Irish, sahabat Sarah, baru saja pulang berjaga malam di rumah sakit setelah Sarah di jadwalkan pergi subuh tadi ke Sandfield bersama Calvin, Sang Wali Kota.
Padahal Irish harusnya masuk shift middle kemarin, namun terima kasih banyak, karena Calvin sang Wali Kota yang lagi-lagi membawa Sarah pergi secara mendadak berhasil membuat Irish harus lembur.
Belum lagi Diana yang setiap akan memulai operasi untuk pasien selalu mengeluh pada Irish, wanita tua itu menggerutu tentang 'Kenapa Calvin tidak menikahi Sarah saja? Jadi pria itu bisa membawa Sarah kapanpun'.
Irish tergelak mendengarnya, Calvin? Dan Sarah? Irish tidak bisa membayangkan sahabatnya menikah dengan gurunya sendiri.
Tapi ucapan Diana juga ada benarnya, Mereka cukup cocok. Wali Kota bersanding dengan Dokter muda di Leafield. Irish manggut-manggut membayangkan seperti apa jadinya jika sahabatnya sungguh menikah dengan seorang Alistair, anak mereka pasti jadi generasi emas.
"Ah, Irish!"
Suara cempreng Nathan terdengar, Irish yang baru saja akan masuk ke toko bunganya langsung menoleh ke sumber suara.
"Oh, Nathan." Irish menyapa begitu pria berambut hitam itu sudah berada di depannya.
"Ah, Jack? Kau kembali?!"
"Hn." Jack menyahut singkat.
"Hai, cantik. Aku di sini!" Sean, pria berkulit putih pucat itu, yang tak lain adalah kekasih Irish, muncul dari belakang Jack.
"Oh terima kasih, Sean, kau tepat waktu. Aku baru saja pulang, kau bisa mulai jaga toko, kan?" Irish menggerling ke arah Sean yang tersenyum padanya.
Nathan menatap jijik senyuman Sean, pria itu tidak memperdulikan teman-temannya dan langsung masuk ke dalam toko bunga milik Irish.
"Jadi, ada apa? Sepertinya kalian mau bertanya padaku?" Irish bertanya duluan pada Nathan dan Jack.
Nathan nyengir. "Kau pintar, Irish! Hm, kemana Sarah? Pak Guru Calvin juga tidak ada di ruangannya."
Sementara Nathan bertanya, Jack hanya diam dan mendengarkan, ia seperti tidak menaruh minat untuk berbicara tapi ia tertarik dengan jawaban yang akan di lontarkan untuk Irish.
"Aku lupa, kalian tidak di Kota jadi tidak tau ya." Irish menepuk jidatnya sendiri. "Sarah dan Pak Wali Kota, sedang pergi ke pertemuan penting para Wali Kota di Sandfield."
Nathan langsung memasang wajah kecewa. "Lagi?"
Irish mengangguk pelan. "Mendadak, tadi subuh." Kemudian Irish pamit dan segera masuk ke toko bunganya.
"Apa maksudmu dengan 'Lagi', Nathan?" Jack bertanya.
Nathan balik badan dan mereka berjalan menuju kedai makanan yang baru selesai di rekontruksi.
"Sudah beberapa kali Sarah menemani Guru! Ku dengar Sarah sangat cerdas!" Nathan menjawab dengan bersemangat.
"Oh ya, Jack. Tinggallah lebih lama supaya kita bisa benar-benar reuni tim dengan mereka, juga dengan Tuan Yamada dan Sean."
Jack menghela nafasnya, ia berpikir sejenak. Ia tidak tau kalau Sarah sering pergi bersama Calvin.
"Hn. Akan ku pertimbangkan." Akhirnya dia menjawab.
"Kalau begitu karena aku baru pulang dari pekerjaanku dan kau baru pulang ke Kota setelah sekian lama, ayo kita makan bersama hari ini!"
•••
Sarah tidak ingat kapan terakhir kali ia singgah ke Sandfield. Setelah perang berakhir, rasanya tidak pernah. Mungkin saat ia mengobati Kale –kakak laki-laki Saga— itu adalah yang terakhir? Ah, sudah bertahun-tahun kalau begitu.
Kota Sandfield lebih maju dari sebelumnya, mungkin rekontruksi yang di lakukan sedikit mengubah tatanan khas Sandfield yang begitu sederhana menjadi terlihat lebih modern.
Sarah menjamin, Saga pasti bekerja sama dengan banyak Kota seperti Leafield dalam pembangunan kembali.
"Lihat, di sinilah gurun sejauh mata memandang, kau yakin tega membiarkanku menggerai rambut panjang ini?" Sarah mengeluh lagi. "Bahkan angin yang berhembus pun sangat panas."
Calvin menoleh sekilas, kemudian memberikan ikat rambut yang baru pada Sarah.
"Ikat rendah. Jangan tunjukan leher jenjangmu."
Cukup tegas, jelas dan padat. Nada bicara Calvin cukup membuat Sarah menyadari kalau pria itu protektif padanya. Ini baru kencan hari pertama, loh. Tapi Calvin sangat perhatian pada Sarah, sedangkan gadis itu tidak menjawab dan hanya meledek Calvin dengan ekspresinya.
"Lagi pula begitu kita sampai di dalam Kota, di sana tidak panas karena Saaga sudah mengubah Sandfield menjadi tempat yang cukup canggih di tengah gurun ini." Ucap Calvin.
Tak lama mereka berjalan menuju gerbang Kota, di sana sudah ada Saga dan Kale yang menyambut mereka. Sarah bisa melihat dengan raut wajah terkejut seorang Saga, tidak hanya itu, bahkan mulutnya sedikit menganga melihat Sarah beriringan bersama Calvin sambil melambaikan tangan dan tersenyum manis.
Tidak ada yang tau kalau mereka berkencan saat itu selain Theresa, karena mereka melakukannya secara diam-diam. Jadi Kale terlihat biasa saja dan tersenyum pada Calvin dan Sarah.
Kale kemudian menoleh, ia kemudian menyenggol lengan Saga menggunakan sikutnya.
"Hei, jangan terpesona begitu, aku tau Sarah itu sangat cantik, tapi dia datang bersama Pak Wali Kota. Itu berarti dia ada yang memiliki." Kale berbisik.
Saga kembali mengusai dirinya, wajahnya kalem seperti biasa. Agak terkesan galak namun sudah lebih ramah di bandingkan dulu ketika pertama kali bertemu dengan tim Sarah.
"Selamat datang, Pak Wali Kota, Nona Sarah." Kale menyapa begitu Calvin dan Sarah sudah di depan mereka.
"Terima kasih sudah menyambut kami, Kale!" seru Sarah dengan bersemangat.
Kale terhenyak, kemudian ia tertawa. "Apakah itu tandanya aku boleh memanggilmu, Sarah?"
Sarah menggangguk sambil tersenyum lagi. Terlihat aura yang tidak mengenakan dari tatapan Saga pada Sarah. Calvin menyadari hal itu, ternyata benar, Saga sepertinya cemburu.
"Apa kabar, Tuan Saga?" Calvin kemudian bertanya pada Saga.
"Seperti yang kau lihat, aku sangat baik." Saga menjawab. "Mari, kalian pasti lelah, aku telah menyiapkan penginapan khusus. Sementara menunggu Wali Kota yang lain tiba, kalian bisa beristirahat dulu."
Calvin baru saja akan membuka mulutnya lagi, Sarah sudah mendahuluinya.
"Terima kasih banyak, Pak Wali Kota Sandfield!" Sarah berseru pelan, membuat Saga terlihat bersusah payah untuk tidak bertemu pandang, namun terpaksa harus bertatapan dengan Sarah.
Calvin menyenggol Sarah dan memberikan tatapan heran, Sarah seperti sengaja bertingkah di depan Saga. Sengaja membuat pria berambut merah itu kesal, tapi Sarah tidak menyadari kalau Calvin juga jadi ikut kesal karenanya.
Saga dan Kale membawa mereka ke sebuah penginapan yang cukup mewah, di sana ada beberapa kamar. Tapi mereka hanya di beri satu kamar saja.
"Maaf, tapi apa kami hanya di beri satu kamar?" Sarah bertanya pada Kale.
"Tentu saja, satu pasangan, satu kamar." Kale menjawab ringan.
Sarah menelan ludahnya dengan berat. "Tapi kami belum menikah."
Saga menoleh pada Sarah. "Tenang saja, di dalam ada dua ranjang."
"Baiklah kalau begitu. Kami akan segera berbenah." Calvin menyahut, "Padahal aku berharap hanya ada satu ranjang kingsize. Hahaha." Gurau Calvin yang langsung membuat Sarah menatapnya tajam. Sementara Kale tertawa lepas.
Calvin mulai tidak nyaman dengan Sarah dan Saga yang saling melayangkan tatapan sengit maka dari itu ia sengaja membuat candaan yang menyebalkan, Kale dan Saga kemudian pamit undur diri.
Begitu masuk ke dalam kamar yang cukup luas itu, Sarah dan Calvin langsung menutup pintu dengan rapat.
"Kau lihat itu kan? Dia bahkan tidak bisa menyembunyikan emosinya dengan baik." Sarah berbicara sambil menghempaskan tubuhnya ke kasur yang ia klaim. "Padahal kami berpisah dengan persetujuan masing-masing, secara baik-baik juga."
"Kalau gelisah, ia tidak bisa menyembunyikan ekspresinya yang kacau!” Gadis itu terkekeh.
"Berhenti menggoda mantan pacarmu, kemudian jangan membicarakannya jika kau sedang bersamaku." Tegas Calvin membuat Sarah langsung terduduk.
"Kau cemburu?" Sarah berseru pelan sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya, melayangkan tatapan tak percaya pada Calvin.
Calvin menoleh pada Sarah, pria itu mengambil handuk dan alat mandi dari dalam koper mini nya. "Menurutmu?"
Pria itu kemudian melenggang menuju kamar mandi dan menutup pintunya dengan debuman keras. Meninggalkan Sarah yang tidak bisa berhenti berkedip.