bc

Pelakor Istimewa

book_age18+
191
FOLLOW
1K
READ
revenge
love after marriage
forced
pregnant
playboy
arrogant
drama
sweet
bxg
first love
like
intro-logo
Blurb

"Aku ingin kamu berhenti menjadi model, agar kita bisa melakukan program hamil untukmu. Aku ingin segera memiliki anak, karena ibu sudah mendesak," pinta Elang, kepada Widya sang istri. 

"Aku tidak mau. Nanti tubuhku melar dan tidak cocok lagi menjadi model. Jika kamu buru-buru, aku akan mencarikanmu istri baru, bagaimana?" Kedua alis Widya terangkat. "Kalau tidak mau, bujuk ibumu atau ceraikan aku. Karena aku belum mau memiliki anak dalam waktu dekat."

"Terserah padamu." Kesal dengan jawaban Widya yang tak pernah berubah hingga enam tahun, membuat Elang muak juga. 

"Oke, aku pastikan minggu depan kamu sudah memiliki istri untuk mengandung anakmu, sayang!" pekik Widya sebelum Elang hilang dari pandangannya.

chap-preview
Free preview
Ceraikan Aku!
"Aku kecewa padamu, Widya!" Seorang pria melemparkan sebuah majalah kepada sang istri yang tengah merias wajah cantiknya. Elang Prakarsa, pria berusia tiga puluh lima tahun itu tampak tidak mampu meredam emosinya, setelah melihat wajah Widya, istrinya terpampang di majalah kecantikan. "Kecewa kenapa lagi, Lang?" keluh Widya. Menoleh sejenak kepada sang suami. "Seharusnya bukan kata itu yang keluar dari mulutmu. Kamu seharusnya bangga padaku, bukan malah mengumpat begini." "Bangga katamu?" Elang menunjuk majalah yang ada di meja rias. "Kamu minta aku bangga dengan semua ini? Tidak! Setelah kamu berjanji padaku akan melepaskan semua karir kamu dan fokus pada program kehamilan di anniversary pernikahan kita yang ke enam. Tapi, kamu malah menerima tawaran ini, padahal lusa adalah anniversary kita!" sergahnya. Dengan wajah memerah dan rahang mengeras. Ingin rasanya Elang melampiaskan kemarahannya lebih dari ini kepada Widya. Tapi, ia tetap menjaga kewarasan demi keutuhan rumah tangga mereka. "Elang, dengar." Widya bangkit dari tempat duduknya. "Kontraknya cuma dua tahun. Dan menjadi brand ambassador produk ini, adalah kasta tertinggi di dunia permodelan. Ini juga sudah menjadi impianku sejak dulu. Bukankah kamu sudah berjanji akan mendukung segala mimpiku, Lang? Jadi ini adalah waktunya." Merapikan kembali penampilan Elang yang tampak acak-acakan. "Tapi kamu sudah berjanji padaku akan melepaskan ini semua di anniversary pernikahan kita yang ke enam. Dan kamu juga tahu, ibuku sudah menuntut anak dari kita." Elang memejamkan matanya. "Dan bukankah kamu juga tahu, ibuku tidak lagi muda, Widya." "Aku tahu itu. Dan aku rasa dua tahun masih cukup bagi mama untuk menunggu. Enam tahun rasanya berlalu dengan cepat. Tentunya dua tahun akan lebih mudah lagi." "Kamu …." "Elang, sudahlah. Aku tidak ingin lagi berdebat denganmu." Widya menutup mulut Elang dengan telapak tangannya. "Dua tahun saja, ya, sayang. Aku mohon." Mengusap lembut rahang tegas Elang. Membujuk pria yang selalu meloloskan segala keinginannya. Elang menghela nafas berat. Menepis tangan Widya yang tengah menari di rahangnya. "Aku tidak bisa memberi kepastian padamu!" Tanpa dapat dicegah, Elang melangkah pergi. Menutup pintu dengan kuat hingga terdengar suara dentuman yang tak kalah kuatnya. Widya hanya tersenyum melepaskan kepergian sang suami. Tidak ada sedikitpun keinginannya untuk menyusul langkah Elang. Ia malah meraih tas tangannya yang ada di meja rias dan memutuskan untuk berangkat bekerja. *** "Elang, apakah ini benar?" sergah seorang wanita paruh baya, yang baru saja datang, mengangkat sebuah majalah di tangannya. Tanpa ada kata pembuka, ia langsung menghampiri Elang yang baru saja selesai menuruni anak tangga. Elang mengangguk. Wajah tampannya tampak lelah sekarang. "Widya mengambil kontrak dengan produk itu. Jadi …." "Itu artinya Mama harus menunggu lagi?" Potongnya cepat. "Berapa tahun lagi, Lang? Hah, berapa tahun lagi? Mama semakin tua dan kamu pun begitu. Kamu ingin, anakmu baru lahir tapi Mama sudah mati dan kamu pakai tongkat. Iya?" Memukul Elang dengan majalah tersebut. Sakit? Tidak sama sekali. Elang tidak merasakan apapun ketika majalah beberapa kali hinggap di tubuhnya. Namun, hatinya sangat sakit melihat sang ibu yang mulai terisak. Menangis, ketika mengetahui istri dari putra tunggalnya menunda kehamilan lagi. Lagi dan lagi. Setelah enam tahun menanti dengan penuh harapan dan impian untuk memiliki cucu, tapi semuanya sirna. Pupus demi ambisi Widya yang tidak pernah puas dengan karirnya. Padahal Elang sudah memiliki semua hal yang bisa menjamin kehidupan mereka hingga tujuh turunan sekalipun. "Dua tahun," tutur Elang lirih. Kalau boleh jujur dan boleh menjadi diri sendiri, Elang pun ingin menangis. Melampiaskan kekecewaan atas keputusan Widya yang diambil secara sepihak. Wanita enam puluh lima tahun itu pun menggeleng. "Itu sangat lama. Dan Mama tidak yakin sanggup menunggu. Seperti yang kamu tahu, Mama tidak lagi muda. Mama sudah sakit-sakitan, Lang. Jadi Mama mohon, bujuk istrimu untuk membatalkan kontrak itu. dan Mama yakin, sebagai seorang istri dia akan mengikuti apa yang kamu inginkan. Uang yang kamu miliki pasti lebih dari cukup untuk membayar penalti." Elang hanya mengangguk. Memaksakan senyumannya agar sang ibu tidak tahu jika ia hanya bisa menurut saja apa yang diinginkan Widya. Takut Widya meminta berpisah, maka mengikuti segala ambisi dan keinginan Widya adalah solusinya. "Kamu tidak perlu khawatir. Mama akan membantumu berbicara dengannya," sambung Meri, sebelum beranjak dan duduk di sofa. Melihat mobil Widya tidak ada di garasi, Ia yakin wanita itu belum pulang ke rumah. Tidak apa, menunggu satu atau dua jam itu lebih baik dibandingkan menunggu dua tahun lagi untuk memiliki cucu. Namun, kesabaran Meri sekali lagi diuji. Hingga pukul dua belas malam Widya tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Semakin kesal saja Meri dibuat menantunya itu. Kesal, Meri memutuskan untuk beristirahat di kamar tamu. Mungkin besok pagi saja mengajak Widya bicara, agar suasana hatinya sedikit membaik daripada hari ini. *** Tepat pukul dua dini hari, Widya yang baru saja pulang dari sesi pemotretan, mendengus kesal. Melihat mobil ibu mertuanya turut terparkir di garasi rumahnya. Ia sudah bisa menebak apa yang mengantarkan Meri jauh-jauh datang-datang ke rumahnya. "Ada Mama?" Alih-alih menyapa Elang yang duduk bersandar di ranjang. Pria itu duduk seraya memangku sebuah laptop, seraya menanti kepulangan Widya. Elang mengangkat wajahnya. "Kenapa sampai dini hari? Biasanya paling lama sampai tengah malam saja." "Ini produk kecantikan yang sangat terkenal. Jadi wajar lama karena begitu banyak persiapan yang harus dilakukan. Pemotretan juga begitu. Tidak bisa asal jadi." Sahut Widya acuh, seraya meletakkan tasnya di nakas. "Kamu belum jawab pertanyaan aku. Mama disini? Ngapain? Anak lagi?" "Sebagai seorang menantu tidak seharusnya kamu berbicara seperti itu." Elang mengakhiri pekerjaannya. Sadar perdebatan dengan Widya akan memakan waktu dan tenaga, ia harus fokus pada pembicaraan mereka saja. "Sebagai seorang mertua mama juga tidak layak memaksaku untuk memiliki anak. Karena aku memiliki mimpi yang ingin kugapai. Jadi aku mohon padamu, katakan kepada mama, aku tidak bisa hamil dalam waktu dekat." "Widya!" "Apa, Lang? Kamu kalau mau bahagiakan Ibumu silahkan, aku tidak apa. Asalkan tidak melibatkan aku." Suara Widya meninggi. Semua yang ia dapatkan, menghilangkan segala sikap baiknya terhadap Elang. Widya juga lupa siapa dirinya dan siapa Elang baginya. Sehingga ia layak menjaga keutuhan komitmen yang dimiliki. "Kalau bukan kamu, siapa lagi? Tidak mungkin aku bisa melahirkan anakku sendiri?" sanggah Elang, putus asa dengan segala keinginan Widya yang selalu saja bertentangan dengannya. Widya mengulas senyum. "Ide bagus, Lang." Mendekat dan memeluk Elang. "Kamu bisa punya anak dan tidak harus aku yang melahirkan." "Maksudmu?" "Aku akan mencarikanmu istri agar kamu bisa memiliki anak tanpa menungguku. Bagaimana?" Kedua alis Widya terangkat. "Kamu gila!" "Lebih gila mana aku atau ibumu yang selalu saja mendesak agar aku hamil, sedangkan aku belum siap!" sergah Widya tepat didepan wajah Elang. "Kalau kalian terus begini, lebih baik ceraikan aku saat ini juga, Lang!" "Kamu!" "Aku tidak peduli apa yang ingin kamu katakan. Kalau mau punya anak, silahkan. Aku akan carikan istri untukmu. Tapi kalau kamu tidak mau menikah lagi, sabar dan tunggu. Atau kamu ceraikan saja aku kalau rasanya aku gila dan tidak bisa nurut apa yang kamu katakan!" Hening. Elang mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Jawaban yang diberikan Widya jauh dari ekspektasinya selama ini.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
94.0K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.8K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.9K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.7K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook