FLYING TO LONDON

1731 Words
Tiba di bandar Udara Heathrow, yang dikenal sebagai London Heathrow, adalah bandar udara yang melayani Kota London, Britania Raya dan merupakan bandara tersibuk di London. Bandara Heathrow terletak sekitar 23 Kilometer sebelah barat dari Kota London, dan apartemen Ramil berada tidak terlalu jauh dari pusat kota karena Ramil memang bekerja di bandara Heathrow itu sebagai security office officer. Heathrow merupakan bandara terbesar dari enam bandara yang ada di Kota London dengan kapasitas hampir delapan puluh juta penumpang per tahun. Heathrow merupakan basic untuk Maskapai British Airways dan Virgin Atlantic. Mengulik sejarah bandara Heathrow, dulu telah dibangun sebuah bandara kecil yang terletak di dekat sebuah desa kecil bernama Heathrow, sebuah desa yang akhirnya dikenal di seluruh dunia dengan nama Bandara Heathrow karena berdiri di desa tersebut. Kemudian bandara tersebut diperluas dengan maksud sebagai sarana militer perang, untuk melakukan penerbangan jarak jauh ke timur jauh, namun setelah pembangunan selesai, perang telah berakhir. Setelah perang, maka bandara Heathrow menerima tujuan penerbangan sipil dan mulai dibuka beberapa tahun kemudian sebagai bandara London Heathrow merupakan salah satu bandara dengan akses termudah untuk hal transportasi umum. Bila nanti tidak ada Ramil yang akan menjemputku, maka aku bisa menggunakan Kereta api The Heathrow Expres, dengan berangkat ke Stasiun Paddington setiap lima belas menit atau, aku bisa naik bus lokal dan bus daerah, berangkat dari terminal bus Bandara Heathrow. Setiap tiga puluh menit, ada bus yang menuju ke London Victoria Coach Station. Jika aku sampai di bandara Heathrow pada malam hari, dimana kereta api dan kereta api bawah tanah, sudah tidak beroperasi lagi, maka aku bisa naik bus malam yang terkenal dengan nama bus N9 atau bisa memesan taxi pada malam hari. Aku harus memesan tiket taxi di dalam bandara terlebih dahulu, agar lebih mudah sebelum mencari taxi di luar. Itu beberapa saran sadis dari Ramil apabila kemungkinan karena urusan pekerjaan, Ramil tidak bisa menjemputku di bandara Heathrow, dan aku sudah diberikan alamat apartemen Ramil. Jika apartemennya sepi, Ramil mungkin masih di jalan, atau masih di tempat pekerjaannya, maka aku diberitahu rahasia khusus menyimpan kunci apartemennya. Hmmm...kali ini Ramil bener-bener baik sekali kepadaku. Entah kelicikan apa lagi yang aku akan dapatkan di tempat baru ini. Kujatuhkan ranselku dan tas besar yang kubawa, ketika aku melihat dari kejauhan Ramil sedang berjalan menghampiriku. Kakiku gemetaran, bukan karena aku tidak makan, tidak ... lututku juga rasanya mau lepas, melihat Ramil dari kejauhan,, terus berjalan menjemputku. Kakinya yang panjang seperti juga langkahnya yang pelan dan pasti menghampiriku, bak adegan dalam sinetron Indosiar ketika dua sejoli saling bertemu, dipertemukan dengan waktu yang begitu lama karena menjalankan LDR. Sungguh aku tak percaya! Apakah aku sedang bermimpi hari ini? Bertemu dengan seorang pangeran tampan, yang sekarang sudah berdiri di depanku. Aku menatap wajahnya lekat-lekat. Wajahnya, hidungnya yang mancung masih sama, matanya yang sedikit besar juga sama dan tingginya, alamak ... aku hanya seper berapa centi dari pinggangnya, tinggi sekali sayangku ... Begitulah manusia dari negara 62, selalu kalah tingginya dengan bule-bule Eropa. "How yours?" tanya pria tampan itu, sambil mengangkat dua tasku, tas ransel dan tas besar, berisi pakaian-pakaian yang aku jatuhkan di atas lantai bandara. Pakaian- pakaian itu akan aku pakai selama aku berada di apartemen Ramil. Tanpa menunggu jawabanku, Ramil terus menggandeng tanganku menuju ke mobilnya yang sudah di parkir di luar bandara Heathrow. Tidak ada rasa kaku atau canggung sama sekali, ketika aku dan Ramil bertemu, padahal ini adalah pertemuan pertama di tempat antah berantah. Mungkin karena emosi aku dan Ramil sudah dibangun lewat beberapa bulan, lewat chatingan yang entah sudah ratusan ribu kali, sehingga kami berdua seperti sudah kenal lama. Seperti dua saudara dekat, yang sudah lama tidak bertemu. Kami berdua berjalan beriringan, Ramil menggenggam tanganku dengan erat dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya memegangi dua tas rangselku. Duh ... sungguh aku sangat tersanjung dijemput oleh seorang pangeran tampan dan terhormat dari negeri kerajaan. Ternyata Ramil tidak membiarkan aku sendirian. Tidak ingin juga, aku bersusah-payah mencari-cari kunci apartemennya, sendirian, di tempat persembunyiannya, tidak ingin juga aku kebingungan di kota London yang indah dan bersih ini. Ya ... dibalik sikapnya yang suka memblokir aku bolak balik, tapi ternyata, dia pria yang tidak tegaan. Aku sudah menganalisanya sejak pertama kali bertemu di Ome TV. Seperti kata pepatah pernah bilang "Cinta pada pandangan pertama" aku sekarang sedang merasakannya! Ya ... aku jatuh cinta pada pandangan pertama bule Rusia, yaitu Ramil. Pandangan mata Ramil yang polos, bibirnya yang lembut dan suaranya yang membuat jantung bergetar hebat. Aku melihat dia pria yang soft, pria yang sangat lembut dan begitulah kebanyakan pria Rusia dalam kesehariannya. Dia sangat menghormati wanita, terutama ibunya. "We will eat before." ujar Ramil setelah aku sudah duduk di mobil, dan pria itu sudah bersiap untuk driving mobilnya. Di luar, lampu-lampu jalanan sudah mulai kelihatan bersinar, sekitar jam delapanan malam, jadi Ramil menunggui aku, setelah pulang kerja jam tujuh malam, sekitar satu jam duduk menungguiku. Jalan di British Raya begitu bersih dan lebar, tidak sehiruk pikuk di Indonesia. "Kita ke Fortnum and Mason, Piccadilly. Kamu bisa makan sepuasnya." ajak Ramil kepadaku. Asyiik ... pria tampan itu sepertinya tahu banget dengan perutku yang mulai keroncongan. "Slain Kamu bisa makan enak ala tradisional, Kamu juga bisa memilih coklat dalam berbagai bentuk." ujar pria itu lagi sambil tetap menyetir mobil. Berulangkali aku melihat Ramil sering mencuri-curi pandang, melihat wajahku dari samping. Asli ... kami berdua baru bertemu pertama kali ini, setelah melalui berbagai tragedi di chatingan. Tragedi dimana, aku sering diblokir. Kecanggungan memang agak sedikit terasa ketika aku sudah duduk berdua di mobil, tetapi kecanggungan itu terasa lumer, ketika tangan Ramil menyentuh pundak dan kepalaku, lalu aku meyambut tangannya, menggenggam tangannya yang besar dengan erat. Aku merasakan kehangatan menjalar lewat telapak tangan Ramil. Darah hangat mengalir dari tangan Ramil ke tanganku. Tanganku hangat. Pria itu melirikku sambil tersenyum. "Nanti Kau akan Aku ajak ke Standford Bridge ya, sarangnya pemain Chelsea. Kamu bisa beli oleh-oleh kaos di sana, tapi besok ... besoknya lagi ya ... kalau Aku pas longgar dalam kerjaan." canda Ramil. Aku hanya bisa mengangguk saja. Apa yang bisa aku lakukan di tempat asing seperti ini? Dengan seorang pria bule yang baru pertama kali aku bertemu dengannya? Aku hanya bisa mengangguk dan memasrahkan segalanya kepadanya. Ibaratnya, memasrahkan nadiku untuk diiris sekalipun, pasrah saja tidak bisa memberontak dan tentu akan kalah. Aku berharap,, Ramil menjadi orang yang baik selama aku tinggal di apartemennya, doaku di dalam hati, masih di dalam mobil, namun aku tidak merasakan ketakutan atau kekhawatiran, pria itu nantinya akan ngapa-ngapain aku. Yang ada cuma rasa gugup yang menelingkup seluruh perasaanku. Sepertinya aku sudah mengenal Ramil bertahun-tahun. Aku tahu wajah Ramil, karakter pria itu yang lembut,, walaupun hanya melalui chatingan saja, and i trust my feeling. Setelah melalui perjalanan hampir setengah jam, sampailah aku di sebuah resto makan tradisional. Letaknya tepat di pinggir jalan dan kelihatan kecil dari luar, hanya terlihat tutup pintu dari kaca dan tidak ada ornamen apapun. Hanya tulisan resto makan tradisional. Tidak ada jendela atau sesuatu pun yang memperlihatkan itu adalah warung makan, hanya pintu kaca tertutup yang mirip dengan bangunan salon, tetapi ketika pria itu membuka pintunya, ternyata, aroma makanan menyeruak ke hidung, sampai rasanya masuk ke kerongkongan, membuat ingin segera duduk, memesan makanan dan mencicipinya. Rasa lapar segera menyerangku. Entahlah harum apa ini? seperti harum rasa di resto-resto terkenal di Indonesia. Oh ... My God, ternyata ada juga resto makanan tradisional Indonesia seenak ini, di Inggris ya? Setelah memarkir mobilnya di depan resto, aku dan Ramil masuk ke dalam. Bangunan gedungnya tertutup, tidak terbuka seperti kebanyakan warung di Indonesia. Begitu masuk, langsung disambut dengan deretan lauk pauk seperti di rumah makan padang. Berbagai macam lauk tertata rapi di atas piring. Ada mungkin puluhan lauk yang tertata rapi di atas piring di dalam etalase makanan. Aku duduk di pojokan dinding dekat jendela dan Ramil duduk di depanku. Meja makannya cukup kecil, terbuat dari kayu dan meja sekecil itu diperuntukkan hanya untuk empat orang. Suasana di Resto makanan tradisional Indonesia itu cukup ramai, maklum jam dinner untuk orang- orang yang berkantong tipis, lebih memilih makan di tempat ini. Aku tidak tahu bagaimana resto makan ini menamai dirinya dengan resto makanan tradisional Indonesia? mana makanan tradisionalnya? mungkin hanya untuk menarik pelanggan saja ya, dengan mendengar resto tradisional Indonesia, tentu harganya lebih murah. Aku melihat, tidak ada makanan tradisional di sini, misalnya saja masakan tradisional oblok-oblok tempe tahu tlembuk, seperti di Indonesia ataupun urap kacang panjang campur tauge atau rebusan wortel, atau pecel sayuran plus sambal kacang, sama sekali tidak ada, yang aku lihat hanya makanan makanan biasa seperti di Indonesia tapi tidak sekelas resto yah. Cukup ramai juga warung ini, berarti cukup murah untuk kantong mereka. Ramil memesankan makananku yang sama dengan makanannya. Satu piring nasi kecil, dicampur dengan daging yang digoreng tepung berbentuk cryspy dan memanjang, saos pedas, beberapa potongan kentang yang digoreng dan satu mangkuk soup daging. Hem ... seperti makanan Indonesia rupanya. Aku pikir,; pria itu akan mengajak makan aku di tempat pemasakan philaf seperti yang sering diobrolkan dalam chatingan, ternyata tidak. Ups! mungkin belum ya? Mungkin suatu hari besok, pria itu akan. mengajak aku menikmati makanan philaf di London atau langsung ke Rusia. Tentu saja aku sangat menyukainya, karena baru mendengar nama makanan ini, apalagi rasanya, belum merasakan kelezatan philaf seperti yang sering dimakan Ramil. Aku dan Ramil menikmati makanan sambil sesekali ngobrol, meneguk jeruk panas kesukaanku dan Ramil hanya memesan air putih kemasan untuk minumannya. Sesekali aku memperhatikan orang-orang yang hilir mudik, memesan makanan, lalu duduk, atau menikmati makan lalu menuju ke kasir untuk membayar. Aku menikmati makanan sampai bersih, karena memang perutku sudah mulai merasakan lapar, waktu aku masih berada di atas pesawat. Aku lihat juga, pria dari negeri dongeng itu, makannya lahap sekali, seperti setan yang sedang makan. Mungkin karena kehadiranku di sampingnya, membuat dia bertambah napsu untuk memakan makanan. Setelah Ramil membayar makanan di tempat kasir, kami berdua keluar dari resto makan itu, sambil tidak lupa menutup pintunya kembali, kalau sampai lupa, penjaga restonya yang berdiri di depan resto, akan melototkan matanya, dan menyuruh untuk kembali, dan menutup pintunya kembali dengan tertib. Aku dan Ramil kemudian menuju ke tempat parkir mobil, lalu mobil Ramil berwarna putih, seperti yang aku lihat di foto-foto yang dikirimkan pria itu kepadaku, sama persis dengan yang sedang aku tumpangi ini. Selanjutnya, Mobil melaju kencang, membelah jalan. Lampu-lampu di jalanan seperti saling berkejaran, karena mobil yang kami tumpangi, melaju dengan begitu cepat. Jalannya yang bagus atau kepintarannya sang pengendara? pikirku. Mobil berwarna putih itu, meninggalkan Oxfort Street. Menuju ke Apartemen Ramil.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD