Sarah berjalan dengan santai, ia tidak ingin terburu-buru karena biasanya Calvin juga selalu terlambat. Hampir setiap mereka berjanji bertemu di sebuah tempat yang jam nya sudah di tentukan, Calvin masih tetap saja selalu terlambat.
Padahal sudah jadi seorang Wali Kota, harusnya dia bisa meminimalisir keterlambatan. Kebiasaan yang satu itu memang sangat sulit untuk di ubah.
Yah, mau bagaimana lagi, Calvin tetaplah Calvin, selalu membantu orang di perjalanan nya, yaitu nenek-nenek yang rumahnya ada di bukit. Ia selalu berpapasan dengan nenek itu hanya untuk membawakan belanjaan nya dari pasar. Bukan hanya satu nenek yang ia tolong, bisa dua sampai tiga orang.
Terlalu baik hati dan tidak sombong sebenarnya.
Sarah tiba di tempat latihan dengan tiga kayu besar yang sudah rapuh namun masih tetap berdiri disana. Tidak banyak yang berubah dari tempat latihannya, sungai kecil di sana juga masih jernih dan cukup deras.
"Kan sudah ku tebak, padahal aku sengaja terlambat, tapi dia belum juga datang." Sarah mendumel sendirian.
"Yo, aku sudah datang sekitar lima belas menit yang lalu." Calvin muncul di balik pohon besar sembari tersenyum di balik maskernya, Sarah sedikit terkejut.
Tumben sekali. Pikir Sarah.
Calvin berjalan mendekati Sarah, kalau sudah jam segini, Calvin pasti tidak akan mengenakan setelan rapi Wali Kota lagi. Ia menggantungnya dengan rapi di flatnya bersama topinya.
Sarah cukup santai, mengenakan kaos merah muda berlengan panjang dengan rok selutut navy khas miliknya. Ia mengikat pony tail rambutnya yang sudah lebih dari sebahu panjangnya.
Ini godaan bagi Calvin, karena leher Sarah seputih porselen dan jenjang, tapi gadis itu mana mengerti dengan Calvin si pria dewasa. Gadis itu cuek dengan penampilan nya yang menggoda iman.
"Kenapa tidak bilang sejak awal? Itu acara yang harus kau hadiri dengan calon istrimu!" Sarah bertanya, ia membahas topik acara di Sandfield itu.
"Apa kau tidak memiliki kekasih? Aku tidak habis pikir kau akan mengajak ku ke acara semacam itu."
Calvin hanya tertawa pelan sambil menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. "Kalau aku punya, aku tidak akan mengajakmu, lagi pula ini hanya untuk sementara, untuk acara itu saja."
"Kau bilang hanya? Ya Tuhan, Pak. Syaratnya kau harus kesana dengan calon pasangan hidupmu. Ini bukan main-main!"
"Sarah aku mohon bantuanmu, kali ini saja dan juga dengarkan aku dulu. Lagi pula siapa peduli dengan aturan buatan Saga itu. Hanya formalitas saja." Calvin memohon dan Sarah hanya mengangguk kecil sambil menahan rasa kesalnya.
Calvin seolah menganggap hal ini tidak serius, padahal bagi Sarah ini sangat serius."Kalau hanya untuk formalitas saja, kau bisa ajak yang lain, jangan aku,” Sarah masih menggerutu.
"Sarah dengar, Aku sudah berkonsultasi dengan Diana. Dia akan kembali ke Leafield sekitar dua minggu tapi masih dalam masa cuti, jadi kemungkinan jika kita berada di Sandfield selama lima hari, Diana bisa menggantikan mu di rumah sakit."
Sarah membelalakkan matanya, "Lima hari? Perjanjiannya kan hanya sehari atau dua hari?"
"Saga menambah agenda acaranya, Sarah. Bagaimanapun jika menolak tidak baik untuk kedua Kota. Hari pertama acaranya malam hari, hari kedua dan ketiga itu jalan-jalan, hari ke empat festival di malam hari sekaligus acara perpisahan dan hari kelima kita pulang."
"Terdengar seperti agenda acara study tour. Kita kesana mau piknik?" Gerutu Sarah.
"Sarah, ini yang buat acaranya itu Wali Kota, loh."
Sarah menggeram kesal, "Kau selalu saja menyeretku dalam urusan pribadimu. Coba kau hitung, sudah berapa kali kita begini."
"Sarah, hanya kali ini saja. Mungkin ini yang terakhir. Setelah ini, kedepan nya aku tidak akan mengajakmu ke acara-acara Wali Kota lagi." Calvin memohon.
"Makan nya, segera cari istri!" Sarah berseru pelan. "Sudah berapa kali aku jadi kencan butamu? Menyebalkan."
Kata-kata Sarah sedikit melukai hati Calvin, ia sama sekali tidak pernah bermaksud menjadikan Sarah andalan nya ketika ada acara-acara penting para Wali Kota. Hanya saja, ia mendapatkan asisten seorang pria, yaitu Yamada.
Mau tidak mau, satu-satunya yang dapat menolong Calvin hanyalah Sarah.
"Kalau begitu kita buat perjanjian, bagaimana?" Calvin lagi-lagi menawarkan perjanjian, Sarah sampai tidak merasa penasaran lagi.
"Apa lagi?"
Calvin mendekati Sarah lebih lagi, gadis itu terkejut sampai mundur beberapa langkah hingga punggungnya menabrak kayu untuk latihan.Tangannya terangkat, bersiap kapan saja jika Calvin macam-macam maka Sarah tak segan melayangkan pukulan mautnya.
Calvin menangkup kedua tangan Sarah yang terkepal.
"Tidak ada baku hantam." Calvin berbisik.
Sarah mendecih pelan dan memalingkan wajahnya karena wajah Calvin terlalu dekat. Sarah tidak suka itu.
"Jika kau menganggap ini kencan buta, maka mari kita buat jadi kencan berjangka waktu. Dari besok sampai kau selesai menghabiskan jatah liburanmu yang merupakan hadiah dariku."
Sarah mendelik. "Apa maksudmu? Jangan bercanda."
"Aku tidak sedang bercanda Sarah, aku sampai menghimpitmu seperti ini, kau pikir ini lelucon?" Calvin menghela nafasnya, kemudian mundur selangkah.
"Ayo buat kesepakatan, menjadi pasangan selama dua minggu selagi Diana bisa membantu pekerjaanmu dan setelah itu kau tentukan sendiri, mau lanjut atau berhenti."
Sarah menatap Calvin tak percaya. "Kau sudah kehabisan akal, Guru! Kau mengajak muridmu kencan kontrak? Yang benar saja."
"Karena aku tau kau tidak akan mau jika ku ajak kencan sungguhan!" Calvin menyeru pelan, ia memang telah kehabisan akal.
"H-hah?" Sarah terkejut.
Ia terlanjur mengajak ke Sarah ke acara itu, maka kenapa tidak sekalian saja menjadikan Sarah kekasihnya? Masa bodoh jika gadis itu masih menunggu seorang Jack yang tak kunjung datang.
Calvin hanya ingin mengutarakan isi hati dan keinginannya yang sebenarnya. Sudah sering mereka pergi bersama, Calvin juga mengganggunya setiap hari. Jika tidak memiliki rasa apapun pada Sarah selama ini, maka Calvin adalah pria bodoh.
Calvin mengesampingkan istilah Guru dan murid atau Wali Kota dan dokter sekalipun. Hari ini hanya ada dirinya dan Sarah yang terlepas dari status itu.
Pipi Sarah merah padam, bagaimana bisa Calvin berpikir untuk berkencan sungguhan dengannya? Pria itu tidak waras ya? Selama ini Sarah tau jelas, kalau Calvin hanya menganggapnya sebagai murid.
Lalu kenapa sore ini Calvin menganggapnya sebagai wanita? Sudah berapa lama Calvin menganggapnya seperti itu? Kepala Sarah rasanya mau meledak memikirkannya.
"Baiklah-baik! Mulai besok sampai liburan di Pantai Namira selesai, aku sepakat." Sarah menjawab dengan pelan pada akhirnya yang membuat Calvin hampir merasa sesak nafas.
"A-apa?"
"Kau tidak dengar?" Sarah menatap Calvin kesal. "Aku menerima tawaran mu!"
"Kau benar-benar menerima tawaranku?" Calvin bertanya lagi, pria itu perlu memastikannya dengan pendengaran yang jernih.
"Jangan buat aku berubah pikiran." Ketus Sarah dengan tangan terkepal yang sudah naik ke atas.
Calvin mengangguk paham, Sarah menghela nafas panjang.
"Tapi ada satu hal yang perlu kau ketahui." Ungkap Sarah.
"Apa itu?"
"Saga dan aku pernah berkencan dan kami baru saja memutuskan untuk berpisah sekitar empat bulan yang lalu. Jangan sampai kau membuatnya geram." Sarah menjelaskan, ia menahan tawa melihat reaksi Calvin yang sesuai dengan dugaannya.
"A-apa?!" Calvin merasa rahang nya hampir lepas saking terkejutnya.
To Be Continued..