka bilang kakak saya sedang dirawat. Saya khawatir sekaligus cemas, kakak saya tiba-tiba masuk rumah sakit padahal sebelumnya baik-baik saja. Untung ada tetangga yang mau menolong dan sekarang dia-" "Stop! Kau terlalu banyak bicara." ucap Arthur melepas paksa tangan Rula. Ia melangkah menuju pintu dan Rula sendiri hanya diam di tempatnya. Aku gagal. Bisiknya dalam hati. Padahal aku sudah mendramatisir ceritanya, tapi tetap tidak bisa! Rula menghentakkan kakinya ke lantai dan memasang wajah muram. Arthur yang sudah mau membuka pintu ruangannya kembali melirik Rula melalui bahunya, "kau tetap diam di sana atau mau ikut bersamaku?" Mendengar kalimat yang keluar dari bibir Arthur membuat kedua mata Rula membulat seketika, dengan senyuman yang amat lebar ia menjawab ucapan Arthur. "Tentu saya mau ikut bersama Anda, pak." ucapnya dengan nada suara yang gembira lalu mengejar Arthur yang sudah keluar dari ruangan itu. ^^^ Rula tidak bisa menyembunyikan rasa bahagia yang ia rasakan sekarang. Duduk di samping Arthur, dan di mobil pria itu adalah impian semua kaum wanita yang menyukai Arthur dan sekarang kesempatan itu bisa ia dapatkan! Ia bisa duduk manis dan memperhatikan wajah Arthur dari dekat!! Astaga!!! Aku bahagia sekali!!! Aku tidak menyangka akan bisa duduk di satu mobil bersama Arthur!!! Aaaa!!! Terima kasih kak. Terima kasih karena kau sudah sakit dan harus dirawat! Karena dengan alasan itu aku bisa bersama, Arthur!!! Arthur yang menyetir, sesekali melirik Rula yang duduk di sampingnya. Wanita itu menyatukan kedua tangannya sembari menutup kedua mata, tampak seperti berdoa. Melihat itu, membuat benak Arthur memikirkan satu hal, jika karyawan wanitanya itu sangat cemas akan keadaan kakaknya. Arthur menginjak gas mobilnya, ia harus cepat sampai ke rumah sakit. Selain melihat kecemasan Rula, ia juga merasa senang karena neneknya sudah siuman. Ia berharap kalau nanti sampai di sana, neneknya tidak akan menolak dirinya. Ya, semoga saja. *** "Tidak disangka, ternyata Anda juga akan ke sini, pak." ujar Rula pada Arthur yang saat ini mereka sudah di dalam lift rumah sakit. Ia menatap Arthur secara terang-terangan dan terus tersenyum manis ke arah pria itu. Arthur sendiri tidak menoleh sama sekali ke arah Rula dan tidak menjawab ucapan wanita itu, ia lebih fokus pada ponselnya saat ini. "Pak, apa saya boleh menanyakan satu hal?" Rula kembali mencoba menarik perhatian Arthur dan kali ini pria itu menanggapi pertanyaannya namun tidak menoleh ke arah Rula. "Siapa yang sedang di rawat, pak?" Kepala Arthur terangkat, matanya beralih pada Rula yang saat ini masih setia dengan senyuman yang terus terukir di wajah cantiknya. "Kenapa kau sangat ingin tau?" "Ya?" Arthur menatap sinis Rula, "aku paling tidak suka dengan orang yang banyak bicara dan ingin tau tentang urusan orang lain!" Mendengar kalimat yang keluar dari bibir Arthur membuat senyuman Rula seketika luntur. Tidak apa-apa Rula, ini baru permulaan, kau tidak boleh marah, tidak boleh tersinggung. Tarik nafas, hembuskan. "Maaf, pak. Saya sudah keterlaluan." ujarnya menundukkan sedikit kepalanya lalu menghadap depan. Keheningan melanda mereka dan di lift itu hanya ada mereka berdua hingga denting lift berbunyi dan pintunya terbuka. "Pak-" "Keluarlah, ini lantai tempat kakakmu di rawat kan?" tanya Arthur menahan pintu lift yang hendak tertutup kembali. Sebenarnya Rula tidak ingin keluar dari lift itu, ia ingin menemani Arthur. Alasan apa yang harus aku katakan agar aku tetap di sampingnya? Berpikir Rula! "Rula?" "Ya?" Rula menatap Arthur yang memberi isyarat agar ia keluar dari lift. Aku tidak mau. "Pak-" "Keluar," "Tapi saya-" "Now!" Mau tidak mau Rula terpaksa harus keluar dari lift itu, kedua bahu Rula turun ketika menyaksikan pintu lift tertutup dan ia yang tidak bersama Arthur. "Tidak apa, nanti akan ku coba lagi." ia beranjak dari sana menuju ruang inap kakaknya. ^^^ "Ibu mau makan buah? Biar aku kupas kan," Witna menoleh ke arah Olivia yang berdiri di sampingnya, wanita itu menganggukkan kepala tanda mengiyakan ucapan menantunya. Lucas yang ada di sana pun mengulas senyuman melihat interaksi antara istri dan ibunya itu. Semalam Olivia sudah meminta maaf kepada Witna ketika ibunya itu sudah sadar. Olivia menjelaskan semuanya dan bilang apa yang ia ucapkan itu hanya omong kosong belaka karena kesal akan tindakkan Witna pada Arthur. Saat itu Lucas memperhatikan raut wajah ibunya dan merasa jika wanita itu tidak percaya akan ucapan Olivia. Lucas hanya bisa diam melihat ekspresi wajah Witna yang seperti itu, ia tau kalau ibunya tidak mudah percaya akan omongan seseorang bahkan menantunya sendiri pun ia ragukan. Tidak salah jika Witna berekspresi seperti itu, toh memang ada sesuatu yang Lucas dan Olivia tutupi dari Witna dan itu rahasia milik ayahnya yang hingga saat ini belum ibunya ketahui dan itu semua juga berhubungan dengan Arthur. Pintu ruangan terbuka dan semua perhatian tertuju pada Arthur yang muncul dan tersenyum manis ke arah mereka. "Hai, son." sapa Lucas yang dibalas cepat oleh Arthur sembari masuk ke dalam ruangan. Arthur berdiri di samping kanan Witna, "How do you feel, hrandma? Sudah merasa lebih baik?" tanya Arthur dengan lembut. Witna menjawab pertanyaan Arthur seperti biasanya, dengan nada suara yang ketus dan ekspresi wajah yang datar. Arthur hanya mengulum senyumannya, ia benar-benar sudah terbiasa dengan sikap Witna yang memang tidak pernah bisa menerima dirinya. Bahkan saat ini pun, Arthur masih terus berusaha untuk memenangkan hati Witna namun, wanita itu tetap saja membangun tembok yang begitu tinggi untuk Arthur. Lucas yang peka akan suasana yang terjadi antara Witna dan Arthur langsung mengambil tindakan. "Ibu, kapan keluarga Waverly tiba? Katanya satu jam lagi tapi ini sudah lewat dari jam yang dijanjikan." "Waverly?" tanya Arthur menoleh ke arah Lucas. "Iya, son. Anak dari teman nenekmu," Arthur ber 'oh' ria sembari menganggukkan kepala, hingga bunyi ketukan pintu mengalihkan perhatian mereka semua. Lucas berdiri dari sofa dan menyambut keluarga yang baru saja ia bicarakan. Mereka terdiri dari satu wanita dewasa dan seorang pria yang tampak seusia dengan Lucas lalu seorang anak perempuan yang mungkin berusia lima tahun-an bersama mereka dan... Rula? Gumam Arthur dalam hati. Kedua alisnya bertaut ketika melihat Rula ada di antara keluarga Waverly. "Lucas, kenapa kau tidak beritahu kami kalau kau sudah memiliki calon menantu?" Tubuh Lucas seketika membeku ketika mendengar ucapan pria yang bisa dibilang temannya itu, bahkan Arthur dan Olivia pun juga terkejut mendengar pernyataan itu. mereka saling pandang. "M-menantu? Maksudmu?" tanya Lucas dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Iya, Rula calon menantumu kan?" ujarnya kembali dengan menarik tangan Rula agar berdiri di sampingnya. "Tak ku sangka kau pandai juga mencari calon untuk anakmu," pria itu menyenggol bahu Lucas yang saat ini masih kebingungan. Olivia melirik Arthur yang berekspresi sama seperti Lucas. Sekelebat ide gila tiba-tiba muncul di kepala Olivia, diam-diam smirk-nya muncul. "Kau benar, Bentley." dengan nada suara yang bersemangat, Olivia melangkah menuju Rula menarik wanita itu lalu memeluk bahunya. "Maaf kalau kami belum memberitahu keluargamu. Perkenalkan, ini Rula. Dia calon istri dari Arthur." ucap Olivia tanpa memperdulikan ekspresi wajah dari Lucas terutama Arthur yang tubuhnya tiba-tiba langsung linglung. "Sejak kapan aku memiliki calon istri?!!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD