Tiada Pilihan Lain

1189 Words
Lastri segera menyusul Yaselin ke kamarnya. Ketika ia melihat putri sulungnya itu berlari dari arah tangga. Dalam keadaan menangis dan wajah yang telah sembab karena air mata. Semua karena mulut tajam Elang yang dengan mudahnya mengatakan Yaselin sebagai wanita yang menjajakan tubuhnya demi sejumlah uang. Tanpa tahu bahwa ide gila untuk menjadikan Yaselin sebagai istri kedua Elang, keluar secara tidak sengaja dari bibir Widya. Bukannya dari sebuah kesepakatan apalagi penawaran dari Yaselin. Lagipula, Yaselin tidak akan pernah mau menjadi istri dari pria sombong dan angkuh seperti Elang. Ia tahu diri dengan posisi dan kedudukannya. Sehingga tidak ada sedikitpun terlintas di pikirannya untuk menjadi istri, apalagi hanya untuk melahirkan anak untuk Elang. "Kamu kenapa, Yas?" Lastri benar-benar khawatir sekarang. Ini kali kedua ia melihat Yaselin menangis sesenggukan. Nyaris sama seperti saat pertama kali mendengar sang ayah mengidap tumor otak. "Bu, aku mau pulang saja. Aku tidak butuh bonus itu, Bu. Lebih baik aku bekerja di sawah Pak Yanto daripada seperti ini. Biar sedikit, tapi pak Yanto tidak menuduh aku menjual diri!" Isak Yaselin. Menumpahkan segala sesak yang menghimpit di dadanya. Masih sangat segar di ingatannya bagaimana Elang mengacungkan jari telunjuk di depan wajahnya. Berteriak dan menekankan bahwasanya Elang tidak akan pernah mau menikah dengannya meskipun hanya dengan Yaselin ia baru bisa memiliki keturunan. "Apa maksudmu, Yas? Ibu tidak mengerti. Coba ceritakan secara perlahan, apa yang sebenarnya terjadi?" Lastri membawa Yaselin ke dalam pelukannya. "Ayo katakan pada Ibu." "Bu, aku berani bersumpah demi apapun. Aku tidak pernah meminta nyonya Widya untuk menjadikan aku sebagai istri bayaran agar tuan Elang bisa memiliki anak. Sumpah, Bu. Aku tidak pernah meminta itu semua!" "Istri bayaran? A-anak? Apa maksudmu, Yas?" Lastri benar-benar bingung sekarang. "Aku dituduh tuan Elang membujuk nyonya Widya agar aku yang menjadi istri keduanya. Agar tuan Elang bisa memiliki anak, meskipun nyonya Widya belum siap untuk hamil." "Astaga, kenapa tuan Elang menuduhmu seperti itu? Darimana dia mendengar itu semua?" "Dariku," sela Widya yang ada di ambang pintu kamar Lastri. "Aku yang mengatakan Yaselin akan mengandung anaknya Elang." "Nyonya?" Ulang Lastri, tidak percaya dengan apa yang diucapkan Widya. Dengan entengnya wanita itu mengatakan Yaselin akan melahirkan anaknya Elang. "Ya, saya ingin Yaselin menikah dengan Elang. Setuju atau tidak, aku ingin itu terjadi dan dalam waktu kurang dari dua tahun Yaselin harus melahirkan anaknya Elang?" "A-apa? Nyonya, ingin menyewa rahim anak saya?" Widya menggeleng. "Kalau menyewa saya harus melakukan proses bayi tabung. Itu akan memakan banyak waktu dan biaya. Daripada waktu dan uang saya terbuang untuk diberikan kepada rumah sakit. Lebih baik digunakan untuk operasi pengangkatan tumor ayahnya Yaselin. Bagaimana?" "Maksud, nyonya?" "Saya akan membiayai pengobatan ayahnya Yaselin sampai sembuh. Memberinya sejumlah uang dan menjamin pendidikan adik-adiknya. Asalkan dia mau menikah dengan Elang dan melahirkan anak untuk kami." Widya menghela nafas panjang. "Bukan hanya itu, selama Yaselin menjadi istri Elang, saya akan mencarikan rumah untuk adik dan ayahnya tinggal. Agar tak perlu bolak-balik ke sini untuk menjalani pengobatan. Bagaimana?" Lastri meneguk ludahnya. Membayangkan begitu banyak kemudahan yang akan didapatkan jika Yaselin benar-benar menikah dengan Elang. Jika itu terjadi, Lastri tidak perlu lagi mendengar jerit tangis anak-anaknya yang mengabarkan kondisi ayah mereka yang memburuk. Tidak perlu pusing ketika pembayaran SPP tiba. Terakhir, Yaselin tidak perlu lagi menanam padi di sawah atau memanen kopi di ladang orang hanya sekedar untuk mendapatkan sesuap nasi. "Saya akan bicarakan ini dengan Yaselin, Nyonya," ucap Lastri, setelah sekian detik melamun. Membuat Yaselin ternganga, tidak percaya dengan ucapan sang ibu. Bisa-bisanya sang ibu memberikan jawaban lebih mengarah ke menerima tawaran Widya. Memang tawaran itu sangat menggiurkan. Tapi, tidak baik untuk kesehatan batin dan fisiknya. Baru saja mendengar dirinya akan menjadi istri bayaran, Elang sudah memaki dan merendahkan Yaselin. Seakan Yaselin adalah kuman yang sangat menjijikkan. "Baik, saya akan berikan waktu sampai besok pagi. Kalau Yaselin menolak, silahkan kalian semua angkat kaki dari sini!" dengus Widya. Meninggalkan sebuah ancaman untuk Yaselin yang jelas-jelas tidak menerima tawaran darinya. Yaselin tergugu. Niatnya untuk menolak dan mencari jalan keluar lain sudah ditutup rapat oleh Widya. Selain menawarkan banyak keuntungan, Widya juga menekan dengan pemecatan. Kalau sudah begitu bagaimana lagi caranya untuk mengelak karena mencari pekerjaan merupakan hal yang paling sulit saat ini. Terlebih lagi bekerja dengan Widya bisa mendapatkan gaji lebih dibandingkan asisten rumah tangga di tempat lain. "Bu, aku …." "Kamu dengar, Yas? Tidak ada lagi celah bagimu untuk menolak. Karena Ibu pun akan kehilangan pekerjaan," potong Lastri cepat. Sebelum Yaselin menolak segala keinginan Widya. "Bu, aku mohon. Jangan minta aku untuk terima ini semua." Yaselin memohon. "Aku akan lakukan apapun untuk mendapatkan uang. Tapi, menikah dengan tuan Elang. Aku tidak akan sanggup." Mengatupkan tangannya di depan d**a. Berharap sang ibu mau mengabulkan permohonannya. Mau mengerti bahwasanya Elang bukanlah pria yang cocok menjadi suami gadis miskin seperti dirinya. Meskipun hanya sebatas istri bayaran. Alih-alih mendengarkan permohonan Yaselin, Lastri justru bersimpuh di depannya. Bersujud di kaki Yaselin dan berucap, "Ibu mohon padamu, Yas. Tidak akan sulit bagimu untuk menjadi istri tuan Elang. Cukup sampai kamu hamil dan melahirkan anaknya. Setelah itu kamu dan dia bisa bercerai dan hidupmu bisa kembali seperti sediakala. Apakah itu sulit? Berkorban sedikit demi ayah dan adik-adikmu?" Yaselin terperanjat. Tiba-tiba saja sang ibu melakukan hal yang kelewat batas padanya. Tidak seharusnya seorang Ibu memohon dengan melakukan itu semua. Namun, semua yang dilakukan Lastri belum mampu meluluhkan hati Yaselin karena ia berpikir jauh ke depan. Memikirkan bagaimana nasibnya setelah menjadi istri Elang dan apa kabarnya jika sudah bercerai suatu saat nanti. Sebagai seorang wanita tentu saja dirinya yang akan dirugikan, terlebih lagi harus menyandang status janda dan terpisah dari darah dagingnya sendiri. Oleh karena itu, hanya gelengan yang diberikan Yaselin untuk menjawab pertanyaan sang ibu. Tidak, dan itu akan tetap menjadi keputusannya. Lastri menghapus air matanya dengan kasar. "Benarkah itu keputusan yang akan kamu buat?" Meskipun air mata sudah membasahi pipinya dan dadanya terasa sakit melihat sang ibu menangis, tapi tetap saja Yaselin mengangguk. Membenarkan pertanyaan sang ibu. "Kalau begitu, ini adalah kali terakhir kamu bertemu dengan ibumu ini." Lastri meraih gelas air minum yang ada di nakas. Memecahkannya dan siap memotong urat nadinya dengan pecahan gelas tersebut. "Ini yang kamu mau, Yas?" Yaselin menggeleng. Memeluk sang ibu dengan kuat. "Tidak, Bu. Tidak, aku nggak mau ini," lirihnya. "Kalau tidak mau Ibu mati, terimalah tawaran nyonya Widya. Agar ibumu ini tak perlu lagi capek-capek mencari uang untuk biaya berobat ayahmu." "Bu …." "Kamu pikir Ibu tidak lelah dengan ini semua, Yas? Bekerja keras banting tulang menjadi pembantu, hanya demi menghapus tangis kesakitan dari ayahmu." "Ta-tapi, Bu. Aku dan tuan Elang tidak …." "Terima atau tidak. Itu yang Ibu ingin tahu." Membuang pecahan kaca dan menangkup kedua pipi Yaselin. "Sekarang jawab, kamu sayang kan sama Ibu dan ayah?" Yaselin mengangguk pelan. Di tengah tangisannya yang tak sanggup lagi dibendung. "Kalau begitu menikahlah dengan tuan Elang!" Begitu pilu dan sakit. Tapi, akhirnya Yaselin tetap mengangguk. Menyetujui keinginan sang ibu untuk menikah dengan Elang. Bagaimana nasibnya setelah ini, Yaselin tidak memiliki bayangan sama sekali. Karena yang terlintas di pikirannya hanyalah wajah Elang yang memerah, menatap penuh kebencian padanya. "Ya, Tuhan … berikan aku keajaiban agar bisa lepas dari ini semua. Dan jika memang aku ditakdirkan untuk menikah dengannya, berilah aku kekuatan untuk menjalani ini semua."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD