Bab 10. Pelajaran Pertama

1558 Words
Brahm membawa Karina masuk ke dalam sebuah ruangan, kamar yang berbeda dari kamar tempat Karina disekap pertama kali. Ruangan ini dua kali lebih besar, tidak ada dekorasi di dalam kamar ini yang menunjukkan sebuah kamar pengantin pada umumnya. Brahm menurunkan Karina. Belum sempat wanita ini menoleh memperhatikan sekitarnya, pinggang Karina ditarik kembali hingga tubuh mereka melekat satu sama lain. “Mulai hari ini, kita berdua tidur di sini. Ini adalah kamarku, dan sekarang jadi kamarmu juga. Baju kamu sudah tersedia di dalam lemari pakaian. Jadi kamu ngak perlu alasan lain untuk mengambil baju kamu di rumah laki-laki pengecut itu, karena aku ngak akan pernah mengijinkannya. Soal passport dan surat lainnya juga sudah ada di laci meja nakas sebelah ranjang kamu.” Brahm mengucapkannya dengan tatapan yang menyiratkan sebuah perintah pada Karina. Aura seorang diktaktor sungguh terasa hanya dari tatapannya saja. Pikir dalam hati Karina, kalau Brahm saja seperti ini, bagaimana dengan bos besar mereka. "Ak-aku mau mandi, badanku berasa lengket." Jawab Karina sambil menjauhkan dirinya dari Brahm. "Baiklah, kita mandi berdua kalau gitu. Berendam dapat menghilangkan rasa lelah.” “Apa!” Ujar Karina membelalakkan bola matanya. “Kenapa? Tidak usah malu, aku sudah melihat tubuh kamu semuanya. Kamu masih ingat kan pertama kali kita bertemu?" Jawab Brahm sambil tersenyum nakal. “Ngak mau. Cuma kamu yang ingat, aku ngak! Kita baru kenal beberapa hari.” “Mau di ulang lagi supaya kamu ingat?” Cepat-cepat Karina menggelengkan kepalanya menatap penuh harap. “Makanya, kamu harus belajar kenal sama suami kamu. Dan, kegiatan kita ini sah-sah saja di mata hukum. Lagipula, kamu bukan anak perawan yang baru mau menjalani malam pertama kan?” Ucapnya dengan seringai nakal. ‘Yah, Tuhan. Bagaimana ini? Ngak mungkin aku mandi bareng sama dia kan.’ “Ta-tapi ini terlalu cepat buat aku.” “Mau diperlambat akhirnya juga kamu tetap akan melalui ini semua kan.” Brahm menarik lengan Karina menuntunnya menuju kamar mandi tidak ingin lagi memperpanjang perdebatan mereka. Saat Brahm membuka pintu kamar mandi, Karina tertegun menatap desain kamar mandi dengan isi interior mewah di dalamnya. Bathtub berukuran besar dipastikan muat untuk mereka berdua bersebelahan dengan ruang kaca dengan pancuran berbentuk kotak besar di atasnya. Wastafel ganda terbuat dari marmer bernuansa hitam serat silver menambah kemewahan kamar mandi ini. Terdapat walkin closet dan sebuah meja rias lengkap berbagai peralatan make up, perawatan wajah bermerk dan parfum yang sangat dikenal oleh Karina. “Bersihkan riasan wajahmu di sini. Semua yang ada di meja ini milik kamu. Aku akan menyiapkan acara mandi kita berdua.” Brahm menyalakan air panas dan air dingin di bath tub. Sedangkan Karina masih berdiri terperanjat dengan kenyataan, bagaimana mungkin dirinya mandi dengan pria yang benar-benar baru dikenalnya. Tidak sabar dengan Karina yang sedari tadi lebih banyak melamun, Brahm menarik Karina yang berdiri mematung, menuntunnya duduk dihadapan meja rias. Dengan cekatan Brahm mengambil pembersih wajah dan kapas lalu meletakkannya dihadapan Karina. Menyadari sikap Brahm, Karina mengambil dan memulai sesi membersihkan riasan di wajahnya dengan mode merengut.. Selesai membersihkan wajah, Brahm yang sedari tadi berdiri menunggu segera menuntun Karina mendekati bathtub. Tangannya terulur untuk menurunkan restleting di belakang gaun Karina. Mengetahui niatan Brahm, dengan cepat Karina menahan gaun yang sudah melorot. “Ak-Aku bisa sendiri, tapi lebih baik kita mandi gantian saja.” Tentu saja usaha Karina tidak akan berhasil. Hasrat Brahm sudah sedari tadi naik ketika melihat wajah cantik Karina sebelum acara pemberkatan nikah mereka. Bahkan adik kesayangannya sudah meronta untuk minta dikeluarkan dari balutan kain yang menutupinya itu. “Kalau kamu malu, tutup matamu saja. Aku yang akan memanjakan dirimu. Atau kamu lebih suka adegan meronta-ronta seperti anak abege yang sedang dipaksa bermalam pengantin?” “Tapi, aku belum siap.” Ucap Karina dengan wajah memelasnya. Brahm semakin mendekatkan tubuhnya tanpa jarak, tangannya memegang tangan Karina yang sedang menahan gaun miliknya. Kemudian Brahm membisikkan perintahnya kembali bahkan bibirnya menyentuh daun telinga Karina. “Aku suamimu. Siap atau tidak, kamu harus mengikuti kemauanku. Mau aku paksa atau kamu menurut?” Dengan berat hati Karina pasrah dan menuruti perintah Brahm. Wajahnya semakin merona merasa malu luar biasa, air mata menggenang di pelupuknya. Brahm tersenyum ketika tangan Karina berhasil dilepasnya dan gaun yang dipakai jatuh ke lantai. menyisakan lapisan yang menutupi dua bagian intinya. Entah sudah berapa kali Karina kesulitan menelan salivanya sendiri. Dan anehnya, tubuh Karina bereaksi saat merasakan sentuhan jemari Brahm ketika mengenai kulit lengannya. Pekikan suara Karina terdengar tidak menyangkan Brahm akan mengangkat tubuh Karina dan meletakkannya ke dalam bath tub. Kepanikan di wajah Karina semakin menjadi ketika melihat Brahm membuka satu per satu pakaian yang melekat dalam tubuhnya tanpa malu. Malahan wajah Karina yang nampak merona terlihat jelas walaupun ia menunduk. Brahm masuk ke dalam bathtub, memposisikan dirinya dibelakang tubuh Karina. Melihat Karina malu-malu menunduk membuat Brahm semakin senang untuk menggodanya. “Kamu pernah berendam di bathtub kan? Apa perlu aku ajari caranya?” Bisik Brahm berbasa-basi. Karina hanya terdiam pasrah menerima perlakuan Brahm saat ini. Kalau bisa, ingin rasanya ia pingsan saja dan melewati aktivitas ini. Tangan Brahm mulai bergerak membersihkan punggung Karina dengan spon busa yang sudah dicampur dengan sabun beraroma vanila, mengusapnya perlahan di daerah tersebut. Tangannya dengan tanpa permisi bergerak ke bawah punggung dan dengan cepat membuka pengait yang menutupi tubuh atas Karina, dengan cepat menariknya membuat Karina bergerak spontan gelagapan. “Kamu juga tahu kan, mandi itu harus dilepas semuanya, termasuk yang di bawah sana. Mau aku lepas atau kamu buka sendiri?” ‘Bagaimana ini? Apa kabur saja yah.’ Dalam hati Karina mencoba lolos dari adegan yang membahayakan dirinya ini. Sentuhan lembut tangan Brahm juga kecupan kecil pada tengkuk Karina nyatanya mampu menggagalkan niat Karina untuk kabur dari bath tub. Malahan gelenyar nikmat menyengat kulit Karina, merasakan aliran darahnya semakin menghangat di sekujur tubuhnya. Perlakuan Brahm membuat Karina merasa dirinya diinginkan sebagai seorang wanita. ‘Ah, ini gila. Bagaimana mungkin aku bisa menikmati sentuhan pria ini.’ Brahm mulai mengecup tengkuk Karina berkali-kali, menggigit kecil dibahunya dan membuat tubuh kaku Karina sedikit melenguh dan mendesah pelan yang dengan bodohnya justru Karina ingin merasakan perlakuan lebih dari ini. "Hash." Tangan Brahm sudah tidak memegang spons busa lagi, melainkan sudah bermain di gunung kembar milik Karina, tangan lainnya menelusuri bagian inti di dalam antara paha isterinya. Karina yang sudah terbuai, tidak dapat menahan dirinya dan mulai mendesah menikmati permainan mulut dan tangan Brahm. Menyadari tubuh Karina sudah rileks dengan permainan tangannya, Brahm melepaskan sentuhannya. Membuat Karina membuka matanya dengan sebuah rona yang mengisyaratkan kekecewaan. "Kita bersihkan diri sekarang." Bisik Brahm sembari beranjak dari bathtub. Karina seperti kecewa karena kenikmatan yang ia rasakan tiba-tiba berhenti, namun di satu sisi ia menyukurinya. Bisa di bilang akal pikiran dan nalurinya sedang bertengkar dalam batinnya. Brahm menarik tangan Karina dan menuntunnya masuk ke ruang pancuran. Ternyata aksi Brahm kembali lagi, ia mengunci tubuh Karina dengan kedua tangannya. Kucuran air shower membasahi tubuh keduanya. Mata Brahm terus mengunci pandangan Karina, ia mengecup bibir Karina dengan lembut namun Karina tidak bereaksi. Brahm memegang dagu Karina dan menatapnya. “Balas ciumanku.” Kemudian Brahm kembali mengulum dalam bibir Karina, menggigit kecil bibir bawah Karina dan akhirnya Karina menggerakkan permainan bibir Brahm. Mendapatkan keinginannya Brahm bermain semakin nakal, lidahnya bermain bebas menelusuri ruang di dalam sana, tanganya dengan bebas mengusap-usap naik turun dan memutar gunung kembar milik Karina, tangan lainnya juga bekerja menekan naik turun di bawah sana. Karina dapat merasakan benda keras kenyal mengganjal diantara kedua kakinya yang dengan sengaja Brahm arahkan menyentuh disana. Ulah pusaka milik Brahm berhasil menyentuh milik Karina dan membuat kakinya lemas. Dengan reflex, Karina meremas rambut Brahm, menahan godaan yang menyiksa tubuh dan pikirannya. Kelakuan jari Brahm di bawah sana disertai kuluman bibir Brahm yang sudah turun menghisap pada salah satu gunung kembarnya, membuat tubuh Karina menegang mengikuti nalurinya. Melihat wajah Karina yang menikmati sentuhannya, Brahm menghentikan kegiatan mandi panas mereka. “Ini adalah pelajaran pertama buat kamu untuk mengetahui bagaimana suamimu ingin memperlakukan kamu.” Nafas Karina masih naik turun, keningnya mengerut mencoba memahami maksud Brahm ketika suaminya mengecup kembali bibir miliknya yang terlihat menebal. “Aku sudah selesai mandi.” Ucapnya masih mengatur nafasnya. Brahm keluar, mengambil handuk dan keluar meninggalkan Karina yang mematung saja, hanya diam bingung. Dengan nafas setengah tersengal, ia pun menyusul keluar dari ruang pancuran, mengambil handuk dan mengeringkan tubuhnya. Brahm berbalik setelah melilitkan handuk di pinggangnya. Membuat Karina yang belum menutup tubuhnya dengan handuk gelagapan masih belum terbiasa. "Tidurlah, sudah malam. Besok aku harus bangun pagi untuk meeting penting di kantor." Ucap Brahm sambil berjalan menuju walk in closet mengambil pakaian tidurnya. Kemudian, dengan sengaja Brahm membuka beberapa pintu lemari dan terlihat deretan pakaian perempuan yang memang ia sediakan untuk Karina. Karina merasa kecewa kembali karena hasratnya yang harus terhenti. Setelah Brahm keluar dari kamar mandi, Karina melilit tubuhnya dengan handuk dan beranjak menuju lemari tersebut. Diperhatikan satu persatu pakaian demi pakaian yang sudah tersusun rapi. ‘Seleranya bagus juga. Ini semua milikku? Atau jangan-jangan koleksi baju istrinya?’ Merasa takut salah mengambil tindakan, Karina membuka pintu kamar mandi dan mengeluarkan kepalanya saja mencari keberadaan Brahm yang sudah berpakaian lengkap. “Ehm, itu baju di lemari boleh aku pilih sendiri?” “Hem. Semua itu milik kamu. Kalau kamu suka tidur tanpa berpakaian juga aku ngak larang.” Ucap Brahm kemudian naik ke atas ranjang sambil membuka tablet kerjanya. Karina menutup pintu dan mengambil pakaian tidur asal lalu memakainya sambil menggerutu sendiri. ‘Bisa gila kalau dia begini setiap hari.’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD