bc

BIG BOSS ( Indonesia)

book_age16+
4.5K
FOLLOW
18.7K
READ
family
scandal
billionairess
sweet
bxb
humorous
office/work place
rejected
secrets
like
intro-logo
Blurb

Sebagian kacung jodohnya boss dong. _ Andini Sahara

Di tinggal menikah oleh kekasih, benar - benar membuat Andini frustasi tingkat dewa. Sialnya lagi, bos di kantor super sengak, berlagak dan tinggi hati.

Dampratan demi dampratan sering Andini telan sampai akhirnya berakhir dipelaminan.

Loh, kok bisa?

Ya bisa, namanya juga bos.

chap-preview
Free preview
Bos Kampret
Aku mengikat rambut secara asal, pagi ini terlambat ngantor sebab ulah sang mantan yang belum sampai 24 jam, yeah, Bagas Alvino. Kekasih selama delapan tahun telah resmi mengakhiri hubungan tadi malam selepas menonton di bioskop, mengambil tema horor walhasil kisah percintaan kami pun berakhir mengenaskan dan lebih menakutkan. Selama diperjalanan pulang dari bioskop tadi malam,aku hanya sibuk menghapus air mata. Berharap simpati Bagas untuk menarik ucapannya di parkiran, katanya Bagas paling tidak suka melihat perempuan menangis, akan dihantui perasaan bersalah tapi apa yang sudah ia lakukan padaku? Duh, aku terkena bulshitnya lelaki. " An, jangan nangis dong." Bagas memelas." Aku minta putus baik – baik ke kamu, kita tidak bertengkar hebat nyampe maki – makian gitu. Aku nggak ngebiarin kamu pulang jalan kaki, aku bakal antar kok nyampe kost." Semakin sesegukan, aku mengambil tissue di atas dasboar mobil. Menatap Bagas tidak mengerti,seperti asing saja dengan kalimat ' putus' yang baru saja Bagas lontarkan. " Kita udah sama –sama dewasa An, semakin kesini aku ngerasa hubungan kita itu salah." Bagas mulai mengeluarkan omong kosongnya." Bahkan terlalu baik untuk aku." " Salah? Selama delapan tahun kamu mabok kalau lagi bareng aku?" aku menunduk lemah. " Enggak begitu An, maksudnya tuh gini. Kamu tahu sendiri aku lagi dapet promosi di kantor, aku hanya ingin fokus untuk karir masa depan. Jabatan yang sekarang ditawarkan memang yang sedang aku incar selama ini." Aku menoleh ke sebelah, menatap Bagas begitu sinis." Itu enggak ada hubungannya dengan apa yang sedang kita jalani Gas, pekerjaan ya tanggung jawab kamu pada diri sendiri tapi hubungan kita, itu hak aku juga untuk nggak ikut keputusan kamu yang sepihak. Kenapa baru sekarang kamu masalahin semuanya? Sebelumnya fine aja kan, dari kamu masih staff biasa lalu naik ke Branch Manager dan yang sedang kamu kejar sebagai Direktur. Apa aku menghambat keinginan kamu, enggak Gas." Bagas mengangguk." Karena dari itu An, aku nggak mau berhutang budi ke kamu lagi." Kata – katanya lebih dari cukup untuk aku jelaskan di sini, terlalu sampah dan nggak bermutu. Semalaman, menghabisi berkotak – kotak tissue. Menangisi kesialan nasib diusia 28 tahun dekat kamar kost yang sempit. Aku ingin meratapi nasib hingga ke jalanan, bagaimana tidak. Selama 8 tahun menjalin hubungan dengan sosok yang dicintai harus kandas ditengah jalan tanpa alasan yang tidak bisa aku mengerti satu pun. Sedikitpun, penjelasan Bagas seperti sampah. Tidak berguna sama sekali, lelaki sialan itu berkali – kali mengatakan aku terlalu baik. Ingin rasanya aku meremas bibir Bagas lalu dibuang sejauh mungkin, biar saja berdarah. Hati aku saja sudah hancur tidak dipedulikan. Bahkan pagi ini tidak ada kekuatan apa pun, rasanya seluruh tubuh sudah lemah lebih dulu. Hatiku patah berkeping – keping dan sulit tersusun rapi seperti sediakala. Andini Sahara, karyawan swasta disalah satu perusahaan asing sebagai staff divisi PERENCANAAN, divisi paling diidam – idamkan banyak orang pada perusahaan aku tempat bekerja. Memang, selain dikenal cekatan aku adalah tipe orang yang supel, mudah beradaptasi dan tidak banyak menuntut. Itu dulu saat pimpinan lama, semenjak dibawahi oleh Arkan Putra. Setiap hari aku hanya sibuk mengeluh, bukannya tidak bersyukur bekerja di tempat enak. Alasan yang pertama, bos – besar adalah tipe makhluk hidup paling menyebalkan sepanjang 28 tahun bernapas di dunia ini. Selain banyak minta, Arkan lebih banyak mengatur para kacung seperti aku, agar menjunjung tinggi kepercayaan ' lembur' itu wajib setiap minggu. Kedua, aku lah orang yang sering didamprat habis – habisan oleh Arkan, setiap mengadakan rapat mingguan namanya tidak pernah absen menjadi sasaran kesalahan dari Arkan. Bayangkan saja, tiga bulan Arkan memimpin, selama itu juga aku menjadi bulanan kemarahan Arkan. Percuma tampan kalau ngomongnya jelek banget ke perempuan! " Pagi An, " sapa Mas Ardi padaku ketika tiba di kubikel." Tumben telat?" Aku bernapas lega, satu menit menyelamatkan absensi pagi ini." Pagi juga Mas, kena macet sepanjang Sudirman." " Loh, nggak bareng si Bagas?" tanya Mas Ardi sembari fokus pada handphone. " Nggak," jawabku singkat." Pusing gue tuh Mas." Aku mulai menghidupkan komputer, beraktivitas seperti biasa. " Kok pusing, Bagas abis naik jabatan jadi Direktur. Gajinya gede, ngapain mesti mikirin pemasukan lagi." Mas Ardi terkekeh, belum tahu kalau aku diputusin tadi malam di parkiran Mall." Udah, tenang aja, minta dinikahi cepat biar bisa goyang kaki di rumah." " Tahu darimana Mas si Bagas naik jabatan?" Aku menopang tangan di atas meja, menatap Mas Ardi di sebelah. " Temen – temen aku banyak di kantor sebelah, mereka yang cerita." Diletaknya handphone ke atas meja." Beruntung banget sih lo An, punya pasangan sepinter Bagas. Sudahlah ganteng, punya jabatan lagi. Di buruin, ntar doi digandeng yang lain, baru nyaho lo." Mas Ardi terus mengoceh padaku. " Apanya yang diburuin?" jawabku malas. " Nikahnya, lo gimana sih." " Putus gue Mas," akhirnya aku jujur." Tadi malem, alasannya mau fokus dikarir yang baru, diparkiran Mall mutusin gue. Sialan emang tuh orang." Hampir menangis, aku tarik tisu yang ada di dekat komputer. " Putus?" Mas Ardi melongo, sampai air liurnya jatuh mengenai kubikelku. " Ih, Mas Ardi jorok ah." Aku menghindar, melempar tisu pada lelaki yang berusia 38 tahun itu." Horor kan, delapan tahun pacaran gue putus di parkiran Mall." " Ada yang baru tuh An, lo nggak nanya siapa?" Aku menghela napas frustasi." Jangankan buat nanya, ngomong aja gue nggak bisa Mas saking syoknya. Bagas kesambet kayaknya, Mas ada kenalan Ustadz gitu nggak sih?" Mas Ardi refleks ketawa." Lo beneran diputusin?" " Katanya gue terlalu baik, nggak ngerti lagi deh. Aku baik gimana coba sampai diputusin. Please, tunjukin satu aja kebaikan gue yang buat Bagas milih putus?" Aku menjatuhkan kepala di atas meja. " Putus An?" pertanyaan dari Mbak Talita, baru kembali dari kantin kantor. Seperti biasa, sebelum kerja bagai kuda. Para kacung mempersiapkan diri untuk bertempur, selain menghadapi rumitnya jobdesk, ada omelan Arkan yang tak kunjung henti hingga jam kerja berakhir. " Iya Mbak." Aku mengangguk lemah tanpa menatap mbak Talita, usia kami hanya beda dua tahun. Mbak Talita seusia Arkan, di tim hanya aku yang paling muda. Sebenarnya bukan paling muda dalam hitungan usia, melainkan paling muda karena tidak kunjung menikah. Arkan membawahi tiga orang, ada Mas Ardi sebagai senior divisi, menjadi orang kepercayaan Arkan sebab kinerjanya selalu bagus dan semua usulannya sesuai yang Arkan inginkan. Dengar cerita, Mas Ardi kating Arkan saat kuliah di Melbourne lalu. Ada Mbak Talita, sudah Tiga tahun bergabung di bagian perencanaan ini, jarang didamprat Arkan, bisa jadi karena mereka seusia maka dari itu Arkan sedikit menghormati, padahal kalau dipikir – pikir kami sering melakukan kesalahan yang sama. Nah, terakhir adalah aku. Andini Sahara, sudah enam bulan masuk ke kandang Buaya. Kata Arkan, pikiranku terlalu dangkal setiap menganalisis pekerjaan. Apapun, aku tidak akan pernah benar. Entah aku yang payah atau memang Arkan yang terlalu sengak, padahal aku adalah lulusan terbaik saat kuliah. Bertahan di sini sebab satu alasan, gaji yang besar. Bertahan hidup di Ibu Kota yang keras bukanlah hal yang mudah, setiap hari aku berusaha menguatkan hati sampai nanti menemukan tempat kerja baru yang sesuai impian. " Sama Arkan saja, dia juga belum nikah lho An." Mbak Talita memberi usulan, lebih tepatnya menyindir terang – terangan padaku. " Mending gue jomblo Mbak dari pada punya pacar belagu, sengak nggak jelas." Aku mendengus, menyusun kembali jadwal pekerjaan yang harus diselesaikan. " Siapa yang sengak nggak jelas?" Spontan aku menoleh ke belakang, Arkan dengan gaya sok bosnya menatapku seakan – akan bersiap membunuh mangsa. " Suami Mbak Talita Pak." Jawabku pucat pasi," Bapak kok tumben pagi – pagi sudah di kantor?" Aku pura – pura peduli, mati berdiri kalau sampai lelaki itu mendengar semua ucapannya. Arkan hanya tersenyum kecil, menatap Mas Ardi." Mas, aku mau discuss. Ke ruangan ya," perintahnya seperti biasa. " Oke, Ar. Gue nyusul." Jawab Mas Ardi cepat, menyiapkan beberapa peralatan sedangkan Arkan berlalu. " Selamat," aku mengusap d**a. Mbak Talita tak henti – hentinya menertawakan tingkahku yang kalang – kabut sendiri." Enak benar sih Mas Ardi, nggak pernah mendengar bentakan si manusia hutan." " Dengar Arkan, lo langsung didepak tahu An." Mbak Talita menyodorkan cemilannya padaku. " Biarin, perusahaan masih banyak Mbak." Aku berlagak, dalam hati jangan sampai Arkan mendengarnya. Sebab, hanya perusahaan ini yang memberi gaji dalam jumlah begitu besar. " Kalian jangan gosip terus, gue aduin Arkan. Mau?" Mas Ardi meninggalkan kubikelnya. " Aduin sana, berani memang Mas ketemu dua singa setiap hari di sini?" aku terkekeh, melirik Mbak Talita di sebelah. Mas Ardi terbahak –bahak, meninggalkan kami berdua di kubikel. BIGBOSS Aku tersenyum merekah ketika jam kerja sudah menunjukkan jadwal pulang karyawan, setelah menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk aku mulai merapikan polesan di wajah. Hal biasa yang aku lakukan, walau sebelumnya sebab akan menemui Bagas. Aku tak berhenti memikirkan bagaimana caranya agar Bagas kembali dan merancang pernikahan, Mbak Talita sudah pulang lebih cepat, harus menjemput anaknya di sekolah. Bayangkan saja, usia mbak Talita masih 30 tahun tapi anaknya sudah TK. Sedangkan aku? " Mau langsung balik?" pertanyaan mendarat di telinga, aku menoleh ke samping dan ada Arkan berdiri tidak jauh sambil membawa tumpukan berkas. Mendadak aku ketakutan, panas – dingin dan tak henti – hentinya berdoa agar lelaki itu tidak membuat lembur di tengah suasana hati yang memburuk. " Iya Pak, lagi enggak enak badan." Aku pura – pura memasang wajah lesu, harusnya tadi langsung pulang dan nggak perlu merapikan make –up kalau pada akhirnya ketemu lemburan. " Lembur sabtu diganti hari ini saja deh, An." Arkan membuka setiap lembar yang akan diberikan padaku. Tuhkan, sialan! Sudah jatuh tertimpa tangga. " Please deh Arkan, mati aja deh lo!" rutukku dalam hati. " Project untuk minggu depan, kalau kamu enggak mengerti tanya langsung ke Mas Ardi, dia yang punya planning." Lanjutnya tanpa merasa bersalah. " Bapak enggak capek?" Cara bicaraku sudah tidak enak." Aku beneran capek Pak, bisa diganti hari lain kan?" Arkan menggeleng, rasanya aku ingin menjambak rambut rapinya itu." Sekarang saja, besok mesti dibawa ke meeting soalnya." " Kenapa enggak Bapak sendiri yang kerjakan?" Aku menatap Arkan begitu kesal. " Kalau ada karyawan, kenapa mesti saya yang kerjakan?" Jawaban mengesalkan itu membuat aku tak mampu menahan emosi sendiri, aku banting map tebal ke atas meja dan membelakangi Arkan yang masih memperhatikanku. Terserah, kalau besok mau ganti staff baru, aku bakal bersyukur asal jangan dipecat. " Satu hal lagi, sakit hati karena diputusin pacar tidak ditanggung perusahaan. Jaga stamina sampai akhir bulan ya." Arkan melengos menuju ke ruangan dan aku melempar tubuhnya dengan gumpalan kertas. Mas Ardi menutup mulut, menahan tawa agar tidak kelangsungan hingga aku kesal setengah mati. " Padahal sudah mau hujan juga, kenapa sih mendadak lembur begini!" " Hujannya di hati lo, sudah jangan kebaperan gara – gara diputusin Bagas, tidak satu kali An cowok di sini." Mas Ardi bersiap – siap pulang. " Tuh kan, Mas enak bisa pulang cepat. Lah gue? Ini juga project Mas loh, kita lembur bareng dong." Aku tidak terima ditinggal sendiri. " Anak gue lagi sakit, lagian lembur kan dibayar. Nggak cuma – cuma, lumayan An nemenin Arkan. Mana tahu jodoh, ya nggak?" " Jangan jodoh deh." Aku mengusap wajah ketakutan." Biar gue sendiri daripada maksain diri jadi pasangan Arkan, gue baru jomblo juga sehari, nah kalau Arkan berabad – abad tuh, makanya hidupnya sensi mulu." Mas Ardi tak berhenti tertawa, menyandang tas menuju pintu keluar." Gue balik duluan An, semangat!" Aku mengerucutkan bibir, mengeluarkan handphone dan membuka aplikasi go – food. Berniat memesan menu untuk makan malam dan beberapa cemilan sebagai teman lembur. " Nih," Arkan meletakkan satu kotak pizza dan minuman dingin." Kalau kurang, pesan sendiri." Seperti jelangkung, Arkan datang tanpa aba – aba. Terkadang aku sampai merinding, sebenarnya Arkan spesies apa? Tidak pernah kenal lelah, menghabiskan waktu di kantor hampir seharian. Apa tidak memikirkan pernikahan? Aku mulai menerka, sejak enam bulan di sini Mas Ardi dan Mbak Talita selalu mengatakan Arkan belum memiliki pendamping hidup, bahkan terkesan tertutup perihal percintaannya. " Dasarnya saja dia orang yang payah, mana ingin perempuan menerima cinta orang sok pintar begitu." Aku mengomel sendiri, menyelesaikan pekerjaan yang Arkan berikan barusan. TBC

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
98.2K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.9K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.4K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook