5. Masa Lalu

1814 Words
Diana masih duduk di bangku coklat di warungnya setelah Ratna dan Putri berpamitan. Badannya ia sandarkan ke tembok, pandangannya menerawang. Teringat kembali masa lalu menyakitkan yang pernah ia alami. Masa lalu yang tidak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya. Tak terasa bulit air mata menggenang di pelupuk matanya. Sore itu, sekitar 17 tahun yang lalu, Diana sedang menyuapi Ayu yang masih kecil di teras rumahnya ketika Hari pulang bekerja dengan raut wajah yang lesu dan nampak ada sebuah beban berat yang mengganggu pikirannya. Hari memasuki rumah tanpa sepatah katapun melihat istri dan putrinya yang sedari tadi sengaja menunggu Hari di depan rumah. Mencium putrinya yang biasa ia lakukan setiap pulang bekerja pun tidak. Diana memandangi Hari sampai ia menghilang di balik pintu rumah. Diana merasa diabaikan. Setelah selesai menyuapi Ayu, Diana menghampiri Hari yang sudah berbaring di tempat tidurnya dengan pakaian kerja yang masih lengkap. “Mas, kamu kenapa sih pulang kerja ngga nanya ke anak, ngga nanya ke istri. Kamu kenapa sih?” tanya Diana agak kesal. Hari menarik nafas dalam, seolah berat mengatakan hal yang memberatkan pikirannya kepada istrinya. Diana mengernyitkan dahinya menanti penjelasan suaminya. “Aku dipecat bu…” suara Hari begitu lirih nyaris tak terdengar karena tangisan Ayu dalam gendongan Diana. “Apa mas? kamu dipecat? kok bisa? kamu ngapain mas? korupsi?” Diana membombardir Hari dengan pertanyaan-pertanyaan yang justru membuat Hari semakin frustasi. Diana yang saat itu masih muda dan emosional tidak bisa mengontrol dirinya. “Udah… udah…. stop! Kamu tuh suami lagi pusing bukannya ngehibur malah brisik!” Hari terlihat begitu marah. “Aku kan cuma nanya mas.” Jawab Diana membela diri. “Seenggaknya kamu pulang sapa dulu lah anakmu, kasian Ayu dari tadi nungguin kamu pulang.” tambah Diana. Hari hanya terdiam ia langsung berdiri dan membuka lemari, kemudian berganti pakaian dan meninggalkan rumah tanpa memperdulikan tangisan Ayu. “Tunggu mas…” Diana setengah berlari mengejar Hari ke arah pintu. “Jangan pergi di saat kamu lagi begini mas… tolong mas…kamu bisa tenangin diri di rumah… aku janji ngga akan ganggu kamu mas.” Suara Diana sedikit parau karena menahan tangis dan marah yang melebur jadi satu dalam hatinya. Diana tidak bisa menghentikan langkah Hari yang sudah memacu sepeda motor tua Rx King-nya keluar dari halaman rumah. Diana hanya bisa menangis melihat kepergian Hari, Ia tau kejadian ini tidak akan berakhir baik-baik saja. Diana begitu ketakutan, karena ini untuk pertama kalianya mereka bertengkar hebat hingga Hari nekat meninggalkan rumah. Diana mencoba menenangkan dirinya, juga Ayu yang masih menangis dalam gendongannya. Hingga pukul 20.00 Hari tak kunjung pulang kerumah. Diana mulai gelisah, sudah berapa kali ia melihat ke luar jendela berharap Hari segera pulang ke rumah. Namun, Diana sedikit lega karena Ayu sudah tertidur dalam gendongannya. Sejak kepergian ayahnya, Ayu menjadi rewel dan tidak mau turun dari gendongannya. Diana menuju ke kamar dan membaringkan Ayu pelan-pelan agar ia tidak terbangun. Kemudian, Diana kembali duduk di ruang tamu menunggu suaminya pulang. *** Suasana tempat karaoke di Jalan Ring Road Utara semakin malam terlihat semakin ramai. Pengunjung berdatangan dari pasangan muda-mudi, keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak, atau teman-teman satu genk yang ingin sekedar menghabiskan malam minggu mereka. Suara musik yang terdengar dan lampu warna-warni di setiap sudut ruangan menambah gemerlap tempat karaoke itu. Di sebuah ruangan di bagian ujung tampak beberapa pria yang sedang asik bernyanyi dan berjoget mengikuti alunan musik yang diputar. Tampak Hari duduk terdiam dengan pandangan kosong diantara keriuhan dan gelak tawa teman-temannya. Teman-teman kantor yang selama ini ia tau, bahwa mereka bukanlah teman-teman yang baik. Mereka hanya mementingkan kesenangan duniawi. Itulah kenapa Hari tidak terlalu bergaul dengan mereka. Hanya karena saat ini Hari sedang banyak pikiran sehingga ia tak menolak ajakan teman-temannya. “Ayo dong Har kita seneng-seneng aja... percuma dong kita ajak kesini kamunya diem aja.” Ucap seorang teman Hari sambil tetap berjoget. Yang diajak bicara hanya menghela nafas panjang seolah tidak tertarik. Hari menyandarkan kepalanya di sandaran kursi. Arif, salah seorang teman Hari yang sedari tadi sibuk bernyanyi perlahan mendekati Hari dan duduk disampingnya. “Apa yang kamu pikirin sih Har? Kamu ngga nyaman disini? Kita ajak kamu kesini biar kamu bisa rileks.” “Ya mikirin masalah kerjaan Rif. Tadi aku juga sempat ribut dengan istriku. Aku bahkan ngga perduli saat anakku menangis. Sungguh aku ayah macam apa. Trus mau aku kasih makan apa anak sama istriku nanti. Cari kerjaan sekarang kan susah, kamu tau sendiri.” Hari menyesali semua yang terjadi hari ini. Sesungguhnya ia tak menginginkan hal itu. Wajar saja Diana bertanya banyak hal, karena ia tau bahwa Hari adalah salah satu pegawai teladan di perusahaan leasing tempatnya bekerja. Bahkan, baru dua minggu yang lalu Hari bercerita tentang kemungkinan promosi nya sebagai supervisor. Seharusnya ia menjelaskan semuanya kepada Diana. “Gini deh, lupain dulu masalah kamu. Mau aku pesankan alkohol? biar nanti temenku yang suruh antar kesini.” Arif menawarkan. Sudah menjadi aturan jika di tempat karaoke keluarga tidak diijinkan menjual minuman beralkohol dan sejenisnya. Sehingga kerap kali mereka memesannya di luar dan membawanya ke tempat karaoke secara diam-diam. “Lumayanlah buat ilangin penat, yakin deh habis ini kamu bakal relax.” Arif berusaha mempengaruhi Hari. “Terserah kamu aja deh Rif.” Hari seolah pasrah dengan tawaran Arif. Anton yang sedang berjoget memandang Arif dengan senyum kemenangan. Mereka saling pandang, Arif memandang Anton dengan mengangkat kedua alisnya, begitu mudah bujukan mempengaruhi sesorang yang sedang dalam masalah. Terlihat Arif mengeluarkan telefon genggamnya dan menelefon sesorang. Beberapa menit kemudian datang seorang gadis muda dengan baju lengan pendek dan celana jeans panjang dengan kantong plastik warna hitam di tangan kanannya. Terlihat polos dengan dandanan yang minimalis dan rambut diikat ke belakang, namun tidak mengurangi aura kecantikannya. Pandangan gadis itu langsung tertuju pada Hari, seseorang yang terlihat asing diantara sekelompok laki-laki di ruangan tersebut. “Permisi mas, mau anter minuman ini.” Dengan sopan gadis itu masuk dan meletakkan kantong berwarna hitam yang berisi enam botol minuman alkohol, terlihat seperti sudah terbiasa dengan situasi tersebut. “Oke makasih Sis, biasa ya nanti duitnya aku anter.” ucap Arif diikuti anggukan kepala Siska. Sekali lagi Siska mengalihkan pandangannya kembali ke arah Hari sebelum keluar dari ruangan, yang diperhatikan justru membuang muka ke arah layar televisi, seolah tidak memperdulikan kehadiran Siska. Teman-teman Hari yang lain langsung mengambil satu-persatu botol minuman yang diantar Siska. Sedangkan Hari hanya meliriknya dengan posisi kepala yang masih direbahkan di sandaran kursi. “Kamu pasti belum pernah ngerasain ini kan Har, kalo udah ngrasain aku yakin kamu bakal ketagihan.” Ucap Arif sambil mengambil satu botol dan membukakannya untuk Hari, lalu menyodorkannya. Hari menerima dengan tangan kanannya. Dia dekatkan hidungnya ke arah lubang botol, menghirup aroma minuman yang menjadi primadona teman-temannya itu. Hari mengerutkan wajahnya sambil menjauhkan hidungnya… minuman apa ini, batin Hari. Seumur hidupnya baru pernah ia memegang dan mencium bau minuman seperti itu. Ia berusaha mengabaikan penciumannya, lalu meneggaknya. Terasa aneh saat melewati kerongkongannya. Ia coba menenggakknya lagi beberapa kali dan lama kelamaan ia mulai terbiasa dan menikmatinya. Lambat laun Hari mulai merasakan ketenangan. Badannya mulai terasa hangat dan pikirinnya mulai merasa rileks. Bener-benar seperti tidak memeliki beban dalam pikirannya. Pantas saja teman-temannya sangat menyukai minuman ini, batin Hari. Ia mulai menikmati suara musik dan lagu yang dimainkan teman-temannya. Kepalanya mulai berangguk mengikuti irama. Waktu menunjukkan pukul 23.00, sudah terlampau malam untuk Hari. Waktunya ia pamit pulang kepada teman-temannya. *** Di rumah, Diana masih belum tidur, ia masih menunggu suaminya pulang kerumah. Entah berapa puluh kali ia mencoba menghubungi suminya tp tak ada jawaban. Setengah jam kemudian terdengar sayup-sayup suara motor yang semakin lama semakin terdengar nyaring. Alhamdulillah, mas Hari pulang, batin Diana. Ia berjalan membuka pintu ruang tamu. Hatinya cemas jika suaminya masih marah padanya. Ia memilih berdiri mematung di depan pintu menunggu suaminya mengajaknya bicara. Hari masuk ke rumah melewati Diana yang masih berdiri di depan pintu dan langsung duduk di ruang tamu. Seketika aroma alkohol menyeruak menusuk hidungnya. “Kamu minum alkohol mas?” takut-takut Diana memberanikan diri untuk bertanya. Selama mengenalnya tidak pernah Diana melihat suaminya seperti ini. “Aku mau bicara.” Nada suara Hari terlihat seperti biasa, terdengar lembut, tanpa ada amarah yang menguasainya. Diana merasa lega dan baru berani mendekati Hari, dan duduk di sampingnya. “Maafin aku ya Bu, aku tadi ngga bisa mengendalikan diri. Ak benar-benar stres, ak tidak bisa menolak ajakan teman-teman kantor saat mereka mengajakku ke tempat karaoke, tapi sungguh aku tidak mabuk.” Hari menatap Diana dengan mata nanar dan sedikit membungkuk dengan memegang tangannya. “Iya mas, aku juga minta maaf. Harusnya aku juga ngga banyak tanya dulu, biarkan kamu yang jelaskan nanti.” Kata Diana. “Soal aku dipecat, aku berani sumpah ini bukan kesalahanku… Aku difitnah…” Hari melepas tangannya dan mulai bersandar di sandaran kursi. “Kamu tau kan aku pegang uang perusahaan? Minggu lalu Damar meminjam uang perusahaan untuk pengobatan istrinya yang dirawat di Rumah Sakit. Aku ngga berani meminjamkan, tapi dia memaksa. Ia ceritakan kondisi istrinya. Itulah kenapa aku ngga tega, jadi aku pinjamkan dia uang perusahaan. Ia janji akan meminjam ke saudaranya untuk mengganti uang perusahaan. Tapi sampai sekarang belum juga dikembalikan, malah sudah tiga hari ini dia tidak masuk kerja.” Hari menarik nafas panjang. Matanya mulai berkaca-kaca. “Dan hari ini Audit dari pusat datang. Aku ngga bisa mengelak, ngga ada bukti yang menunjukkan bukan aku yang memakai uangnya. Aku hubungi Damar tapi handphonenya tidak aktif. Aku bingung Bu. Uang 20 juta itu tidak sedikit. Itu kenapa atasan tidak bisa menerimanya dan mempertahankan aku lagi.” Hari tidak bisa membendung air matanya. “Darimana aku dapat uang kalo aku ngga kerja Bu…” “Ya Allah, teganya temanmu mas…” Diana mengelus punggung Hari untuk menenangkannya. “Semoga nanti Damar bisa Dihubungi ya mas… biar nanti kamu jelaskan ke atasan, semoga saja kamu bisa diterima lagi di perusahaannya.” Diana merasa bersalah telah menuduh suaminya sore tadi. “Sabar ya mas. Soal rejeki pasti nanti ada jalan lain. Aku juga masih jualan kue, walaupun ngga seberapa tapi masih bisa untuk menyambung hidup kita untuk sementara.” Lanjut Diana. “Iya bu, makasih banyak ya… untung kamu yang jadi istri aku. Kalau yang lain mana bisa menerima aku” kata Hari sedikit gombal untuk mencairkan suasana. “Hmm… bisa aja kamu mas. Ya udah bersih-bersih dulu gih… besok kan bisa dipikirkan lagi mau bagaimana.” Kata Diana “Tapi kamu janji ya mas… cukup malam ini aja kamu khilaf minum minuman seperti itu. Itu dilarang agama kita mas.” Diana menatap Hari dengan wajah memohon. “Ngga Cuma haram, tapi juga bisa merusak kesehatan kamu.” Imbuhnya. “Iya bu, aku janji, maafin aku ya Bu.” Jawab Hari dengan tatapan menyesal. “Ya udah aku masakin air dulu ya buat mandi.” “Iya Bu, makasih ya.” Jawab Hari sambil menatap Diana dengan lembut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD