Gadis Kampung

1844 Words
"Sesibuk itukah istrimu bekerja? Sampai-sampai tidak ada waktu untuk bertemu dengan Mama? Padahal Mama sudah dua hari disini," dengus Meri, meraih teh yang ada di hadapannya. Tidak tahu sudah berapa kali wanita itu mengomel kepada Elang, karena tidak mampu menyampaikan keinginannya kepada Widya. Sehingga Elang yang menjadi sasaran empuk untuk melampiaskan sakit hatinya. "Katanya dia dikejar waktu. Produk baru akan segera launching makanya dia dituntut untuk menyelesaikan pemotretan. Lagipula, nanti malam adalah acara anniversary kami. Jadi Widya harus menyesuaikan jadwal secara keseluruhan," terang Elang malas. Jujur saja ia tidak memiliki minat sedikitpun untuk membahas tentang Widya, yang masih saja keukeuh dengan keinginannya. Bahkan Widya sudah berkali-kali mengancam Elang ingin menggugat cerai jika terus mengungkit tentang anak. Daripada rumah tangganya hancur, mungkin saja Elang akan mengikuti keinginan Widya. Meskipun harus menanti dua tahun lagi dengan jadwal Widya yang semakin padat. Wanita itu pergi subuh, pulang dini hari. Widya pulang pun tidak lama. Hanya dua hingga tiga jam saja untuk sekedar menyapa Elang dan mempersiapkan segala kebutuhannya untuk ke kantor. Satu-satunya hal yang masih membuat Elang merasa dihargai sebagai seorang suami. Widya menyempatkan diri untuk mengurusnya, karena ia tahu Elang tidak suka diurus oleh asisten rumah tangga. Dan itu sudah ditetapkan Meri untuk Elang kecil dulu. Sebuah kebiasaan yang tidak bisa diubah hingga detik ini. "Itu artinya kamu masih mengizinkan Widya untuk bekerja?" Meri mengernyitkan dahinya. "Jujur kamu!" "Maaf, Ma. Aku tidak sanggup membicarakan ini dengan Widya. Dia tetap dengan keputusannya. Dan sangat terpaksa Mama menunggu dua tahun lagi." "Ck, sudah Mama duga. Kalau begini ceritanya, lebih baik kamu jangan anggap aku sebagai ibumu lagi. Bisa-bisanya lemah sama istri sendiri!" umpat Meri. Meletakkan gelas di tangannya dengan kasar. "Lebih baik ceraikan dia kalau tidak mau nurut sama kamu." "Ma …." "Aku sudah meminta cerai dari Elang. Tapi dia yang tidak mau ceraikan aku. Lagipula, aku tidak butuh suami yang suka banyak menuntut dan tidak paham dengan keinginanku. Mama juga, sebagai mertua tidak layak meminta ini itu kepadaku!" potong Widya sengit. Matanya membesar menatap Meri yang duduk di hadapan Elang. Sumpah demi apapun, Widya sangat panas saat ini. Mendengar ucapan Meri yang sangat menyudutkannya. "Widya, tidak baik berbicara seperti itu! Sudah berapa kali aku katakan, sampai kapanpun kita tidak akan pernah bercerai!" tepis Elang cepat. Takut Widya marah dan malah beralih membencinya, Elang membelanya. Mengabaikan keinginan sang ibu yang sangat ingin memiliki cucu. "Baguslah, itu artinya kamu sanggup menunggu dua tahun lagi." Widya menyeringai. Mengejek Meri yang duduk tidak jauh darinya. "Dan untuk Mama, kalau mau buru-buru, minta Elang menyetujui pilihan kedua." "Pilihan kedua? Pilihan apa?" Meri mengejar. Secercah harapan muncul saat Widya mengatakan ada pilihan kedua demi kehadiran cucunya. "Widya, jangan mengada-ada kamu Sampai kapanpun aku tidak akan pernah menerima wanita lain di dalam hidupku, meskipun hanya untuk melahirkan anakku?" Suara Elang mulai meninggi. Ini tidak benar, jika ibunya tahu ada tawaran menikah lagi bisa-bisa itu akan menjadi pilihan baru. "Terserah mau atau tidak. Aku cuma memberi saran!" tutur Widya acuh. Tanpa pamit, Ia segera beranjak pergi dan meninggalkan mertua dan suaminya. Tidak peduli itu sopan atau tidak. Terpenting saat ini baginya ia harus ke kamar. Bersih-bersih dan merias diri dengan sempurna. Beberapa jam lagi acara anniversary pernikahan dengan Elang akan dimulai. Akan ada banyak tamu yang akan datang dan Widya ingin tampil sangat sempurna. Sebagai seorang model terkenal, dengan bayaran tertinggi, sangat memalukan jika Widya tidak bisa bersinar di antara para tamu undangan. "Ma, jangan meminta yang tidak-tidak padaku!" Elang langsung memperingatkan sang ibu yang tampak tertarik dengan tawaran Widya. Meri yang tahu betapa Elang sangat mencintai dan memuja Widya, tidak akan mau bercerai meskipun sampai mati mereka berdua tidak akan pernah memiliki buah hati. Jadi, daripada pusing memikirkan bagaimana caranya meluluhkan hati Widya, lebih baik Meri setuju saja dengan usulannya. Hitung-hitung bisa melepaskan Elang dadi sosok Widya yang kian hari jauh berubah dan semakin acuh kepada Elang. "Bukan Mama yang meminta. Tapi Widya, itupun kalau kamu tidak ingin bercerai darinya. Mama tidak ingin kamu menunda untuk memiliki anak, dan dia tidak ingin sekarang. Jadi tidak ada salahnya kamu menikah lagi, Lang." "Tidak! Sampai matipun aku tidak akan menikah lagi apalagi bercerai dari Widya, Ma." "Terserah padamu. Mau pilih yang mana, yang jelas kamu harus memberikan Mama cucu, dengan atau tanpa Widya." "Mama sudah gila! Mana mungkin aku sembarangan dalam menentukan calon ibu untuk anakku. Ini tidak masuk akal!" "Tidak masuk akal, tapi inilah jalannya." Meri menepuk pelan lengan Elang. "Widya memberikan jalan keluar untukmu, itu artinya dia sudah menemukan calon istri untukmu, Lang. Percayalah!" "Kalian gila!" sergah Elang. Menyentak seluruh pekerja yang ada di rumah mewah tersebut. Ketika mendengar suara bariton Elang yang begitu nyaring, menggelegar. Termasuk seorang gadis yang kini mematung di dekat ruang keluarga. Ia terdiam, mendengar suara Elang yang begitu tinggi. Diiringi dengan suara dentuman pintu yang tertutup dengan kuat. "Yas, kamu ngapain disini? Ibu memintamu datang kesini untuk menolong agar pekerjaan disini bisa segera selesai. Eh, kamunya malah melamun disini. Itu jus untuk nyonya keburu tidak dingin karena kamu melamun," tegur seorang wanita paruh baya kepada sang putri, Yaselin. "I-ibu …." Yaselin tersentak. "Ini, aku mau ke kamar nyonya, Bu. Lagian, aku tidak melamun. Aku hanya terkejut mendengar laki-laki itu berteriak." Menunjuk Elang yang mulai menaiki anak tangga. "Hus, tidak boleh begitu, kamu. Itu tuan Elang. Suaminya nyonya Widya. Kamu lupa?" "Tuan Elang? Yang ketus itu, ya, Bu. Yang menertawakan aku ingin kuliah waktu itu?" Lastri mengangguk. "Tapi tuan bukannya menertawakan keinginan kamu, Yas. Tapi tekat kamu yang ingin kuliah dengan uang sendiri karena kamu menolak bantuan mereka. Dan seperti yang kamu lihat, sekian tahun berlalu nyatanya kamu belum kuliah satu semester pun. Iya, kan?" "Ibu benar," gumam Yaselin. Sungguh sangat memalukan jika hari ini Elang dan Widya tiba-tiba saja menanyakan tentang pendidikannya. Jangankan untuk kuliah, untuk makan saja susah karena gaji sang ibu sudah habis untuk biaya berobat sang ayah. Untuk makan sehari-hari Yaselin terpaksa bekerja keras di kampung agar adik dan ayahnya tidak kelaparan. Elang juga pernah mengejeknya karena memiliki mimpi yang begitu besar, tapi tak didukung oleh ekonomi yang mumpuni. Yaselin yang mengatakan kepada sang ibu ingin menjadi peneliti, sempat didengar Elang secara tidak sengaja. Alhasil, Yaselin ditertawakan Elang dan diejek habis-habisan. Elang juga mengatakan tidak menyukai gadis yang tak pandai mengukur bayang diri seperti dirinya. Ingin rasanya Yaselin menepis hinaan Elang hari itu, tapi ia yang sanggup karena semua ucapan Elang benar adanya. Jangankan untuk melanjutkan pendidikan, untuk makan saja susah. Dan demi uang, Yaselin kini berada di rumah Elang. Demi uang lebih, Lastri meminta Yaselin datang untuk membantu. Semua demi bonus lebih dari Widya. Daripada meminta tolong kepada teman sesama asisten rumah tangga, lebih baik Lastri meminta anaknya sendiri. Cukup dua hari saja Yaselin bekerja dan menitipkan sang ayah kepada adik-adiknya, ia sudah bisa mendapatkan bonus sebesar satu bulan gaji sang ibu. Ya, meskipun Yaselin harus terus bekerja tanpa jeda sama sekali demi acara anniversary Elang dan Widya. "Sudah, jangan lagi melamun. Lebih baik kamu ke atas dan segera bawa jus itu ke tempat nyonya Widya." Lastri menepuk lengan Yaselin agar segera beranjak pergi. Daripada diomeli Widya nantinya, lebih baik cepat pergi. "Ya, Bu." Yaselin segera beranjak menuju lantai atas untuk mengantarkan jus pesanan Widya. Dan ketika langkahnya mulai menaiki anak tangga, Yaselin bertemu dengan Meri yang ingin pergi menuju ke lantai atas pula. Meri yang sudah tua, membuat Yaselin iba dan hati kecilnya terketuk untuk menuntun Meri menuju lantai atas. Dengan satu tangannya Yaselin menjaga Meri agar tidak terjatuh. Tangan satunya lagi membawa nampan berisi jus pesanan Widya. "Kam siapa? Saya belum pernah melihatmu disini? Kamu bagian dari orang dekor acara?" tanya Meri, penasaran dengan sosok Yaselin. Rasanya ia ingat pernah bertemu, tapi rasanya lupa bertemu di mana. Seorang gadis yang sangat sederhana. Mudah senyum dan tulus membantu orang lain, meskipun belum mengenalnya. "Saya Yaselin, Nyonya besar. Saya putri sulungnya bi Lastri," jawab Yaselin dengan senyuman yang begitu tulus dan sopan. Hati Meri menghangat. Baru kali ini ia bertemu dengan gadis selembut dan sopan seperti Yaselin. Meskipun dari kalangan bawah, sepertinya Meri menilai Yaselin lebih baik daripada Widya. "Kamar itu," Meri menunjuk kamar Widya dan Elang yang ada di dekat tangga. "Kamu pasti ingin mengantarkan jus ini untuk Widya." Sambungnya. Masih berjalan beriringan dengan Yaselin meskipun mereka sudah sampai di lantai atas. "Nyonya besar pandai menebak," gurau Yaselin berbasa-basi agar keadaan tidak canggung. Jujur saja ia sedikit grogi berdekatan dengan Meri. "Bukan pandai menebak …" Kedua alis Meri terangkat. "Panggil saya, Yas, Nyonya besar." Seakan tahu apa yang ingin ditanyakan Meri, Yaselin segera menyebutkan nama panggilannya. "Oke, Yas. Aku bukannya pandai menebak, hanya di lantai ini tidak ada lagi orang lain selain Elang dan Widya karena mereka belum memiliki anak. Dan Elang tidak menyukai alpukat." "Nyonya besar benar-benar ibu dan mertua yang sangat perhatian." Yaselin menarik kedua sudut bibirnya. Tulus, memberikan pujian terhadap Meri. Di matanya Meri yang hafal dengan kesukaan anak dan menantunya, tentu saja sangat dekat dengan anak dan menantunya. "Aku berharap begitu," gumam Meri. Hanya bisa mengaminkan apa yang dikatakan Yaselin. Karena ia tahu di mata Widya dirinya adalah mertua yang sangat menyebalkan. *** "Ada apalagi Mama kesini? Bukankah aku sudah menyampaikan keputusanku kepada Mama?" ketus Widya ketika melihat Meri dan Yaselin beriringan masuk ke kamarnya. Saking kesalnya Widya, ia segera berpindah dari meja rias ke tepi ranjang. Melipat kedua tangannya di depan d**a, bibirnya mencebik tidak suka kepada Meri. "Mama datang untuk menyetujui keinginan kamu, Widya. Mama harap kamu sudah menemukan calon istri untuk Elang, agar dia bisa menikah. Kalau perlu secepatnya." Wajah Widya yang tadinya masam, kini tampak cerah. "Benarkah? Mama setuju?" "Ya, Mama setuju sekaligus bisa memastikan kalau Elang setuju pula dengan rencana ini. Jadi bagaimana, apakah kamu sudah memiliki calon istri untuk Elang?" Widya mengangguk cepat. "Tentu saja aku udah punya calonnya." Menggigit bibir bawahnya. Matanya melirik pintu kamar mandi, yang kini ditempati Elang. Otaknya segera berpikir, mencari siapa wanita yang cocok menjadi istri kontrak dan melahirkan anak untuk Elang. Jujur saja Widya belum memikirkan sejauh itu. Tapi, ia tidak mau Meri tahu karena takut mertuanya itu malah turun tangan untuk mencarikan calon istri Elang. Tidak ingin wanita itu jauh lebih baik darinya agar Elang tidak berpaling, maka dari itu Widya harus mencarinya sendiri. Wanita yang jauh di bawahnya, itu harus menjadi poin utama. "Siapa, Wid?" Meri melambaikan tangannya di depan Widya yang tengah melamun. "Eh, itu …" Widya gelagapan. "Itu, dia, Yaselin, ya dia!" Menunjuk Yaselin yang sedari tadi masih berdiri tidak jauh dari mereka. Widya dan Meri yang langsung adu mulut, tentunya membuat Yaselin tidak sanggup membuka suara. Tidak tahu harus meletakkan jus di mana karena seluruh meja terisi dengan gaun dan alat make up. Sehingga berdiri memegang nampan adalah jalan terbaik, sampai Widya dan Meri selesai berdebat. "Dia?" Meri menunjuk Yaselin yang berdiri kaku seperti patung. Wajahnya memucat ketika Meri dan Widya menunjuk ke arahnya. "Iya, dia, Ma. Cantikkan? Meskipun sedikit dekil, tapi tidak masalah aku rasa." Widya bangkit dan mendekati Yaselin. "Ini dia calon istri Elang yang sudah aku persiapkan. Makanya dia disini. Dia …" "A-apa? Dia? Gadis kampung ini?" sergah Elang yang baru saja keluar dari kamar mandi. "Menikah lagi saja aku tidak mau, apalagi menikahi gadis kampung itu. Aku tidak sudi!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD