Darah sebagai peringatan

386 Words
BAB 29 – DARAH SEBAGAI PERINGATAN Koridor Hotel – Milan, Italia Suasana di lorong hotel mendadak berubah menjadi medan perang. Dua pria yang tersisa langsung mencoba menarik Exelina sebagai sandera, tetapi mereka terlalu lambat. DOR! Peluru kedua melesat dan mengenai salah satu pria di d**a. Ia terjatuh ke lantai dengan napas tersengal sebelum akhirnya tak bergerak. Satu pria tersisa. Grayson melangkah maju dengan aura yang begitu menakutkan, membuat pria itu gemetar ketakutan. "S-Saya hanya mengikuti perintah!" pria itu memohon, melepaskan pegangan pada Exelina dan mengangkat tangannya menyerah. Namun, Grayson tidak peduli. "That’s your biggest mistake." Tanpa peringatan, ia menendang pria itu dengan keras hingga tubuhnya terhempas ke dinding. Pria itu mengerang kesakitan, tetapi Grayson tidak memberinya kesempatan untuk melarikan diri. Dengan satu gerakan cepat, ia meraih kerah pria itu dan menekan pistolnya ke pelipisnya. "Who sent you?" suaranya begitu dingin, hampir tanpa emosi. "L-Liam! Itu Liam! Dia yang menyuruh kami menangkap Nona Exelina!" pria itu mengaku tanpa perlawanan. Tatapan Grayson semakin gelap. Rahangnya mengeras, amarahnya mendidih. "Liam wants a war? Fine. I'll give him a war he won't survive." Tanpa ragu, ia menarik pelatuknya. DOR! Pria itu jatuh ke lantai, tak bernyawa. Exelina yang menyaksikan semua itu terdiam, tubuhnya masih sedikit gemetar. Ia tahu Grayson adalah pria berbahaya, tetapi melihatnya menembak seseorang tanpa berkedip adalah hal yang berbeda. Grayson berbalik, menatap Exelina yang masih syok. Ia segera mendekatinya, meraih wajahnya dengan kedua tangannya. "Are you hurt?" suaranya lebih lembut sekarang, penuh kekhawatiran. Exelina menelan ludah, lalu menggeleng pelan. "Aku baik-baik saja..." Namun, sebelum ia bisa berkata lebih banyak, Grayson menariknya ke dalam pelukan erat. "I won’t let anyone take you away from me. Ever." Exelina bisa merasakan betapa seriusnya janji itu. --- Liam di Ambang Kehancuran Di tempat lain, Liam menerima telepon dengan ekspresi muram. "Semua orang mati?" tanyanya, suaranya penuh dengan kemarahan yang ditahan. "Ya, Tuan. Grayson membunuh mereka semua." Liam mengepalkan tinjunya, matanya menyala penuh kebencian. "That bastard... He wants a war? I'll burn everything he owns." Liam kemudian menekan tombol di ponselnya, menghubungi seseorang. "Aktifkan rencana kedua. Aku ingin Grayson hancur. Aku ingin dia kehilangan segalanya." Suara di ujung telepon menjawab dengan dingin. "Consider it done." Liam menyeringai. Jika Grayson ingin bermain kasar, maka ia akan memastikan pria itu tidak akan pernah bisa berdiri lagi. Perang baru saja dimulai. --- TO BE CONTINUED…
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD