4. Luka Lama

1866 Words
Pagi itu Ayu bangun lebih awal dari biasanya. Setelah sholat subuh, ia pergi ke tukang sayur di ujung gang untuk membeli beberapa potong ayam dan sayur nangka untuk dimasak dan dibawanya ke Rumah sakit. Malam itu Ayu harus tidur sendirian dirumah karena ibunya harus menemani Rizal. Setelah mendapatkan bahan makanan, Ayu bergegas ke dapur dan mulai memasak. Ayu tidak tega melihat Rizal tidak nafsu makan, kata Rizal makanan di Rumah Sakit terasa hambar, lagi pula ia juga memasak untuk sarapan ia dan ibunya. Setelah semua matang, Ayu kemudian mandi dan bersiap menuju Rumah Sakit. Ia mengambil tiga kotak nasi di lemari perkakas di dapur dan memasukkan nasi dan lauk pauknya. Ayu baru saja selesai menyiapkan bekal dan baju ganti untuk ibu dan adiknya ketika seseorang mengetuk pintu rumahnya. “Assalamualaikum…” terdengar ucapan salam dari luar rumah. “Waalaikumsalam.” Jawab Ayu sambil malangkah menuju pintu. Tidak biasanya ada yang bertamu sepagi ini, pikir Ayu. Ayu membuka handle pintu dan melihat wanita paruh baya seusia ibunya dan seorang gadis yang hampir sepantaran dirinya berdiri di hadapannya. Ayu merasa tak mengenalnya. “Maaf cari siapa ya?” tanya Ayu dengan sedikit penasaran. “Ini rumah mba Diana?” wanita paruh baya itu balik bertanya. “Iya betul, tp maaf ibu lagi ngga dirumah. Ibu ini siapa ya? Ada perlu apa, biar nanti saya sampaikan.” Ayu masih penasaran. Wanita paruh baya itu menatap gadis di sebelahnya seolah ragu untuk mengatakan sesuatu, sementara gadis di sebelahnya hanya tertunduk dan tidak bicara sepatah katapun. “Ya udah mbak, mungkin besok kita kesini lagi.” Mereka pun berpamitan. Ayu masih menatap kearah keduanya hingga menghilang dibalik pagar tembok. Ayu kembali menutup pintu dengan banyak pertanyaan di kepalanya. Ya udah lah nanti juga kan bisa tanya ibu, pikir Ayu. Ayu mengambil kantong makanan dan pakaian yang sudah ia siapkan dan dan bergegas menuju Rumah Sakit dengan angkutan umum. Sesampainya di Rumah Sakit Ayu langsung menuju ruangan tempat adiknya dirawat. Rupanya dokter sedang memeriksa keadaan adiknya. “Hari ini sudah boleh pulang dok?” tanya Ayu sambil menghampiri dokter yang memeriksa. “Sudah kok mbak, sekitar enam minggu lagi kita lakukan operasi untuk pengangkatan pen-nya ya. Kemarin adenya saya sarankan untuk dirawat sekalian untuk observasi aja takutnya ada luka dalam.” Dokter menjelaskan. “Oh iya dok. Makasih” Jawab Ayu. “Sama-sama mbak, mari...” Dokter dan perawat meninggalkan ruangan. “Liat nih mba Ayu bawa.” Ayu sembari menunjukkan kantong plastik warna putih kepada adiknya. “Hmmm... pasti nasi ayam goreng…” tebak Rizal sambil cengengesan. Sudah bisa ditebak karena Ayu tau kesukaan adik kesayangannya itu. “Makanya kamu harus nurut sama mbakmu. Tuh pagi-pagi udah dimasakin ayam goreng. Kurang sayang apa coba mbakmu.” Diana menerima bungkusan yang dibawa Ayu. Ia mengeluarkan kotak nasi satu persatu dan meletakkannya di meja kecil yang biasa disediakan di ruang rawat inap. Mereka memakannya bersama. Sungguh kenikmatan yang tidak bisa diukur dengan apapaun, bukan makanannya, bukan pula tempatnya, melainkan kebersamaan keluarga dalam kehangatan kasih sayang. Ayu begitu mensyukuri itu, walaupun mereka hanya bertiga, tanpa seorang ayah. Setelah hari sudah agak siang mereka berkemas untuk pulang kerumah. Ayu baru teringat akan kedatangan dua orang perempuan kerumah mereka tadi pagi. Ayu segera menanyakannya pada ibunya. “O ya bu, tadi pagi ada yang dateng kerumah, ibu-ibu sama anaknya mungkin, anaknya hampir seumur Ayu. Waktu Ayu tanya siapa mereka ngga jawab, tp malah liat-liatan. Mencurigakan ngga sih bu. Emang siapa bu? Ibu tau?” tanya Ayu. “Ya mana ibu tau. Salah alamat kali.” Diana tidak terlalu menanggapi karena merasa tidak mengenalnya. “Ya ngga mungkin lah bu, orang mereka tau kok nama ibu.” Ayu berusaha meyakinkan ibunya. Diana menoleh ke arah Ayu sambil mengernyitkan dahinya. Diana berusaha mengingat-ingat siapa wanita yang dimaksud. Apa mungkin Siska dan anaknya? Pikir Diana. Tapi sepertinya tidak mungkin. Dia tidak pernah berusaha menemuinya, bahkan selalu menghindarinya. Diana berusaha berfikir positif, mungkin teman lamanya atau siapa entahlah. “Ya udah yuk, ni ibu udah selesai kemas-kemasnya. Ibu udah pengen pulang kerumah.” Kata Diana berusaha mengalihkan perhatian Ayu dengan rasa penasarannya. “Siap bu.” Jawab Rizal semangat. “Oh iya ibu sampe lupa tanya, kamu ngga kuliah Yu?” tanya Diana “Engga bu. Ngga papa lah bolos sehari. Ayu kan pengen jenguk adek yang paling ganteng ini.” Jawab Ayu sambil mengacak-acak rambut Rizal. Mereka bertiga keluar dari ruang rawat. Ayu mendorong kursi roda yang diduduki Rizal. Mereka pun berpamitan dan mengucapkan terimakasih saat melewati ruangan suster. “Tunggu sebentar ya bu, Ayu pesenin Taksi.” Kata Ayu ketika sampai di lobi rumah sakit. Lima menit kemudian taksi datang. Mereka pun kembali ke rumah. *** Keesokan harinya Ayu beraktifitas seperti biasa. Setelah membantu ibunya membuka warung kelontong, Ayu mandi dan bersiap di kamarnya. Ia harus datang ke kampus lebih awal untuk bimbingan skripsinya karena jadwal padat dosen pembimbingnya hari ini. Sudah dari jam enam pagi Bella sudah berada dirumah Ayu. Bella berniat menjenguk Rizal sekaligus menjemput Ayu untuk ke kampus bersama. “Sarapan dulu bell, ni ibu udah masak nasi goreng sama tempe goreng. Pasti pagi-pagi begini dari rumah belum sarapan kan.” Diana meletakkan dua piring kosong di meja makan untuk sarapan Bella dan Ayu. Sebuah ruang makan kecil yang menyatu dengan ruang keluarga. Di ruang keluarga Rizal sudah asik menonton televisi, Rizal terpaksa belum bisa berangkat ke sekolah untuk memulihkan kondisinya. “Iya bu… emang Bella kesini pagi-pagi mau numpang sarapan kok.” Ucap Bella cuek sambil menuju ke meja makan. Ayu yang mendengar jawaban Bella dari dalam kamarnya sontak ikut berkomentar. “Ibu kaya ngga tau Bella aja, kalo soal makanan mah dia cepet.” Diana hanya tersenyum mendengar celotehan dua sahabat itu. Ayu keluar dari kamar dengan pakaian yang sudah rapi dan menyusul Bella untuk sarapan. Bella terlihat rakus menyantap nasi gorengnya. Seolah tidak mengetahui kehadiran Bella yang duduk di depannya. “Bell?” panggilan Ayu mengagetkan Bella. Bella menegakkan kepalanya. “Lo kenapa sih? Seminggu ngga makan? Pelan-pelan Bell takut kesedak.” Ditanya begitu Bella hanya terbahak. “Gila ini enak banget nasi gorengnya. Mana semalem gue ngga makan lagi. Bokap nyokap gue berantem lagi. Gue pusing yu. Ya udah gue masuk kamar aja. Alhasil gue ngga makan.” terang Bella “Ya salah sendiri kenapa ngga makan.” “Lu enak yu… dirumah ngga pernah ribut adem ayem. Nyokap gue itu kalo habis berantem pasti balik ke rumah nenek gue di Jakarta. Sebenernya mereka sayang ngga sih sama gue.” “Ya sayang lah… mana ada orangtua ngga sayang sama anaknya. Lo harusnya bersyukur Bell, orangtua lo masih lengkap. Seenggaknya lo masih bisa liat mereka dan masih ada kesempatan buat bahagiain mereka.” “Iya yu, sorry.” Bella merasa bersalah, perkataannya membuat Ayu terlihat sedih. *** Ayu dan Bella sudah berangkat ke kampus mereka, waktunya Diana membuka warung kelontong, sedikit siang dari biasanya. Sembari menunggu warung, Diana beberes dan menyapu halaman. Sehari ia tinggalkan di Rumah Sakit daun-daun kering sudah menumpuk di halaman rumah. Sesekali tetangga yang melintas menyapa dan menanyakan keadaan Rizal. Walaupun tinggal di daerah pemukiman yang masih dekat dengan perkotaan tapi suasananya kekeluargaan masih terasa disana. Banyak tetangga yang masih perduli dengan lingkungan sekitarnya. Diana menghentikan pekerjaannya ketika ada yang membeli di warung kelontongnya. “Beli sabun cuci piringnya ya bu, yang sachet kecil aja satu.” Kata Riana anak bu Edy yang rumahnya di depan jalan besar. “Ini ya dek, Dua ribu aja.” Diana menerima uangnya dan menaruhnya di kotak uang, lalu kembali untuk melanjutkan menyapu halaman. Namun langkahnya terhenti ketika dua orang wanita menuju ke warungnya. “Silahkan, mau beli apa ya bu?” tanya Diana dengan ramah sambil berbalik arah. “Engga mba, saya ngga bermaksud membeli.” Jawab wanita itu sedikit ragu. “Maaf mba siapa ya? Ada perlu apa?” tanya Diana melihat seorang wanita paruh baya dan seorang gadis remaja seusia Ayu, persis seperti yang diceritakan Ayu kemarin. “Apa mba yang datang kesini kemarin?” lanjut Diana. “Betul mba. Bisa kita ngobrol mba?” Tanya wanita itu. “Boleh mba, silahkan.” Diana mengajak kedua wanita itu masuk ke dalam warungnya, ia persilahkan duduk di bangku kayu berwarna coklat yang terletak di bagian dalam warung kelontongnya. Sengaja Diana tak mengajaknya ke ruang tamu di dalam rumahnya karena perasaannya tidak enak melihat gelagat kedua wanita itu, apalagi Diana benar-benar tak mengenalnya. “Begini mba… saya Ratna. Apa mba masih ingat dengan perempuan yang bernama Siska?” wanita itu memulai pembicaraannya. Deg. d**a Diana seolah berhenti berdetak. Diana benar-benar kaget mendengar ia menyebut nama wanita itu. Bagaimana mungkin dia bisa lupa dengan seorang wanita bernama Siska, wanita yang sudah membuat rumah tangganya hampir berakhir. Bahkan seumur hidupnya dia yakin akan terus mengingatnya. Bukan karena dendam, tetapi lebih kepada perasaan seorang perempuan yang merasa dibohongi dan dikhianati. Luka yang begitu dalam dan membekas tidak bisa begitu saja bisa ia lupakan. Naluri seorang perempuan yang akan terus mengingat kejadian masa lalu yang begitu menyakitkan. Diana menyimpan rasa sakit itu hampir seumur anak keduanya, Rizal. Ia simpan rapat-rapat demi perkembangan kedua buah hatinya. Ia juga tidak mau kedua anaknya membenci ayahnya, apalagi ayahnya sudah tiada. Diana menghela nafas panjang, berusaha menetralkan perasaannya yang sempat tidak menentu. “Tentu aja mba, saya ngga akan pernah lupa.” Diana berusaha menjawab dengan tenang. “Trus maksud mbaknya datang kesini ada apa ya? Mba siapanya?” Diana melanjutkan pertanyaannya. “Saya Ratna, kakak Siska. Ini Putri, anak dari Hari, suami mbak.” Ratna menunjuk gadis di sebelahnya yang masih duduk mematung. “Saya kesini Cuma minta hak putri sebagai anak biologis dari Hari Pranoto. Saya minta sebagaian hak waris untuk keponakan saya. Dia bukan anak haram mbak, dia lahir dari perkawinan yang sah, walaupun tidak tercatat dalam negara, tapi sudah sah menurut agama. Saya minta mbak jangan egois.” Ratna mulai terlihat emosional. “Iya mbak, saya tau. Saya juga tidak berusaha menguasai harta milik mas Hari. Lagipula hanya rumah sederhana ini satu-satunya peninggalan dari mas Hari.” Diana mencoba tegar dengan kedatangan kakak Siska dan anak kandung almarhum suaminya dari istri keduanya. Kedatangan mereka secara tiba-tiba membuat Diana syok. “Kenapa mba yang datang kemari? Kenapa bukan Siska?” tanya Diana. “Adik saya udah meninggal sebulan yang lalu.” Jawab Ratna dengan suara datar. Diana menghembuskan nafas perlahan, ia merasa iba dengan nasib Putri yang telah menjadi anak yatim piatu. “Kalo warung ini saya bangun bersama-sama dengan mas Hari setelah kelahiran putra kedua kami. Sebagian modalnya dari hasil saya berjualan kue dari awal kami menikah.” Diana berusaha mempertahankan warung kelontong yang merupakan sumber pemasukan mereka untuk makan dan biaya sehari-sehari. “Ya udah terserah mbak. Tapi saya minta hak atas rumah ini. Gimana keputusannya saya kasih waktu sampe minggu depan. Kita juga membutuhkan biaya mbak untuk masa depan Putri” Ratna terlihat lega dengan jawaban Diana. Ratna khawatir dengan tujuan kedatangamnya Diana akan sangat marah mengingat masa lalu adiknya yang menjadi orang ketiga dalam perkawinan mereka. Nyatanya Diana bukanlah orang yang pendendam dan egois seperti apa yang dia bayangkan. Ratna benar-benar membutuhkan Biaya untuk masa depan keponaknnya setelah ibunya meninggal. Sedangkan Ratna hanya seorang buruh cuci di tempat usaha loundry, yang juga harus membiayai anak-anaknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD