Enam

1607 Words
Kama sendiri merasa ketakutan saat melihat matanya yang berubah warna ketika sadar, setelah mengalami kecelakaan. Dia sempat berteriak histeris, meminta penjelasan dari kedua orang tuanya. Namun walaupun setelahnya dia mengetahui jika mata yang kini menempel padanya adalah mata yang didonorkan oleh seorang korban kecelakaan yang mengalami mati otak dan tidak bisa diselamatkan, perasaan aneh dan takutnya masih tidak bisa hilang. Dia bahkan merasakan ketakutan itu meluap saat Pita menatap mata miliknya, hingga keesokan harinya dia berusaha meminta agar Pita tidak diizinkan kembali datang menjenguknya di rumah sakit. "Kamu beneran udah mau masuk sekolah? Mama udah izinin kamu buat istirahat lebih banyak di rumah, pihak sekolah juga udah kasih izin kok." Kama yang sedang menunduk untuk mengenakan sepatunya, langsung mengangkat wajah, ke arah Mamanya yang sedang berdiri di sampingnya. "Enggak apa-apa, Ma. Kama udah baik-baik aja kok." Helaan napasnya keluar kemudian, 'Cuma mata ini yang bikin aku resah.' "Yaudah, tapi kalau nanti kamu ngerasa enggak enak badan, kamu harus langsung telepon Mama ya?" Tersenyum, Kama mengangguki ucapan Mamanya. Dia bergerak mendekat, menyalami dan sempat mencium pipi Mamanya hingga Mamanya itu terkejut. "Makasih ya, karena Mama selalu mengkhawatirkan Kama," ucapnya tulus. Ibunya mendengus, menepuk pundaknya pelan. "Ngomong apa sih? Ya udah seharusnya dong Mama khawatir sama anak Mama." Kama tertawa, lalu sekali lagi berpamitan pada Mamanya. Perjalanan yang dia lalui saat berangkat sekolah masih sama, namun ada perasaan cemas dan takut yang samar saat dia melewati jalanan dimana dia mengalami kecelakaan itu. Meski kini langit cerah, bukan gelap dan hujan seperti waktu itu, namun Kama tetap merasa tidak tenang. Untungnya sosok yang selama ini dnegan setia mengganggunya, pagi ini tidak ada. Tiba di sekolah, Kama nyaris tidak pernah mengangkat wajahnya dan hanya fokus untuk cepat-cepat sampai di kelas. Meskipun di sepanjang jalan, tidak sedikit orang yang menoleh dua kali padanya, menatapnya dengan penasaran. Helaan napas leganya keluar begitu dia berhasil mendaratkan bokoongnya di kursi. dia langsung membenamkan kepalanya dengan bertumpu pada dua lengan yang terlipat, hingga kemudian aksinya itu berakhir saat suara gadis yang selama ini dia hindari, terdengar. "Kama! Akhirnya kamu masuk juga!" Rasanya Kama enggan mengangkat kepala, namun dia tidak mungkin bersikap pura-pura mati di depan Pita yang sudah ada di hadapannya itu. "Hai.." sapanya kaku. Gadis itu tersenyum dengan binar yang begitu terang hingga membuat Kama terkejut. Pita memang selalu baik padanya, namun sekalipun gadis itu tidak pernah menunjukan wajah yang seperti ini padanya selama mereka kenal. "Aku khawatir banget, dari kemarin aku udah datang ke rumah sakit, tapi perawat nya bilang kalau kondisi kamu enggak begitu baik. Aku pengen banget ketemu sama kamu, aku kangen sama kamu Kama." Sebuah kalimat yang diucapkan dengan nada sedang, membuat bukan hanya Kama yang terkejut, namun juga banyak orang di sana yang langsung memalingkan atensi mereka pada Kama dan Pita. Tubuh Kama gemetar, dia menoleh ke sana kemari, memastikan jika tidak ada orang itu yang mungkin saja akan salah paham. "Pita, lebih baik kamu enggak ngomong begitu. Kalau Rizal sampai dengar, yang ada dia bakalan salah paham," tegur Kama panik. Di depannya, Gempita memasang wajah sedih. Menunduk dengan raut kecewa. "Aku kayaknya enggak bisa lanjutin hubungan aku sama dia," akunya yang malah mengejutkan Kama. "Apa? Kenapa?" Gempita mengangkat pandangan, menatap lurus pada Kama yang kebingungan. "Karena aku suka sama kamu." Kama tentu saja terkejut mendengar pengakuan Gempita yang seperti itu. Awalnya dia berpikir Gempita berkata seperti itu hanya untuk menebus rasa bersalahnya atas kecelakaan yang Kama alami, namun beberapa hari ke depannya Kama jadi mengetahui apa yang membuat Pita sampai mengaku suka padanya. Bukan hanya Pita, tapi juga beberapa teman wanita yang sebelumnya tidak memiliki hubungan khusus dengannya, juga melakukan hal yang sama. Tiba-tiba mengatakan bahwa mereka menyukai Kama. Dan itu semua, karena matanya. ~ Pagi yang cerah, Kama sudah tiba di kantornya pukul 7.36 yang artinya seperti biasa, dia tidak terlambat. Namun saat melihat seseorang yang sudah berdiri tepat di depan gedungnya, dia memiliki firasat bahwa mungkin saja dia akan terlambat karena orang itu. Meskipun begitu, Kama tidak mungkin melewatinya begitu saja karena dia tahu, Gempita mungkin sudah menunggunya sejak pagi. "Saya sampai mikir, apa mungkin kantor kamu pindah kesini?" sindir Kama dengan senyum kecil. Gempita membalas senyumnya, dengan gestur anggun yang mirip dengan saat SMA, gadis itu menyatukan kedua tangan sambil bergerak gelisah. "Ada yang mau aku tanyain ke kamu, tapi siang nanti mungkin aku bakalan sibuk dan pulang kerja juga kemungkinan belum tentu kita bisa ketemu," kata gadis itu. Kama tersentak, dia tanpa sadar jadi merasa bersalah karena kemarin dia dengan terang-terangan menghindar dari gadis itu. "Mau ngomong apa?" tanya Kama. Dia menarik tangan Pita untuk menyingkir ke sudut, agar tidak menghalangi lalu lalang karyawan lain yang baru datang. Diam-diam dia juga menyiapkan diri kalau-kalau anggota timnya akan memergoki dirinya yang berdiri berduaan dengan Pita. "Kemarin pas pulang kantor, aku sempat ngeliat kamu. Tapi kamu sama cewek, terus cewek itu masuk ke dalam mobil yang sama kayak kamu. Apa... kamu udah punya pacar?" Mata Kama membulat, satu tangannya bergerak membenarkan letak kacamata yang dia pakai. Wanita yang dimaksud oleh Pita ini, adalah Yumna, benar kan? Tanpa sadar dirinya tertawa, entah kenapa pertanyaan ini terasa lucu baginya. "Bukan kok. Dia temen kantor, kemarin saya nganterin dia pulang karena ban mobilnya kempes. Kebetulan rumah kami searah," jawab Kama. Entah dirinya yang salah menangkap atau apa, tapi kalau tidak salah dia sempat menangkap ekspresi lega yang ditunjukkan oleh Pita di depannya. "Begitu ya.." kata Pita sambil memalingkan wajahnya. Kama mengangguk, dia mengedarkan pandangan untuk memperhatikan area sini. Sudah banyak karyawan yang datang, bahkan tadi dia sempat melihat mobil Kabagnya yang datang. Sepertinya waktu terus berjalan selama dia berbicara dengan Pita. "Ada lagi yang mau kamu tanyain? Soalnya, kayaknya udah mau masuk jam kantor," tanya Kama. Gempita reflek mengangkat lengannya untuk melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya itu. Matanya sedikit membulat sebelum kemudian tangannya membenarkan letak tali tas yang sedikit jatuh. "Enggak ada. Aku cuma mau nanya itu sama kamu. Kalau gitu, aku permisi ya. Sampai ketemu lagi!" Usai mengatakan itu, Pita langsung berlari kecil keluar dari lingkungan kantor Kama menuju tempat kerjanya sendiri. Meninggalkan Kama yang bingung karena ternyata Pita menunggunya di depan kantor hanya untuk menanyakan siapa wanita yang pulang bersamanya kemarin. Jika seperti itu, bisakah Kama berpikir jika mungkin saja Pita masih menyukainya? Namun rasanya mustahil, karena efek 'itu' hanya bertahan selama satu minggu saja. Dan lagi semenjak kembali bertemu dengan gadis itu, mereka belum pernah lagi bertatapan secara langsung. Mengabaikan pikirannya, Kama kemudian berbalik arah dan mulai berjalan masuk ke dalam kantornya. "Baru datang juga?" Dia tersentak, menoleh ke samping dan baru menyadari kehadiran Yumna. Seperti biasa, gadis itu tampak rapi dengan setelan kerja yang sopan, namun raut wajah yang ditunjukkan juga masih sama datarnya seperti kemarin. "Iya," balas Kama sedikit berbohong. Toh dia memang baru sampai, juga dia tidak mengobrol terlalu banyak dengan Pita tadi. Gadis di sebelahnya mengangguk, berdiri bersama di depan lift yang belum terbuka. "Makasih bantuannya kemarin," ucap Yumna. Kama mengulum senyum tipis, " Kamu udah bilang itu kemarin." "Iya, tapi tetap aja saya mau ngucapin sekali lagi." Tertawa, Kama kembali mengangguk. "Sama-sama," balasnya. Ting Lift terbuka, dan bukan hanya mereka berdua yang masuk ke dalam sana. Mengingat jam yang sudah mepet dengan jam masuk kantor, maka banyak orang yang akhirnya tergesa masuk ke dalam lift yang sama dengan Kama dan Yumna. Kama merasa dirinya perlu membuat Yumna yang merupakan rekan satu timnya untuk aman di tengah lift yang penuh sesak, namun yang terjadi adalah wanita itu yang malah berdiri di depannya, dengan pose yang biasanya ada di dalam drama atau adegan film bioskop yang sering ditonton oleh adik Kama. Yumna, berdiri sambil menghadap ke arahnya, kedua lengan gadis itu bertumpu pada dinding yang ada di sisi-sisi tubuh Kama. Kama gugup, jarak dirinya dan Yumna begitu dekat. "Ka-kamu enggak usah begitu. Kamu bisa berdiri di samping saya aja," katanya berusaha menyudahi keadaan yang canggung ini. Namun yang dia dapati hanyalah tatapan datar Yumna yang sama sekali tidak perduli, mengabaikan ucapannya kemudian. Kama menghela napas pelan, yang dia harapkan saat ini adalah agar lift ini cepat sampai di lantai empat tempat dirinya bekerja. "Duh hawanya jadi pengap banget karena ada cewek yang badannya kayak cowok. Mulutnya pedes kayak boncabe, terus otaknya enggak jalan dan enggak perduli sama perasaan orang." Kama terdiam, dia memasang kupingnya baik-baik sambil mencari tahu di antara banyaknya orang di dalam sini, siapa gerangan yang berbicara dengan lantang seperti itu. Ah! Ternyata dia adalah Marcia, dan berkat itu Kama langsung mengerti jika wanita yang dibicarakan oleh Marcia adalah wanita yang kini mengukung dirinya. Melirik ke arah Yumna, dia yakin bahwa gadis itu juga menyadari jika dirinya lah yang sedang disindir dengan sangat terang-terangan oleh Marcia, namun Yumna terlihat santai, tenang dan tidak terganggu sama sekali. "Masa sih? Pantesan aja dari tadi gue ngerasa enggak nyaman banget ada di lift ini. Ternyata itu ya penyebabnya?" Lalu tiga gadis dari marketing itu tertawa cekikikan tanpa perduli dimana mereka berada sekarang. Kama semakin merasa gelisah, dia benar-benar ingin secepatnya membawa Yumna pergi dari sini daripada lebih banyak lagi mendengar sindiran dari orang-orang itu. Memang wajar jika Marcia merasa tersinggung dengan ucapan terang-terangan yang dikatakan oleh Yumna kemarin, namun bukan berarti gadis itu harus melakukan permainan anak SD seperti menyindir di tempat terbuka dan terdengar oleh banyak orang seperti ini. "Jangan didengerin," bisik Kama kepada Yumna. Gadis itu langsung menatapnya, mengangkat sebelah alisnya kemudian. "Apa?" tanyanya. "Omongan cewek itu, jangan didengerin?" Yumna kemudian mengalihkan pandang ke arah ketiga wanita itu yang langsung terdiam, namun masing-masing dari mereka memasang senyum sinis saat bertatapan dengan Yumna. "Oh, saya bahkan baru ngerti kalau mereka ngomongin saya." Kama melongo mendengar ucapan yang tidak terduga dari Yumna. Dia merasa semua kekhawatirannya sejak tadi itu sia-sia saja. ~~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD