|| Chapter-07 ||

1125 Words
Mikhael mengangguk, dan menjalankan mobilnya ke gedung empat lima. Disana memang ada satu kios kecil pinggiran jalan yang cukup ramai. Walaupun Mikhael tidak pernah jajan sampai disana. Saat dia melewati kios itu, memang sih terlihat sangat ramai. Bannernya juga besar dan gambarnya cukup jelas. Jika yang dijual bukan hanya nasi bebek, melainkan seafood juga ada sana. Tiffany memesan lima bungkus nasi bebek, dan juga satu bungkus udang asam manis. Sambil menunggu perempuan itu membuka ponselnya, dan membuka akun sosial milik Bara. Sampai saat ini tidak ada postingan apapun tentang laki-laki itu, jika dia akan pulang. Dan sekarang Tiffany berpikir jika pesan itu pasti pesan hoax yang Bara kirimnya untuk Tiffany agar perempuan itu merasa senang saja. Hidup dalam harapan palsu itu tidak enak. Siapapun tidak akan ada yang mau kecuali Tiffany. Karena dia buta dengan cintanya pada Bara. Dia menganggap apapun yang Bara katakan adalah sebuah ucapan tulus dalam hatinya. Dan sekarang Tiffany sadar, tidak semua ucapan itu benar adanya. Terkadang dia juga harus membuat satu orang merasa senang terlebih dahulu, sebelum menyakitinya. Menyembunyikan ponselnya di tas kecil miliknya. Tiffany tersenyum kecil saat Mikhael menyodorkan satu gelas air mineral pas Tiffany. "Diminum dulu, mungkin haus habis melamun." goda Mikhael. "Nggak ada hubungannya kali!!" Mikhael hanya tertawa melihat satu per satu orang yang masuk ke dalam kios ini. Ada yang berpasang-pasangan, ada juga yang satu keluarga dan ada juga yang sendirian. Lebih anehnya lagi, Mikhael malah melihat satu laki-laki menggunakan hoodie hitam. Dia jadi teringat laki-laki di cafe waktu itu, yang memecahkan satu gelas dan juga menjatuhkan kursi duduknya. Wajahnya tidak begitu jelas, bahkan nyaris tertutup semuanya. Dan sekarang Mikhael harus bertemu kembali dengan laki-laki itu. "Mana sih?" ucap Tiffany berbisik. Mikhael menunjuk laki-laki itu dengan dagunya. Jika dia duduk tepat di belakang Tiffany, berjarak satu meja. Langsung saja Tiffany menolehkan kepalanya menatap laki-laki itu dan mengangguk kecil. Ternyata benar, secara apa yang dia pakai sama seperti yang ada di cafe. "Neng Tiffany, ini nasi bebeknya sudah jadi." kata penjual nasi bebek. Mang Somad. Tiffany mengangguk dan membayar tagihan makanannya. "Mang, Bara nggak pernah kesini ya?" Mang Somad mengerutkan keningnya dalam dan menatap Tiffany heran. "Lah Neng, kan den Bara ke Amerika belum pulang. Mana mungkin den Bara ada disini?" Tiffany tersenyum kecil, itu tandanya pesan itu hanya pemanis seperti biasanya. Tidak mau terlalu lama, Tiffany langsung membayar nasi bebeknya dan pergi. Lagian kasihan Leon jika harus menunggu Tiffany lama-lama. Apalagi tadi Leon juga bilang, jika dia sudah lapar. "Tif tunggu sebentar disini ya. Aku mau ke toilet dulu." kata Mikhael saat melihat toilet umum di seberang jalan Perempuan itu mengangguk patuh. Dia memilih jam satu kursi milik Mang Somad untuk menunggu Mikhael kembali. Tapi, belum juga p****t seksinya mendarat dengan mulus di kursi plastik berwarna biru itu. Sebuah tangan langsung menarik tangan Tiffany dengan kasar. Dan menyeret Tiffany begitu saja, layaknya kambing yang ingin dikurbankan tapi tidak mau. "Lepasin atau aku teriak!!" ancam Tiffany. Laki-laki itu langsung menghentikan langkahku. Bukan karena takut dia teriak, atau mungkin terus saja meronta dalam genggaman tangannya. Tapi lebih tepatnya, laki-laki itu tidak suka melihat Tiffany bersama dengan laki-laki lain selain dirinya. "Lepasin aku!!" kata Tiffany kembali. "Lagian kamu itu siapa sih. Main tarik anak orang aja. Kamu pikir aku hewan apa!! Lepasin nggak!!" ucapnya. Laki-laki itu melepaskan genggaman tangannya, dan membalik badannya menghadap Tiffany. Membuka hoodie jaketnya dan menurunkan kan maskernya. Tak lupa juga kacamata putih yang bertengger di hidung mancungnya. Tidak ada sepatah katapun yang laki-laki itu ucapkan. Apalagi Tiffany yang langsung melongo melihat apa yang ada di depan matanya nasi bebeknya bahkan sampai terjatuh di samping kakinya, sangking kaget dan tidak percayanya. "Bara…," panggilnya lirih. **** Mengurung diri dalam kamar setelah bertemu dengan Bara, adalah hal bodoh yang dilakukan oleh Tiffany. Seharusnya perempuan itu senang melihat Bara kembali pulang dan menemuinya. Tapi yang ada hal itu bahkan mampu membuat Tiffany berpikir dua kali. Jarak antara Ibukota dan juga Amerika itu memiliki jarak empat belas ribu sembilan ratus lima puluh dua kilometer. Dan memakan waktu sekitar dua puluh lima jam empat puluh lima menit. Dengan transit selama tiga jam lima menit. Dan nyatanya sekarang Bara malah sudah berada di hadapannya, setelah memberi kabar jika Bara akan pulang. Itu tandanya hitungan jam Tiffany dan juga jam yang seharusnya tidak sesuai. "Berarti dia sudah pulang duluan kan?" gumam Tiffany pelan, sambil mengetuk pen di dagunya. Tiffany terus saja berpikir bagaimana cara Bara pulang dengan cepat. Padahal Tiffany sudah menyiapkan sesuatu pada Bara nanti, saat dia menjemput Bara di bandara. Lah, tapi sekarang laki-laki itu malah sudah berada di Ibukota. Sedang asyik memikirkan jarak dan waktu antara Bara pulang. Perempuan itu mendengar sesuatu mengetuk pintu balkon kamarnya. Tiffany segera bangkit dari duduknya dan membuka gorden jendela kamarnya. Jika itu setan yang ada Tiffany akan mengajaknya minum kopi. Tapi jika manusia jelas saja, Tiffany akan langsung berteriak kencang membangunkan Leon dan juga supirnya. Tapi yang ada Tiffany lebih sibuk meneliti penampilan orang dibalik pintu kacanya. Semua serba hitam, sampai dia juga lupa jika kaca pintu balkon ini juga warnanya hitam. Hingga akhirnya Tiffany menatap orang itu mengangkat jari kelingkingnya, dan menggoyangkan ke kanan ke kiri sebanyak dua kali. Hanya ada satu orang yang tahu tanda itu, dan orang itu pasti... “Bara..,” “Lama banget sih bukanya, nggak tau apa udaranya dingin banget.” omelnya. Tiffany menatap jam dinding kamarnya yang menunjukkan jam dua belas malam. Tentu saja hawanya dingin, ini sudah tengah malam, tidak menggunakan pendingin ruangan saja dingin apalagi di luar rumah. "Kamu juga datangnya bukan jam bertamu." Bara meliriknya sinis dia pun langsung menutup pintu balkon ini dan menatap Tiffany sengit. Tadi setelah Tiffany tahu jika Bara sudah kembali, bukannya dipeluk Tiffany malah pergi begitu saja dari hadapan Bara. Seolah Bara adalah hantu yang harus dimusnahkan di muka bumi ini. "Tadi kenapa pergi?" tanyanya. "Kenapa? Nggak boleh?" Tentu saja tidak boleh, lagian siapa juga yang mengizinkan Tiffany pergi setelah Bara kembali? Perempuan itu langsung menundukkan kepalanya sedih. Tidak ada yang menyuruh Tiffany pergi setelah Bara kembali. Tapi kan Tiffany juga bingung dengan hitungan jarak dan juga waktu yang tertera di google. Dimana jarak dan waktunya berbanding seratus delapan puluh derajat bagi Tiffany. Mendengar hal itu Bara pun tersenyum kecil sambil mengacak rambut Tiffany. "Pacar tambah pinter ya." kekeh nya. Tiffany cemberut dan langsung menepis tangan Bara. "Masih nganggep aku pacar, setelah banyak skandal sama perempuan lain? Aku pikir semuanya sudah berakhir setelah kamu pergi." Laki-laki itu menggeleng tidak ada yang berakhir setelah Bara pergi. Kemanapun Bara pergi, tidak akan ada yang bisa menggantikan Tiffany dalam hidup Bara saat ini. Perempuan yang menemani Bara sebelum dia terkenal sampai seperti ini adalah Tiffany. Mana mungkin dia meninggalkan perempuan yang sangat berarti bagi Bara. "Nggak ada yang berakhir sampai saat ini. Sekarang dan selamanya, kita akan terus bersama." To Be Continued
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD