Pembalasan tanpa ampun

520 Words
BAB 27 – PEMBALASAN TANPA AMPUN Penthouse Grayson – Milan, Italia Pintu apartemen terbanting keras ketika Grayson dan Exelina masuk. Mata pria itu masih menyala dengan amarah yang tertahan, sementara Exelina berdiri di belakangnya, mencoba menenangkan napasnya. "Grayson—" "You could've been drugged, Exelina!" suaranya meledak, memenuhi ruangan yang luas. Exelina menatapnya, menyadari bahwa ini bukan hanya tentang kejadian tadi malam—ini tentang bagaimana Grayson merasa gagal melindunginya. "Tapi aku tidak. Kau menyelamatkanku," katanya, mencoba meredakan ketegangan. Namun Grayson hanya mengusap wajahnya dengan frustrasi sebelum berjalan ke bar di sudut ruangan, menuangkan segelas bourbon, dan meneguknya dalam satu tarikan napas. Matanya kembali menatap Exelina, penuh dengan intensitas. "Liam sudah melewati batas. Aku akan menghancurkannya." Exelina menelan ludah. Ia tahu bahwa Grayson bukan pria yang hanya berbicara tanpa tindakan. Jika ia berkata akan menghancurkan seseorang, maka itu benar-benar akan terjadi. "What are you going to do?" Grayson mendekatinya, jemarinya mengangkat dagunya agar ia menatap langsung ke matanya. "Aku akan mengambil segalanya darinya. Bisnisnya, reputasinya, dan terakhir... nyawanya." Exelina tercekat. "You don’t have to kill him." Grayson tersenyum kecil, tetapi tidak ada kehangatan di sana. "Sometimes, the only way to end a threat is to eliminate it completely." --- Liam di Ambang Kehancuran Di tempat lain, Liam sedang meneguk anggur merahnya dengan santai di sebuah bar mewah, dikelilingi wanita-wanita cantik. Ia tertawa kecil saat salah satu wanita di sampingnya menyentuh pipinya yang masih membiru akibat pukulan Grayson. "Looks like someone’s mad at you," wanita itu menggoda. Liam tersenyum miring. "Let him be. He can't touch me." Namun, beberapa detik kemudian, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. "Saham perusahaanmu anjlok 20% dalam semalam. Investor mulai menarik diri. Bersiaplah untuk kehancuran." Liam mengernyit. Matanya menatap layar dengan tajam. Sial. Ia segera keluar dari bar dan masuk ke mobilnya, menekan nomor asistennya. "Apa yang terjadi?" bentaknya begitu panggilan tersambung. Suara di ujung telepon terdengar panik. "Tuan, seseorang sedang menyerang bisnis Anda. Klien besar membatalkan kontrak, aset-aset Anda dibekukan, dan—" "Siapa yang melakukannya?" Hening sejenak, sebelum suara itu menjawab dengan gemetar. "Grayson Walker." Liam menggertakkan giginya. Tangan yang menggenggam ponselnya mengeras. "That son of a bitch." --- Jebakan yang Berbalik Sementara itu, Grayson duduk di ruang kantornya dengan laptop terbuka, menyaksikan kejatuhan Liam melalui layar. Salah satu anak buahnya melaporkan, "Bisnisnya runtuh lebih cepat dari yang kita perkirakan. Dalam waktu kurang dari seminggu, dia tidak akan punya apa-apa." Grayson menyeringai. "Good. That’s just the beginning." Namun, sebelum ia bisa menikmati kemenangannya lebih lama, ponselnya bergetar. Nomor tak dikenal. Ia menjawabnya dengan santai. "Grayson Walker." Sebuah suara terdengar dari ujung sana. "Kau pikir kau bisa menghancurkanku begitu saja? Aku masih punya senjata terakhir." Grayson menyipitkan mata. "Dan apa itu?" Terdengar tawa kecil sebelum suara itu melanjutkan. "Exelina. Aku akan membuatnya milikku. Aku akan mengambil harga dirinya... di hadapanmu." Darah Grayson mendidih. Tangannya mengepal erat. "Try it, Liam. And I swear, you won’t live to see another day." Panggilan terputus. Grayson menghempaskan ponselnya ke meja, napasnya berat. Exelina masuk ke ruangan saat itu juga, melihat ekspresi gelap di wajahnya. "Apa yang terjadi?" Grayson menatapnya dengan mata berbahaya. "Liam just declared war." --- TO BE CONTINUED…
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD