DINNER ALA RUSIA

931 Words
Di luar jendela terlihat salju putih berjatuhan. Udara cukup dingin sudah masuk minus 3 derajat, dinginnya ... brrr... sampai kaca-kaca jendela terlihat buram. Lalu lalang di jalan terasa sepi. Maklumlah...Wintter kali ini cukup ekstrem, disertai badai dingin yang rasa dinginnya sampai menusuk tulang-belulang. Ramil masih menatap jendela di luar. Entah apa yang ada di dalam benaknya. Pikirannya melayang ke masa-masa kecilnya dulu bersama kedua orang tuanya yang sekarang tinggal di Moskow. Berpisah dengan kedua orang tuanya itu adalah keharusan bagi seorang laki-laki seperti Ramil. Ia harus mencari penghidupannya sendiri untuk melanjutkan masa depannya, melanjutkan hidupnya bersama keluarga barunya. Ramil merasakan kesendirian yang mencabik-cabik perasaannya. Di sini ia diterima bekerja sebagai security force Officer dan ia harus melakukan pekerjaannya meskipun ia harus berpisah dengan kedua orang tuanya dan kedua adik perempuannya. Setiap pagi pukul setengah delapan pagi ia sudah mulai berangkat ke kantor. Ramil akan membuat sarapan sendiri yaitu Pilaf . atau jika tergesa-gesa, Ramil cukup merebus telur rebus dan satu gelas s**u, dan untuk jatah makan siang, ia mendapatkannya di kantor. Ramil masih ingat ketika ia masih kecil. Ramil sering diajak mominya mengunjungi pusat Pilaf. Ia akan berjalan bersama kedua adiknya menyusuri jalan-jalan di Almaty dan ibunya akan menuntunnya ke sebuah tempat di mana tempat itu sangat ramai pengunjungnya. Mereka duduk-duduk, ngobrol ini itu sambil menunggu Pilaf matang. Banyak pria di seberang sana, sedang membuat Pilaf. Ada yang mencabik-cabik daging domba, dipotong sedang dengan pisau yang menurut Ramil cukup besar, karena waktu itu Ramil masih kecil, melihat pisau sebesar paha manusia kelihatannya untuk memotong- motong daging domba. Kemudian daging itu akan digoreng dengan wajan yang cukup besar, sepertinya memasak untuk konsumsi lima puluh orang, cukup dalam satu wajan. Wajan itu penuh minyak panas yang mendidih dengan campuran rempah-rempah, bumbu-bumbu, tidak lupa bawang bombay beberapa kilogram juga dimasukkan ke dalam wajan besar itu. Setelah itu beras yang sudah dicuci bersih akan dimasukkan ke dalam wajan besar, lalu bersama daging domba, rempah-rempah, beras itu dimasak dan ditutup dengan tutup wajan yang cukup besar. Centong-centong untuk membolak-balikkan Pilaf itu terbuat dari kayu dan dilakukan oleh beberapa pria dewasa untuk melakukannya. Ramil menunggu Pilaf itu matang bersama ibunya dan kedua adik perempuannya. Mereka akan duduk di kursi panjang yang sudah disediakan penjual Pilaf untuk menikmati Pilaf yang sudah matang secara bersama-sama. Ketika pilaf itu telah matang, maka ada beberapa pria yang akan mengambil beberapa piring dan mengisikan pilaf ke dalam piring itu. Bulir- bulir nasi beraroma daging kambing berkilauan terlihat berwarna coklat keemasan karena tertimpa sinar lampu jalanan Almaty. Kemudian pilaf dalam piring dibagikan kepada pengunjung yang sudah mengantri satu persatu beberapa jam yang lalu. Tidak lupa dibagikan juga untuk Ramil kecil dan dua adik perempuannya serta mominya yang mengajaknya pergi jalan jalan ke kota untuk menikmati lezatnya nasi Philaf. Ramil kecil menerima piring dari tangan seorang pria muda yang bertugas sebagai pelayan di tempat itu. Pria muda itu bisa mengambil beberapa piring berisi Pilaf panas untuk dibagikan kepada pelanggan yang sudah mengantrinya berjam-jam. Mereka rela mengantri demi menikmati sepiring Pilaf beraroma daging kambing. Meskipun di tempat itu ada beberapa tempat yang menjual nasi Pilaf, tetapi hanya tempat penjual Pilaf ini saja yang paling terkenal yang pilafnya rasanya gurih berempah yang selalu ramai dikunjungi pengunjung. Ramil suka sekali dengan daging domba. Ia sering menghabiskan Pilaf dalam piringnya sambil mencecap-cecap tulang-tulang domba yang tersisa. Jika Ramil kecil giginya sudah kuat, tentu saja tulang -tulang daging domba itu akan diremukkannya dengan giginya dan tidak menyisakan barang secuil tulangpun untuk beberapa kucing yang sudah menungguinya di tempat itu untuk menerima tulang tulang sisa. Ramil menghabiskan Pilafnya dalam piring, langsung mencuci piringnya dan diletakkan di dapur, Ia segera menuju ke kamarnya kembali. Jika ia menikmati Pilaf, rasanya kenangan bersama ibu dan adik-adik perempuannya terbayang nyata di depan matanya, sehingga Ramil lupa bahwa ada seorang wanita dari Indonesia yang dengan setia menunggui kekasihnya yang meminta ijin pamit untuk dinner. " Dinner finished " pesan Ramil dari London meloncat ke ponsel Marlina. " Done.... " lanjut Ramil lagi pada ponselnya. Ia mengetikkan huruf-huruf dengan jari jemarinya yang putih pucat kedinginan. Aku yang sedari tadi menunggui Ramil makan malam, membayangkan masa kecilnya, berjam jam lamanya. Ramil agaknya lupa telah meninggalkan aku sendirian di dalam kamar. Kenangan bersama keluarganya, adik -adik perempuannya telah membuat Ramil melupakan aku. Huuu... Aku mengira Ramil sudah tertidur pulas karena lelah sehabis pulang kerja, ternyata sedang bercengkerama dengan kenangan masa kecilnya. Rasanya kantukku semakin menyerang sebab di Indonesia waktu sudah menunjukan bergulir lebih dari jam duabelas malam, itu berarti semakin pagi. Aku harus memulai chattingku dengan Ramil ketika Ramil pulang kerja yaitu pukul tujuh malam di London dan di sini sudah jam dua belas malam. Menunggui Ramil makan malam selama beberapa jam dengan mimpi-mimpinya, membuat waktu berlalu begitu cepat " Yeah... " jawabku sambil menguap. Rasa kantuk tiba-tiba menyerang mataku. Rasanya letih jika rasa kantuk menyerang. Ingin segera aku rebahkan badanku ini di kasur yang empuk dengan bantal hangat yang akan aku peluk erat-erat. " Want you so much... " balas Ramil bersemangat sekali pemirsah, setelah dia menghabiskan satu piring Pilaf. " Send me your photos... " sambung Ramil lagi. Ini lagi bikin Ramil menggebu-gebu. Maklum dia sudah dapat amunisi sepiring Pilaf tadi, jadi semangat membara, sedangkan aku, amunisinya sudah makan sejak sore tadi, sekarang sudah habis amunisinya dan harus segera beristirahat. " You before photos... " jawabku sambil ngeloyor pergi karena rasa kantuk yang sudah tidak tertahankan lagi. Jam di sini sudah menunjukkan pukul dua pagi lebih. Aku langsung ambruk dan tertidur nyenyak tanpa minta pamit pada Ramil untuk close chating. I dont know Ramil marah atau tidak... Ramil memanggil-manggil aku beberapa kali sesudah itu mati ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD