Two-Hours Cinderella

1186 Words
“Iya, kak Sam. Gue titip motor bentar, ya? Mungkin nanti sore udah balik.” Risma mengirim voice note pada Samuel. Kalau kalian lupa, ia menitipkan motornya di garasi coffee shop milik pria itu—sebelum pergi bersama Chris. Sekarang pukul sebelas siang, Risma duduk di jok penumpang yang dikendarai bosnya. Sepuluh menit lalu Risma menyetujui ajakan pria berwajah Chinese itu untuk pergi ke restoran yang berlokasi di Bandung. Chris mau dirinya ikut untuk melihat secara langsung; cara seorang chief sepertinya menangani urgent perusahaan. “Ibaratnya kalau kamu nonton live-action, pasti lebih paham kan, menjelaskan masalahnya ke orang-orang?” ucap Chris. “Maksudnya, kalau kamu lihat langsung gimana kerja saya di lapangan, akan lebih mudah menulis di makalahmu. Kamu nggak harus bertumpu ke teori dan wawancara saya, karena kamu lihat ‘live-action’ nya kerja perusahaan.” Risma mengangguk, tersenyum. Sebenarnya ada setitik resah ketika ia menyetujui ajakan lelaki ini. Namun di sisi lain, tawaran ini tak mungkin datang dua kali. Melihat Chris bekerja dengan anak buahnya bisa menjadi bahan bagus yang ia tulis di tugasnya nanti. Usai satu jam perjalanan, Chris menepikan Audi hitamnya ke rest area dan memesan dua porsi makanan. Mereka duduk di kursi kosong sambil berbincang kecil. Matahari sudah mulai naik, banyak kendaraan bermobil yang turut berhenti di lokasi itu. “Pak Chris nggak mau tidur dulu? Nanti saya bangunin.” Risma berceletuk. Makanan mereka tiba. “Biasanya kalau di rest area saya makan aja, sih. Nggak tidur.” “Bapak udah terbiasa perjalanan jauh?” Chris memandang gadis itu. “Kenapa? Kamu khawatir, hm?” sudut bibirnya terangkat. “Well, sebagian besar kecelakaan lalu lintas disebabkan oleh pengemudi ngantuk.” “Saya nggak ngantuk, Fa. Tenang aja.” Risma mengernyit. “Fa?” “Farisma, right?” Chris mengulas senyum tipis. Harus Risma akui kalau panggilan itu sedikit asing. “Bagaimana saya bisa ngantuk kalo ditemani kamu di sepanjang perjalanan? I’m wide awake.” Gadis itu menyebik, meski diam-diam hatinya meletup. “Klise, Pak Chris.” “Udah, cepetan dimakan. Perjalanan kita masih panjang.” “Okay, alright, sir.” Sir? Pria itu mengangkat alis. Kedua mata sipitnya menatap intens sebelum tersenyum simpul. Mereka terdiam sibuk dengan hidangan siang. Risma tak tahu apa arti senyum itu, namun Chris tampak aneh dengan tatapan intens serta kuluman bibirnya barusan. Apa hari ini eyeliner-nya panjang sebelah? Atau alisnya-kah yang miring? “Pak Chris?” Pria itu nampak tersadar. “Hm?” “Anda baik?” “Yeah, I’m fine.” jawabnya singkat. “Kamu tahu, panggilan sir itu mengingatkan saya pada sesuatu.” “Sesuatu apa?” Something inappropriate. Sesuatu tentang panggilan submisif ke dominannya di film erotis yang saya tonton. Chris tak mungkin mengatakan itu. Kepalanya menggeleng, mengucap “nothing” lalu menatap Risma dengan pandangan suspicious. ia tak bisa menahan senyum dengan panggilan ‘Sir’ yang terus terputar di otaknya. Kata itu seolah mengartikan kepatuhan wanita terhadap seorang pria. Dan Chris menyukainya. Tak bisa dipungkiri bahwa sisi liar Chris muncul usai mendengar ucapan dari mulut gadis itu. Mereka melanjutkan makan siang dengan suara kecapan beradu. Sesekali Chris akan mengecek ponselnya dan berkomunikasi dengan Januar. Tak terlalu sering, namun cukup mengganggu. Risma menginterupsi, “Pak Chris harus banget ngurus kerjaan pas makan siang?” Kenapa? “Ya nggak apa-apa, sih. Saya tahu bapak sedang selalu sibuk. Tapi,” Risma menjeda. “Bukannya lebih baik kalau diurus di sana? Takutnya nanti justru mengganggu konsen bapak pas nanti nyetir.” Diam-diam Chris mengiyakan ucapan gadis itu. “Apa nggak sebaiknya fokus dulu sama apa yang ada di depan Bapak?” “Fokus ke kamu?” Risma tersenyum samar. “Makan siang anda, Pak Chris. Makan dulu.” Aduh, lama-lama saya suapin juga si Bapak. *** Risma tak tahu bahwa restoran milik Chris tak kalah megah dengan perusahaannya. Tempat makan dengan konsep outdoor ini dibangun di lokasi yang anti-mainstream; yakni area sebelah bukit yang mempertontonkan hamparan hijau seluas lapangan golf. Perabot di sana lebih banyak memanfaatkan kayu mahoni dengan bentuk yang unik. Ada juga perapian kecil yang terisi kayu bakar. Udara yang cukup dingin menambah kesan live in nature yang membuat siapapun betah di sana. View yang amat indah ini tak mampu membuat Risma sedetikpun melepas pandangan, meski ia harus. Gadis itu mengikuti Chris menuju dapur restoran untuk melihat urgent yang sejak tadi mengganggu. Ia lihat beberapa koki yang berbincang serius dengan bosnya, serta lelaki muda berkemeja putih yang ia duga sebagai Januar—Chris pernah bilang. Mereka terlibat dalam perbincangan khusyuk hingga tak menyadari eksistensinya. Pria keturunan Tionghoa itu mengusap wajahnya kasar, beberapa helaan berat keluar dari mulutnya. Wajah itu terlihat tegang memerah—dan sedikit menyeramkan, karena jujur, baru pertama kali Risma lihat sisi Chris yang seperti ini. “Ya udah, bilang sama yang ngurus kontrol belanja, cari supplier yang lain.” Christian mengakhiri perdebatannya. Rapat darurat itu bubar. Beberapa koki kembali ke posisinya. “Everything okay, Pak Chris?” ucap Risma sambil mendekati bosnya. “Ya.” sangat singkat. “Pak Ian, tolong bawakan kopi sama croffle buat anak ini!” Usai memerintah seorang koki, Chris memberi komando pada Risma untuk duduk di kursi pengunjung. Gadis itu hanya menurut karena wajah Chris tampak benar-benar kacau sekarang. Memainkan ponsel menjadi opsi terakhir Risma sambil menikmati view di depan. Sekelilingnya kosong. Entah karena belum buka atau sudah di-book, ia tidak tahu. “Silakan, nona.” Risma tersenyum melihat hidangannya. “Terimakasih.” sambil mengatur posisi kopi. “Sebentar!” Pramusaji itu menoleh. “Iya? Anda perlu sesuatu, nona?” “Mm, maaf. Tapi kalau boleh tahu, di dapur ada apa, ya, kak? Pak Chris dan yang lain kok kelihatannya tegang sekali.” “Anda kekasih pak Chris?” Hum? Risma tak tau ingin menjawab apa. Ia gelagapan. “Um, anu…” “Maaf kami tidak bisa memberikan informasi restoran jika anda—” “Iya!” gadis itu menyela. “Anda tadi lihat? Saya d-datang…, bersama Pak Chris. Ya, kami pasangan.” Maafkan saya, Pak. But I really need to know. Kemudian, pramusaji itu pun menjelaskan tanpa curiga. Sebuah masalah yang sedang dihadapi para petinggi restoran ini cukup pelik, hingga membuat Risma pun ikut prihatin. Jadi sebenarnya, restoran ini sudah direservasi oleh seseorang yang akan menggelar pesta malam nanti. Pesta sederhana untuk dua puluh orang—dengan menu jamuan yang ‘cukup’ luxury karena bahan yang dibutuhkan cukup langka, tak dijual di swalayan biasa. Namun hingga siang ini, bahan makanan belum juga datang. Supplier sama sekali tak bisa dihubungi sementara mereka telah membayar uang muka. Karena lokasi restoran yang terpinggir, sulit juga untuk menemukan penyedia bahan baku yang mau mengantar di waktu-waktu ini. Chris tengah berunding dengan Januar dan bagian purchasing di ruangannya. Entah keputusan apa yang keluar nanti, Risma hanya berharap pria itu tak menyesali dirinya sendiri. 17.20 “Kita pulang sekarang?” “Nggak, kita di sini sampai pestanya selesai.” Lho? “Yang reservasi teman saya, beliau mau ngerayain anniversary pernikahannya di tempat ini.” ucap Chris. “And I’m invited.” Pak Chris diundang? “Ya,” jawab pria itu sambil menatap Risma. “Dan kamu yang akan jadi kencan saya malam ini.” “Oh…” Oh?!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD