MMB - Part 6

4675 Words
Mata hijau milik Rula bergerak menatap Arthur yang kini juga sedang menatapnya dengan tajam. Setelah kejadian yang tidak mengenakan yang terjadi beberapa saat yang lalu membuat hati Rula resah. Resah akan tanggapan dan ekspresi yang Arthur berikan kepada dirinya. Ia tau kejadian tadi benar-benar sangat tidak masuk akal, bagaimana bisa ia menjadi calon istri dari Arthur hanya karena kesalahpahaman? Dan juga... Mengapa nyonya Domarion malah mengiyakan perkataan dari pasangan Waverly itu? "Kenapa kau menatap Rula seperti itu sayang? Kau tampak menuduhnya seakan-akan sudah membuat kesalahan besar," "Bukannya dia memang sudah membuat kesalahan, mom?" kini giliran Olivia yang ditatap tajam oleh Arthur. Lucas yang ada di sana juga hanya mengulum senyumannya, ia merasa sedikit heran sekaligus agak lega karena koleganya mengetahui jika ia akan memiliki menantu, ya walaupun dirinya sendiri agak ragu tentang kabar yang entah darimana temannya dapatkan itu. "P-pak-" "Bisa kau ceritakan mengapa keluarga Waverly menyangka kalau dirimu itu calon istriku?!" Rula menutup kedua matanya erat-erat, masa iya aku menceritakan kesalahpahaman itu di sini? Di depan keluarga Domarion?!! Bisa malu aku kalau mereka semua mendengarnya!!! "Tidak mau memberitahukannya? Kenapa? Kau malu?" "Son, sudah lah. Kau tidak perlu memperpanjang masalah ini. Apa salahnya jika Rula menjadi istrimu? Kalau dilihat-lihat kalian tampak cocok," "Mommy setuju dengan ucapan daddy-mu, sayang. Kau dan Rula tampak cocok, apa perlu kita bertemu dengan keluarga Rula untuk membahas-" "Stop!!" Rula terkesiap mendengar bentakan yang keluar dari bibir Arthur, ia tatap lurus pria itu yang berdiri di depannya. Witna yang berbaring di tempat tidurnya menyaksikan perdebatan mereka berempat dan cukup terkejut ketika mendengar suara Arthur yang meninggi, baru kali ini ia melihat Arthur yang tampak marah akan sesuatu, biasanya pemuda itu selalu tampak santai menghadapi situasi apa pun termasuk menghadapi Witna. Arthur melangkah ke arah Rula yang duduk di sofa, "kau ikut aku!" ucapnya mencengkram pergelangan tangan Rula dengan erat. "Ke-kemana pak?" Rula terbata-bata namun tetap mengikuti kemauan Arthur. Pria itu menariknya untuk keluar dari ruangan itu yang disaksikan oleh Lucas, Olivia dan Witna. Lucas beranjak dari tempatnya dan duduk di samping Olivia, "aku tidak menyangka, Arthur sudah sangat besar sekarang." bisiknya pada Olivia namun dengan pandangan yang terus tertuju ke arah pintu yang tertutup. Olivia hanya tersenyum mendengar ucapan Lucas, Rula tidak terlalu buruk. Lagi pula dia juga karyawan di kantor Arthur dan keluarga Waverly sudah melihatnya. Apa aku pilih dia saja untuk menjadi calon istri Arthur? ^^^ Arthur menarik tangan Rula agar keluar dari ruang inap tempat neneknya di rawat. Rula yang ditarik seperti itu mencoba untuk melepaskan tangannya dari Arthur. "Pak, tangan saya sakit," sesaat setelah Rula berbicara seperti itu, Arthur melempar tubuh Rula yang alhasil sebelah bahu wanita itu membentur dinding rumah sakit. Rula merasakan nyeri pada bahu kirinya. "Sekarang ceritakan kepadaku, bagaimana bisa kau bertemu dengan keluarga Waverly dan mengatakan kalau kau adalah calon istriku?!" Rula yang masih kesakitan berusaha untuk menahan rasa sakitnya, ia tatap wajah Arthur yang tampak marah sekarang. "S-saat keluar dari lift tadi, saya tidak jadi menemui kakak saya, pak. Saya kembali masuk ke dalam lift dan hendak menuju lantai yang Anda tuju. Setelah sampai di lantai ini, saya tidak tau harus menuju kemana, saya juga tidak tau ruangan yang Anda tuju, pak." Rula mulai bercerita dan menyelipkan sedikit kebohongan tentang ia yang tidak tau dimana letak ruang tempat Witna di rawat. "Lalu?" Rula menelan ludahnya, "l-lalu saya mencoba untuk menghubungi Anda pak dan tidak sengaja menyebut nama Anda tanpa embel-embel pak dan sialnya itu di dengar oleh bapak Bentley dan istrinya. Mereka mengira kalau saya kekasih Anda," "Kau tidak mencoba untuk menjelaskan kepada mereka tentang siapa dirimu? Tidak mungkin kan mereka menerima atau mendengar ucapan mu begitu saja?" "Saya sudah mencoba, pak. Tapi mereka tidak mau mendengarkan. Mereka malah mendesak saya untuk ikut masuk ke ruang inap nyonya Witna," jelas Rula mencoba agar Arthur percaya. Rula tidak berbohong, ia sudah berusaha untuk menjelaskan kepada pasangan Waverly, jika dirinya bukan kekasih Arthur, tetapi mereka tidak percaya dan mendorong tubuhnya agar ikut bersama mereka ke ruang inap Witna. "Kau pikir aku akan percaya?" Rula menutup kedua matanya sejenak dan menarik nafasnya dengan panjang. Ia buka matanya kembali lalu berucap, "Anda harus percaya kepada saya, pak. Jika Anda meragukan ucapan saya, Anda bisa lihat CCTV," Rula mengarahkan telunjuknya ke arah kamera CCTV yang ada di lorong tempat mereka berdiri sekarang. Arthur mengikuti kemana arah telunjuk Rula, lalu kembali lagi kepada Rula yang menatapnya dengan sedih. "Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Arthur dengan nada suaranya yang ketus. "Tidak terima akan tuduhan ku?" ujarnya lagi. "Kau harus mempercayai aku. Aku memang menyukaimu tapi bukan berarti aku melakukan segala cara agar bisa memiliki mu," tanpa sadar Rula tidak berbicara formal kepada Arthur dan pria itu cukup terkejut akan apa yang ia dengar. "Adakalanya orang yang kita sukai akan menyakiti kita dengan ucapan atau perlakuannya dan itu berlaku juga untukmu. Aku menyukaimu tetapi kau sudah menyakitiku," sambung Rula lagi dengan air matanya yang jatuh ke pipi. Sebelah tangannya menyentuh bahunya yang berbenturan dengan dinding rumah sakit dan itu terasa sakit. Rula mengusap kasar matanya yang basah, tanpa sepatah kata pun ia beranjak dari hadapan Arthur menuju lift. Arthur hanya menyaksikan Rula yang berlalu dari hadapannya. "Apa aku terlalu kasar kepadanya?" ujar Arthur menatap tangannya yang sebelumnya mencengkram pergelangan tangan Rula. Rula masuk ke dalam lift menakan tombol lalu menyandarkan punggungnya ke dinding lift. Nyeri di bahunya masih terasa namun sakit yang ia rasakan itu tidak sebanding dengan nyeri di hatinya ketika Arthur tidak mempercayai ucapannya. Dengan kepala yang tertunduk, Rula kembali meneteskan air matanya, "aku tidak pernah seperti ini sebelumnya, bahkan ketika Wein menghinaku, aku tidak akan menangis, tapi respon tubuhku berbeda ketika Arthur tidak mempercayaiku. Hatiku terasa sakit dan aku ingin sangat ingin menangis sekarang. Apa aku sudah sangat menyukainya?" ^^^ Rula keluar dari lift dengan kedua bahu yang turun dan tampak lesu, ia melangkah menuju ruang inap kakaknya dengan tidak bersemangat. Matanya sedikit bengkak, dengan wajah yang cemberut ia masuk ke dalam ruang inap Matthew dan langsung duduk di sofa yang tersedia di ruangan itu. "Kenapa wajahmu seperti itu, sayang?" suara seorang wanita menyapa gendang telinga Rula. Rula menaikkan pandangannya dan melihat mommy-nya yang saat ini tersenyum ke arahnya lalu pandangannya beralih ke arah seorang pria paruh baya yang saat ini sedang berbicara dengan kakak tertuanya. "Kalian baru tiba?" ujar Rula dengan tenang dan memperbaiki posisi duduknya. "Jawab pertanyaan mommy dulu. Kenapa wajahmu cemberut seperti itu?" "Dia pasti sedang patah hati mom." sambung Matthew yang baru saja keluar dari kamar mandi yang ada di ruangan itu. "Apa sih kak!" Rula tiba-tiba kesal, "tidak kenapa-kenapa mom. Hanya soal pekerjaan," jawab Rula sembari berdiri lalu melangkah menuju mommy-nya dan memeluk tubuh wanita itu. "I miss you, Mom." ujarnya dengan menahan rasa nyeri pada bahu kirinya. "Ingat umur, Rula. Malu di lihat sama kedua keponakanmu," Matthew lagi-lagi menimpali dan membuat Rula langsung menatapnya dengan sinis. Rula melepaskan pelukannya, "oh iya, mom. Kapan rencana perjodohan Matthew akan dilakukan? Aku tidak sabar melihat wajah calon istri kakak,-" "Rula!!" suara bentakan dari Matthew membuat semua yang ada di sana melihat ke arahnya. "Kenapa kau membentak Rula, Matthew?" suara dari Elwin mengalihkan perhatian Matthew. Pria itu melangkah menuju ke arahnya, "apa ada yang salah dengan yang dia ucapkan?" "T-tidak, dad." Rula mengulum senyumannya, ia berhasil membuat Matthew tidak berkutik karena adanya orang tua mereka di sini. "Calonmu sangat cantik, Matt. Jika kau melihatnya aku yakin kau pasti akan langsung jatuh hati kepadanya," kali ini Phillip, kakak tertuanya ikut bergabung. Pria berkumis itu tampak bersemangat menceritakan calon istri untuk adik keduanya itu. Matthew memutar matanya, "jangan berbicara seperti itu, Phillip. Aku bahkan belum melihatnya," "Oh, berarti jika kau sudah melihatnya kau benar-benar akan langsung jatuh hati kepada calonmu, begitu?" timpal sang mommy yang langsung membuat Rula tertawa di tempatnya. "Kena kau, kak. Hahaha," Semua yang ada di sana ikut menertawai Matthew yang tidak bisa berkutik sama sekali. "Kau benar-benar menyebalkan, Rula!" ucap Matthew tertahan sambil menutupi wajahnya. *** Setelah berkumpul di rumah sakit bersama keluarganya, akhirnya Rula memilih untuk pulang karena memang waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan lagi pula besok dirinya harus masuk kerja. Saat ini ia berdiri di depan kaca wastafel kama mandi miliknya, bahu sebelah kirinya masih nyeri dan ia memilih untuk melihat keadaan bahunya itu di rumah dan hingga saat ini belum ada satu pun yang mengetahui jika dirinya sedang cidera. Rula membuka satu persatu kancing kemeja yang ia kenakan, saat kemeja itu sudah terbuka sepenuhnya baru lah ia melihat ternyata bahunya memar karena benturan yang sangat keras tadi. Rula menghela nafasnya, ia tidak menyangka jika kejadian tadi bisa membuat tubuhnya seperti ini. "Aku rasa tadi dia tidak sekeras itu, tapi tubuhku mengatakan hal yang lain." bisiknya sembari menyentuh area memar di bahunya. Kemudian, Rula menjangkau ponsel yang ada di sampingnya, ia buka kamera ponsel itu lalu memotret bahunya yang memar. "Apa aku kirimkan saja kepadanya?" Rula memasang wajah penuh tanya dengan kilatan mata yang terlihat jahil. "Ini bisa menjadi senjata untuk aku bisa terus dekat dengannya," ucap Rula lagi lalu mengirimkan foto yang ia ambil tadi kepada Arthur. "Apa yang harus aku katakan?" Rula berpikir sembari melangkah menuju closet dan duduk di sana. "Oh, ini saja," ujarnya lagi dan mengetikkan apa yang ia pikirkan. "Apa yang harus aku lakukan dengan ini? Ini terjadi karena mu. Dari Rula, send." Rula tersenyum penuh arti ketika ia bisa melakukan hal apa saja agar dirinya dan bisa dekat dengan orang yang ia sukai. Selagi menunggu balasan dari pesan itu, Rula memilih untuk mandi terlebih dahulu. Setengah jam berlalu, akhirnya Rula keluar dari kamar mandi dengan handuk yang menempel di tubuhnya, sebelum mandi tadi ia meletakkan ponsel di meja riasnya dan melihat ada notifikasi pesan masuk yang ia tunggu-tunggu sedari tadi. Rula membaca pesan itu. Apa itu memang karena aku? Dan juga, dari mana kau dapat nomor ku? Mulut Rula ternganga ketika membaca pesan yang Arthur kirimkan untuknya. "Aku karyawanmu, tentu saja aku bisa mendapatkan nomormu." ujar Rula mengetikan kalimat itu di ponselnya, "lalu luka ini muncul karena aku, begitu? Untuk apa aku melukai diriku sendiri, apa untungnya bagiku?" ucap Rula lagi mengirimkan pesan itu pada Arthur. Rula melangkah menuju lemari pakaiannya, ponsel yang ada di meja rias kembali bergetar, cepat-cepat ia menjangkau ponsel itu dan membaca pesan teks yang Arthur kirimkan. Kirimkan alamatmu, kita akan ke rumah sekarang. Rula tidak bisa menyembunyikan senyuman bahagianya, "aa!!! Dia akan menjemput ku!!" Rula teriak kegirangan, ia melompat-lompat dan tanpa sadar itu membuat bahunya kembali nyeri karena gerakan yang ia lakukan, "aw!! Aku terlalu excited," ucapnya mengusap-usap bahunya lalu kembali menuju lemari pakaiannya. Rula keluar dari apartemennya dengan hanya menggunakan celana jeans hotpants dengan atasan tank top yang di padukan dengan kardigan warna biru pastel sepanjang lututnya. Rambut panjangnya ia sanggul sehingga memperlihatkan lehernya yang jenjang. Langkah kaki Rula membuatnya keluar dari area apartemen dan mata hijaunya langsung dapat menangkap seorang pria yang kini sedang menunggunya. Ujung bibir Rula sedikit terangkat ke atas ketika tatapannya tidak sengaja bertemu dengan mata indah milik Arthur. Dan penampilan pria itu tidak kalah santainya dengan dirinya. Pria itu hanya mengenakan kaos warna hitam yang di padukan dengan celana jeans putih selutut. Dengan tatanan rambut yang menutupi keningnya. Penampilan yang sangat berbeda, dan malam ini dia semakin tampan!! Bisa gila aku jika tidak bisa mendapatkannya! bisik Rula dalam hati dengan kedua tangan yang saling menyatu di depan tubuhnya. Rula mendekat ke arah Arthur, dan pria itu langsung membukakan pintu mobil untuk dirinya. "Terima kasih," ucap Rula tersenyum ke arah Arthur lalu masuk ke dalam mobil. Arthur duduk di balik kemudi dan melirik Rula yang di sampingnya, "kita akan ke rumah sakit yang dekat dari sini," Rula menolehkan kepala ke arah Arthur, ia menganggukkan kepala tanda setuju akan ucapan pria itu. Arthur membawa mobilnya meninggalkan area apartemen dan tak sampai sepuluh menit mereka tiba di rumah sakit. "Bisa Anda buka kardigan-nya? Agar saya bisa melihat memar di bahu Anda," ujar dokter yang bertugas. Rula melirik Arthur yang berdiri tak jauh darinya. "Tidak usah malu, kalian kan suami istri." Rula dan Arthur serempak menoleh ke arah dokter itu. "Kita bukan-" "Jika Anda tetap malu, turunkan sedikit saja," ujar dokter itu lagi dengan tersenyum ke arah Rula. Rula mengikuti instruksi sang dokter, ia turunkan sedikit kardigan-nya dengan mata yang terarah pada Arthur yang saat ini juga tengah melihat ke arahnya. "Okay, tidak terlalu buruk." ujar dokter setelah melihat luka memar yang ada di bahu Rula dan menuliskan resep obat untuk wanita itu. "Kalau bertengkar hindari main tangan ya, pak. Tubuh istri Anda tipe yang mudah memar, dibenturkan sedikit saja ke dinding tubuhnya akan bereaksi dan menimbulkan lebam yang hilangnya cukup lama. Ini resep obatnya," ucap dokter memberikan catatan resep obatnya pada Arthur. Arthur yang tidak menyela ucapan dokter, mengambil kertas yang diberikan. "Lain kali hati-hati ya pak, dan semoga istri Anda cepat sembuh." sambung dokter lagi dengan senyuman sumringah miliknya. ^^^ Setelah adegan kesalahpahaman untuk kedua kalinya, akhirnya mereka tiba di apartemen Rula. Wanita itu melirik Arthur yang di sampingnya. "Terima kasih karena sudah mau bertanggungjawab," Arthur menolehkan kepala ke arah Rula, "sejak kau mengirimkan pesan itu, kenapa kau tidak berbicara formal kepadaku?" balas Arthur dengan ekspresi wajahnya yang serius. "Kita sedang tidak di kantor, bicara formal hanya saat bekerja saja," balas Rula dengan santai. Arthur tidak membalas ucapan Rula, suasana diam sejenak menghampiri mereka hingga ketukan kaca jendela mobil mengejutkan mereka berdua. "Paman?" ujar Arthur membuka pintu mobilnya. "Paman?" bisik Rula ikut turun dari mobil dan melihat seorang pria yang cukup familiar diingatannya. Paman Bentley?! bisik Rula dalam hati, kenapa dia bisa ada di sini? "Kalian kenapa ada di sini? Kalian berdua tinggal di apartemen ini?" "Paman paman, tampaknya kau salah paham. Kita berdua-" "Ah sudah lah, tidak perlu ditutupi. Aku juga pernah muda," Bentley menepuk-nepuk pundak Arthur. Arthur sendiri hanya menatap keheranan pria yang seumuran dengan daddy-nya itu. Dan Rula yang masih di berdiri di tempatnya kini bertanya-tanya, kenapa paman Bentley bisa berada di sini? Jangan bilang... Reflek Rula menutup mulutnya menggunakan tangan, jangan bilang dia tinggal di sini juga!! "Aku tinggal di sini," BOM!!! Dugaan yang Rula pikirkan memang benar adanya. What?!! Dia benar-benar tinggal di sini?!! "Di antara kalian siapa yang tinggal di sini?" tanya paman Bentley menatap Rula dan Arthur bergantian. Sesaat tidak ada yang mau menjawab pertanyaan pria itu. Paman Bentley menyipitkan kedua matanya, "biar aku tebak, apa Rula yang tinggal di sini?" Mendengar ucapan paman Bentley membuat Arthur reflek memutar kepalanya ke arah Rula. "T-tebakan paman sangat tepat, aku yang tinggal di sini," ujar Rula tersenyum canggung. "Benarkan!! Ya sudah ayo kita masuk bersama," paman Bentley mencoba mendorong tubuh Arthur agar masuk ke dalam gedung bersama dirinya. Dan pria itu berusaha menjelaskan kepada paman Bentley jika dirinya harus pulang, namun pria paruh baya itu tidak mendengarkannya dan malah semakin mendesak Arthur agar ikut bersamanya. Rula sendiri tidak tau harus berbuat apa, ia pun bingung harus melakukan apa agar Arthur bisa pergi dari sini. "Wah!! Ternyata bumi sesempit itu ya, tidak menyangka jika kita bertetangga Rula," ujar paman Bentley sesaat setelah mereka masuk ke dalam lift. Rula yang berdiri di samping Arthur cukup terkejut mendengar penuturan yang keluar dari bibir paman Bentley. Ia julurkan kepalanya guna melihat pria itu yang berdiri di samping kiri Arthur. "M-maksud paman dengan bertetangga apa ya?" "Itu, kau menekan lantai yang sama denganku." tunjuk paman Bentley ke arah angka lift sembari terkekeh. Rula yang mendengar itu hanya bisa menelan ludahnya, setelah terjadi kesalahpahaman pertama dan sekarang kesalahpahaman lainnya terjadi. Ia kira kejadian yang tidak sengaja siang tadi akan berhenti, namun ternyata berlanjut di malam harinya. Rula menepuk jidatnya lalu bergumam dalam hati. Apa ini hukuman karena aku suka menjahili, Matthew? Mereka bertiga keluar dari lift, Rula melangkah lebih dahulu di susul oleh Arthur dan paman Bentley yang di belakang mereka. "Di sini apartemen ku, paman." ujar Rula berhenti di depan unitnya. "Kan benar kita bertetangga, Rula. Unit ku tepat di depan unit mu, nak." "Ha?" "Kenapa terkejut seperti itu, Arthur?" tanya paman Bentley menatap wajah Arthur yang tampak terkejut. "Kau tidak perlu khawatir, aku tidak akan mengganggu kegiatan kalian," ujar paman Bentley menyenggol bahu Arthur dan menatap Arthur dengan kilatan mata jahil miliknya. "Sekarang kalian masuk lah," "Ha?" kali ini giliran Rula yang terkejut mendengar penuturan paman Bentley. "Paman, kenapa tidak kau saja yang duluan masuk ke dalam unit mu-" Arthur berhenti ketika paman Bentley menggerak-gerakkan jari telunjuknya di depan wajahnya, pria itu memberikan isyarat agar Arthur menurutinya. Arthur diam, ia melirik Rula yang ada di sampingnya. Wanita itu hanya bisa menaikkan kedua bahunya ke atas tanda tidak tau harus berbuat apa lagi. "Tunggu apa lagi, Rula. Buka pintunya," Arthur menutup sejenak kedua matanya, ia benar-benar lelah dengan tingkah pria tua di depannya ini. Rula mau tidak mau terpaksa membuka unitnya walaupun ia sedikit ragu untuk melakukannya. Ia kembali melirik paman Bentley yang masih setia di tempatnya dan sembari tersenyum ke arah Rula. "Bagaimana ini, pak?" bisik Rula pada Arthur. "Kau buka saja pintunya dulu, nanti setelah dia masuk ke dalam unitnya aku akan pergi," bisik Arthur dan Rula menekan sandi unitnya. Pintu unit Rula terbuka. "Masuk lah," ucap paman Bentley mempersilahkan Arthur untuk masuk ke dalam unit Rula. Sebelum pria itu benar-benar masuk ia menatap Rula terlebih dahulu. Rula menganggukkan kepala tanda mengijinkan Arthur untuk masuk ke dalam unitnya. "Kau juga, Rula." sambung paman Bentley dengan masih setia dengan senyuman yang menghiasi wajahnya. "I-iya paman," jawab Rula masuk ke dalam unitnya meninggalkan paman Bentley yang memilih berdiri di depan unitnya sendiri. "Kenapa dia masih berdiri di sana? Dia tampak seperti satpam saja!" kesal Arthur mengintip suasana luar melalui lubang yang ada di pintu unit Rula. Rula yang berdiri di belakang Arthur hanya bisa menghela nafasnya dengan lelah. Apa ia harus bahagia atau tidak dengan kejadian ini? Di satu sisi ia bahagia bisa bersama Arthur tapi di sisi yang lain, ia merasa malu!! Malu karena Arthur melihat tempat tinggalnya!! Memang apartemen miliknya ini tidak terlalu kecil dan juga tidak terlalu besar, tapi masa iya Arthur di sini!! Rula berteriak dalam hati, sepertinya aku harus minta maaf kepada Matthew! "Dia masih di sana!" "Ha?" "Paman Bentley! Dia sama sekali tidak bergerak dari tempatnya!" Rula tidak tau harus menjawab apa, ia hanya menatap wajah Arthur dengan kedua mata yang berkedip-kedip. Arthur yang melihat ekspresi Rula yang tampak bingung mendekat ke arah wanita itu dan menyerahkan kantong obat milik Rula yang ia pegang sedari tadi. Rula menyambut obat itu. "Selagi menunggu, kau duduk lah dulu. Akan ku buatkan minuman. Sebentar," ujar Rula lalu melangkah menuju dapur. Sepeninggal Rula, Arthur melihat sekeliling unit wanita itu. Unit itu di d******i oleh warna putih dan coklat, interiornya pun terkesan minimalis dan membuat ruangan terasa lebih luas. Arthur duduk di sofa yang ada di ruangan itu. Rula muncul dengan membawa nampan minuman dan beberapa cemilan untuk Arthur, "hanya ini yang bisa aku sajikan," "Kau pikir aku berharap apa? Setumpuk nasi dan lauknya, begitu?" sarkas Arthur tiba-tiba. Rula hanya menatapnya sejenak. "Aku tidak akan lama di sini, lagi pula siapa yang menyebabkan kejadian ini? Jika tidak karena lukamu aku tidak akan terjebak di sini." Lagi dan lagi, Rula mendengar kalimat sarkas yang Arthur ucapkan untuknya. Ia yang berdiri di depan pria itu berusaha menahan diri agar tidak terpancing. Sabar Rula! Sabar! Arthur berdiri dari tempatnya menuju pintu kembali dan mengintip apa paman Bentley sudah pergi atau belum. Dari penglihatannya tidak tampak ada tanda-tanda keberadaan paman Bentley di depan unit Rula. "Sepertinya dia sudah masuk ke dalam unitnya," gumam Arthur, ia memutar tubuhnya menghadap Rula yang masih berdiri di tempatnya, "aku pergi sekarang." ujar Arthur dengan cepat lalu membuka pintu unit Rula. Pintu di buka dan saat itu juga kedua mata Arthur membulat ketika melihat siapa yang berdiri di depannya. "P-paman Ben?" "Kau mau pergi?" tanya paman Bentley masuk ke dalam unit Rula begitu saja. "Kenapa dia terus muncul!" mulut Arthur terbuka tidak percaya akan apa yang sedang terjadi sekarang. "Kenapa buru-buru Arthur? Jangan pulang dulu, ini aku bawakan arak. Ibu mertuaku mengirimkannya tadi dan aku ingin membaginya dengan kalian," sambung paman Bentley dengan senyuman khas miliknya dan ia menatap bergantian Rula dan Arthur yang bak patung. Setelah kesalahpahaman tadi siang, ditambah kesalahpahaman lainnya malam ini dan sekarang dia membawa arak ke apartemenku?! Sepertinya ini kutukan dari Matthew! Fix aku harus meminta maaf kepadanya besok! ^^^ Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas sejak Rula meninggalkan Arthur dan paman Bentley di ruang tamu apartemennya. Paman Bentley mengajaknya untuk minum bersama namun Rula menolak dengan alasan dirinya yang tidak bisa mengkonsumsi alkohol. Itu hanya alasan Rula saja, ia tipe yang kuat akan konsumsi alkohol. Hanya saja untuk kali ini ia tidak mau minum bersama orang yang sangat menyebalkan seperti paman Bentley. Pria itu sama sekali tidak mau mendengarkan orang lain! Cenderung egois dan seenaknya! Dan Rula tidak mau jika emosi di dalam dirinya muncul dan membuat Arthur ilfil padanya hanya karena ulah dari si paman Bentley. "Apa mereka sudah tepar?" ujar Rula melihat jam yang menempel di dinding kamarnya. Ia sedari tadi belum tidur bukan belum sih, tapi lebih ke tidak bisa tidur karena memikirkan Arthur. Apa pria itu masih sadar atau tidak ya? Kini beribu pertanyaan tentang Arthur menyerang kepalanya, Rula beranjak dari tempat tidurnya. Dengan menggunakan gaun tidur berbahan satin miliknya, Rula keluar dari kamar, menuruni anak tangga dengan perlahan dan mengintip keadaan di bawah sana. Dari arah tangga bisa ia lihat Arthur yang tertidur di sofa. Cepat-cepat Rula turun dan melihat keadaan ruang tamunya yang sangat kacau. Meja di penuhi oleh botol minuman, melihatnya pun sudah membuat bulu kuduk Rula bergidik. Ia memang suka minum tapi tidak membuat keadaan sekitarnya berantakan seperti halnya yang dilakukan Arthur dan paman Bentley. Oh iya mengenai pria tua itu, ia meninggalkan Arthur begitu saja setelah berhasil membuat pria tampan itu tak sadarkan diri. "Dasar pria tua egois! Bagaimana bisa dia pergi begitu saja setelah berhasil membuat Arthur tidak sadarkan diri?! Menyesal aku bertemu dengan mu paman Ben!" kesal Rula sembari merapikan kerusuhan yang ada di ruang tamu apartemennya. "Ah, aku haus. Ternyata beres-beres itu melelahkan juga," ujar Rula sembari menuju dapur. Semuanya telah ia rapikan dan sekarang ia haus. Rula berada di dapur dan Arthur yang tadinya tertidur di sofa tiba-tiba membuka matanya. Dengan tatapan mata yang tampak berat dan kedua pipi yang memerah, Arthur mencoba untuk berdiri dari sofa. Dengan tubuh yang sempoyongan Arthur melangkah menuju dapur. Rula masih meneguk minumannya sambil berdiri hingga air yang di dalam botol itu habis, "ah, segarnya." ucap Rula sembari menyeka bibirnya dan disaat bersamaan dengan itu, Arthur sudah berdiri tidak jauh dari posisi tempat Rula berdiri. Pandangan Arthur menatap lurus Rula yang ada di depannya. Kedua matanya bergerak turun menyusuri kaki wanita itu yang terbuka, lalu pandangannya naik ke atas terus menatap wajah Rula yang tampak cantik dari samping. Sebelah tangan Arthur bergerak mengusap leher belakangnya, ia merasakan sedikit hawa panas di tubuhnya. Rula masih belum sadar akan keberadaan Arthur, ia masih sibuk dengan kegiatannya hingga ia melihat pantulan dirinya dan Arthur di kaca lemari dapur. Rula menghentikan gerakkannya, ia putar perlahan tubuhnya ke depan dan menatap Arthur yang tampak aneh. "Pak? Aku membangunkan mu, ya?" Arthur tidak menjawab pertanyaan wanita itu, ia semakin mengusap leher belakangnya dengan gerakan yang sedikit sensual. "Kau haus?" Rula kembali bersuara dan itu sangat mengganggu Arthur, tubuhnya makin terasa panas setiap kali mendengar suara Rula. Rula kembali melangkah menuju lemari es-mengambilkan air untuk Arthur dan sesekali melirik pria itu yang masih saja mengusap-usap leher belakangnya. Gelas sudah ia isi dengan air dingin, Rula mendekat ke arah Arthur dan memberikan air itu kepadanya. "Minumlah," ujar Rula sembari tersenyum ke arah Arthur. Arthur melihat senyuman Rula yang terasa berbeda dari sebelumnya, matanya yang sayu kembali menatap Rula dari bawah ke atas. Hanya mengenakan gaun tidur berbahan satin, Rula tampaknya mampu membangunkan sisi lain dari seorang Arthur Domarion ditambah lagi tubuh pria itu yang di kuasai oleh alkohol semakin membangkitkan hasrat yang sebelumnya tidak pernah sama sekali Arthur rasakan. "Pak?" Suara lembut Rula kembali menyapa gendang telinga Arthur, sebelah tangannya terangkat untuk menyambut gelas minuman yang Rula berikan untuknya. Arthur hanya menatap sejenak gelas yang berisikan air itu kemudian kembali menatap wajah Rula yang malam ini tampak sangat cantik di matanya. Mata berwarna hijau, rambut panjang warna coklat yang tersampir di sebelah bahunya, bibir pink tipis miliknya membuat hasrat tertahan dalam tubuh Arthur terasa ingin keluar. "Minumlah," lagi-lagi suara lembut nan halus itu menyapa pendengarannya, Arthur tidak tahan lagi. Hawa panas dari dalam tubuhnya menguar memaksa minta dikeluarkan. Arthur meletakkan gelas yang ia pegang ke atas meja yang ada di sampingnya. Rula yang melihat itu hanya menarik alisnya sebelah dan menatap bingung apa yang Arthur lakukan itu. "Pak," Gerakan yang cepat dan tanpa Rula sadari dari Arthur membuat wanita itu cukup terkejut. Arthur menarik pinggangnya dengan tiba-tiba dan membuat tubuh mereka berdua menempel. Bisa Rula lihat wajah Arthur yang sangat dekat dengannya dan itu mampu membuat jantung Rula berdetak dengan cepat. Tanpa ia sadari kedua tangannya mencengkram kaos yang Arthur kenakan. "Pak, apa... yang kau lakukan?" "Cantik sekali," gumam Arthur dan itu dapat di dengar oleh Rula. Wajah Rula memerah seketika mendengar penuturan dari Arthur. Wajah Arthur yang di depannya tampak bergerak mendekat, Rula yang hobi menonton film dan drama korea romantis tampak paham apa yang akan Arthur lakukan kepadanya. Dengan posisi seperti ini, ini tampak... Oh Tuhan!! Apa yang harus aku lakukan?!! Kepala Arthur semakin bergerak mendekat ke arah wajah Rula dan wanita itu pun semakin mencengkram kuat kaos yang Arthur kenakan. Arthur memiringkan kepalanya lalu bibirnya mendarat dengan mulut di atas bibir tipis milik Rula. Rula sendiri cukup terkejut akan apa yang dilakukan Arthur sekarang. Kedua matanya membulat dan cengkeramannya pada kaos Arthur semakin erat. Arthur menutup kedua matanya dan menggerakkan bibirnya di atas bibir kaku milik Rula. Wanita itu masih berusaha mencerna apa yang terjadi saat ini. Tangan Arthur semakin menarik pinggang Rula agar semakin mendekat ke arahnya, bibirnya pun perlahan bergerak di atas bibir Rula yang mulai membalas ciumannya. Arthur semakin mendesak agar Rula membuka bibirnya dan tidak butuh waktu lama apa yang Arthur inginkan akhirnya ia dapatkan, Rula membuka bibirnya dan itu membuat Arthur semakin leluasa menciuminya. Kedua tangan Rula bergerak mengalungi leher Arthur, mengusap leher belakang pria itu dan sesekali meremas rambut Arthur yang terasa tebal di tangannya. Bunyi decapan mengisi ruangan itu, tubuh Arthur semakin terasa panas ketika Rula mengeluarkan desahannya. Ia angkat tubuh Rula di depan tubuh dengan bibir yang masih menyatu satu sama lain. Arthur melangkah menuju sofa dan merebahkan tubuh mereka di sana. Bibir Arthur pindah ke leher jenjang milik Rula. Rula yang berada di bawahnya tidak bisa berbuat apa-apa, ia menerima sentuhan lembut yang Arthur berikan untuknya. "Ah," desahan Rula keluar ketika Arthur menghisap lehernya. Sesaat pandangan Rula mulai mengabur ketika bibir Arthur terus bergerak di atas kulitnya. Ia menutup kedua matanya dan merasakan setiap sentuhan dari Arthur. Baru kali ini ia merasakan hal yang seperti ini. Sebelumnya ia tidak pernah melakukan ini, bahkan untuk ciuman pun tidak pernah dan sekarang ia malah melakukan hal yang pernah ia saksikan di film dan drama-drama romantis yang pernah ia tonton selama ini. Ternyata rasanya seperti ini, ia merasakan sensasi aneh yang terasa antara perut hingga selangkangannya dan ia juga tidak bisa menahan diri untuk tidak mengeluarkan desahannya. Dan juga... ia baru paham mengapa di film-film dan drama yang ia tonton saat sepasang kekasih atau pun suami istri melakukan hubungan seks mereka berkeringat, karena hawa di sekitar mereka memang mendadak terasa panas. Dan itu dirasakan juga oleh Rula, hawa di sekitarnya tiba-tiba terasa panas dan juga rasanya oksigen di sekitarnya mulai menipis. Rula masih menutup kedua matanya erat-erat dengan d**a yang naik turun, ia mengusap kepala Arthur yang ada di atas dadanya. Dapat ia dengar suara dengkuran halus dari pria itu. What? Wait!! Rula membuka kedua matanya, pandangannya turun dan bisa ia lihat Arthur yang tertidur pulas di atas tubuhnya. Seketika Rula terperangah akan apa yang terjadi. "Dia tertidur setelah mencium ku?" Rula terkekeh sembari menutupi wajahnya, "ya ampun!! Kenapa dia menggemaskan sekali!!" teriak Rula berusaha menahan suaranya agar tidak membangunkan Arthur. Ia tatap wajah Arthur yang terlelap lalu berucap, "akan ku pastikan, kau tidak akan menyesal telah mencium ku, Arthur. Dan akan ku pastikan juga, kau mengingat kejadian ini." ucapnya sembari tersenyum lalu mencium kepala Arthur dengan cukup lama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD