Erlangga melihat seorang wanita paruh baya berdaster menjerit-jerit histeris, “Nino! Nino! Kamu di mana?”
Wanita itu mencari-cari ke sana kemari, lalu berlari menembus kerumunan. Ia menubruk seorang kakek tua yang sudah sangat sepuh. Kakek itu terjatuh, tapi si wanita tak peduli. Ia terus mencari Nino.
Erlangga buru-buru menolong kakek tersebut untuk bangun.
“Hati-hati, Kek. Sakit nggak, Kek?” tanyanya.
Si kakek menjawab dalam bahasa daerah yang tak ia pahami.
“Kita pasti diculik rezim!” teriak seseorang amarahnya meledak. “Karena kita orang-orang yang vokal menentang rezim!”
Erlangga tidak setuju, sebab ia bukan orang yang seperti itu.
Suara anak kecil menangis di sisi lain ruangan.
“Halo! Halo! Tolong!” teriak yang lainnya.
Kebisingan itu makin tak terkendali, seperti dengungan lebah dalam skala besar. Kepala Erlangga berdenyut. Tapi ia punya hal penting yang harus dilakukan.
“Bilah! Nabila!” panggilnya ke segala arah. Orang-orang berlalu lalang menghalangin pandangannya. Ia berdecak. “Kakek, tunggu di sini ya!”
Tanpa menunggu jawaban si kakek, pemuda itu segera mencari berkeliling. Kalau ia dipindahkan ke tempat ini—entah bagaimana caranya—kemungkinan Nabila juga ada di sini. Karena hanya semenit yang lalu mereka masih bersama di kamar motel.
“Nabila!” teriaknya lagi lebih lantang. “Nabila!”
Ia mulai putus asa. Kecemasan melanda.
“Nabila!”
“Angga!” Akhirnya suara yang tak asing itu menjawabnya.
Pemuda itu segera menoleh. Ia melihat sang gadis sedang berjuang untuk lewat di antara kerumunan. Ia pun segera menghampirinya.
Erlangga menarik tangan Nabila, lalu memeluknya erat. Ketakutannya sirna. Ia mengusap-usap rambut gadis itu beberapa kali, seolah memastikan bahwa gadis dalam pelukannya adalah nyata.
“Kamu nggak kenapa-kenapa, kan?”
“Iya, nggak apa-apa,” jawab Nabila. “Tapi kita di mana?”
“Aku juga nggak tahu.”
Erlangga terus melindungi Nabila dalam pelukannya sambil mencari tempat aman.
“Ayo kita duduk di sana!” ucapnya saat melihat pojok ruangan yang cukup kosong.
Mereka jalan sambil berpegangan tangan, lalu duduk bersandar ke dinding.
“Aku bingung,” ucap Nabila, wajahnya pucat pasi. Tak pernah Erlangga melihat tunangannya setakut ini. “Rasanya sesak.”
“Tenang dulu, tarik napas dalam-dalam,” ucap Erlangga. Kerumunan manusia yang berteriak-teriak di tempat tertutup pasti menghabiskan oksigen.
Nabila mengikutinya. Ia memejamkan mata sambil menarik napas beberapa kali.
“Aku boleh tiduran di pahamu?” tanyanya lagi. “Aku pusing.”
“Iya, rebahan dulu aja.”
Nabila pun berbaring, menyandarkan kepalanya di paha Erlangga. Erlangga mengelus-elus kepala gadis itu. Ia agak menyesal. Seandainya ia meraih handphonenya lebih cepat, mungkin ia bisa menggunakannya mencari bantuan.
Kalau diperhatikan, ruangan itu berbentuk kubus seukuran lapangan basket. Dinding dan langit-langitnya tersusun dari batu-batu persegi seperti yang digunakan di bangunan candi. Puluhan obor berbaris di dinding sebagai sumber cahaya.
Pada salah satu sisi dinding, terpajang berbagai senjata kuno zaman kerajaan. Pedang, tombak, kapak, perisai…
“Buat apa sih barang-barang itu?” tanya Nabila bersamaan ketika Erlangga memikirkannya.
“Semoga cuma hiasan…”
Erlangga punya firasat buruk. Ia hobi nonton film. Dan di dalam film, apabila ada banyak orang dikumpulkan dalam ruangan tertutup dengan banyak persediaan senjata, plot yang biasa terjadi adalah mereka akan disuruh saling bantai hingga menyisakan satu orang. Nantinya orang itulah yang diperbolehkan keluar.
Ia langsung bergidik ngeri lalu mengusir imajinasi tersebut. Gila sekali kalau masyarakat elit penyelangga pesta gladiator semacam itu benar-benar ada di dunia nyata.
“HP t***l!” Seseorang mengocok-ngocok gadget di tangannya. “Sinyalnya ampas!”
Hal itu menjawab penyesalan Erlangga. Sekalipun tadi ia sempat meraih handphonenya, ia tetap tak bisa menghubungi siapapun. Kalau dipikir memang wajar kalau sinyal tidak bisa memasuki ruangan batu seperti ini.
“Kita diculik, ya?” tanya Nabila.
“Belum tentu,” jawab Erlangga. “Yang jelas aku pasti akan ngelindungin kamu.”
Lalu di antara kericuhan, seseorang bangkit berbicara dengan lantang.
“Bapak-bapak! Ibu-ibu! Semua yang ada di sini!” teriaknya. “Mohon perhatiannya! Saya mungkin tahu apa yang sedang terjadi!”
Tentu saja perhatian Erlangga—dan orang-orang lainnya—langsung tertuju padanya.
Ada seorang pemuda berkacamata yang mengenakan jas alamamater kuning.
“Apa katamu? Kamu tahu sesuatu, Nak?” sahut seorang pria.
“Kita di mana?”
“Siapa yang bawa kita ke sini?”
Pertanyaan demi pertanyaan segera mengalir seperti air bah.
“Tenang, tenang, semuanya! Kalau bisa tolong duduk melingkar dulu supaya semua bisa melihat saya!” Sang pemuda mengendalikan keadaan.
Meski awalnya masih memaksa, akhirnya orang-orang mengikuti karena merasa tak ada pilihan lain untuk mendapat informasi. Mereka duduk melingkar dengan sang pemuda berdiri tegap di tengah-tengahnya. Posturnya langsing dengan rambut ikal. Ada sedikit jerawat di pipinya.
“Terima kasih kesempatannya!” ucapnya nyaring. “Perkenalkan, saya Gilbert Linggarjati, seorang wibu dan juga mahasiswa Universitas Indonesia semester tujuh!”
Mendadak Erlangga merasa cringe mendengarnya. Wibu adalah sebutan untuk orang-orang yang ‘sangat’ menyukai budaya Jepang. Dan tentu saja kalangan awam tidak mengerti istilah tersebut.
“Wibu?” tanya seseorang.
Namun, semua tidak asing dengan Universitas Indonesia. Memangnya siapa yang tidak tahu? Itu merupakan salah satu kampus terfavorit yang hanya menerima mahasiswa paling cerdas dari seantero negeri. Fakta itu membuat kata-kata Gilbert terasa lebih berbobot dan layak didengar. Apalagi kelihatannya pemuda tersebut sudah terbiasa berorasi di depan umum.
“Kenapa saya harus menyebut wibu? Karena ada alasannya!” lanjut Gilbert. “Saya suka baca light novel! Light novel itu adalah novel dari Jepang! Ada satu tipe cerita yang umum di light novel, yaitu tentang orang-orang yang dikirim ke dunia lain. Udah kerasa familiar belum? Betul! Saya rasa sekarang kita sedang mengalami itu, dikirim ke dunia lain!”
“Ngomong apa sih lu, anjing!” umpat seseorang.
“Jangan emosi, sabar dulu Bang!” seru Gilbert. “Saya juga awalnya ragu, tapi coba lihat di sana!”
Ia menunjuk ke satu-satunya pintu keluar dari ruangan tersebut, berupa lorong pada salah satu sisi dinding. Di atasnya terukir sebaris kalimat berbahasa Indonesia :
[Ambil senjata sebelum melanjutkan]
“Se—senjata?!”
“Betul, senjata! Pasti maksudnya senjata yang di sana!” Gilbert menunjuk sisi lain dinding tempat deretan benda tajam terpajang. “Dugaan saya, ini semacam peraturan yang harus kita ikuti untuk bertahan hidup. Ini biasa kejadian, kok, di cerita-cerita light novel!”
Kebetulan Erlangga pun akrab dengan hal-hal yang disebutkan Gilbert. Tapi justru itu yang ia takutkan, seandainya mereka memang dipaksa bertarung mempertaruhkan nyawa seperti gladiator.
“Jadi kesimpulannya apa, Bos?” tanya seseorang.
Gilbert memperbaiki posisi kacamatanya.
“Apa lagi, kalau bukan ambil senjata, terus masuk ke lorong?”
Orang-orang pun terenyak. Mereka jelas enggan disuruh mengangkat senjata.
“Bukannya apa-apa!” Gilbert berjalan ke arah deretan senjata. Ia memperhatikan satu-persatu, kemudian mengambil sebilah tombak. Ternyata beratnya melebihi perkiraan. Ia sedikit mengerahkan tenaga untuk memikul benda itu di bahu. Sementara tangannya yang lain bertolak pinggang, membentuk pose keren seperti ahli tombak. “Di tempat asing ini, bukannya justru kita butuh senjata untuk jaga-jaga? Lagian kalau cuma nunggu di sini terus apa? Sampai kapan?”
Pertanyaan tersebut memicu diskusi dan silang pendapat di antara orang-orang. Ada yang menyetujui perkataan Gilbert, ada yang meremehkan bocah itu, ada juga yang netral karena tak punya pendirian.
“Emang di balik lorong itu ada apa? Kalau ada setannya gimana?”
“Tapi kalau kita ngga masuk gimana kita tahu ada apa di situ?”
Perdebatan makin memanas. Beberapa orang ikut mengambil senjata, sekadar untuk mengecek apakah itu asli atau dekorasi.
“Ya sudah, ya sudah, begini saja,” kata Gilbert. “Saya akan masuk ke lorong. Nanti apapun yang saya temuin, saya akan kembali untuk ngasih tahu yang di sini.”
Omongannya mantap, tapi sebenarnya wajahnya sedikit pucat.
“Kalau gitu saya ikut deh,” seorang bapak-bapak berkepala botak dengan kaos singlet dan sarung kotak-kotak mengambil pentungan mace. “Walau cuma satpam tapi saya jago bela diri.”
Gilbert pun sedikit lega mengetahui hal tersebut.
Erlangga yang sejak tadi cuma mengamati pun berbisik, “Kayaknya aku juga harus pergi. Aku nggak bisa cuma duduk gini.”
“Beneran?” Nabila langsung bangun. Ia terlihat khawatir. “Kalau kamu pergi aku juga.”
“Jangan! Bahaya!” cegah Erlangga.
“Gimana kalau pas kamu pergi ada apa-apa di sini?”
Benar juga. Memangnya siapa yang bisa menjamin kalau ruangan ini lebih aman daripada di dalam lorong?
“Oke,” kata Erlangga akhirnya. “Tapi kamu harus terus di dekat aku.”
“Iya.” Nabila mengangguk.
Erlangga mencari di antara banyak senjata yang mungkin bisa ia gunakan. Pedang kelihatan bagus, tapi bobotnya lumayan. Perlu otot terlatih untuk bisa mengayunkan benda seperti itu dengan bebas. Akhirnya ia mengambil belati dan perisai buckler. Memegang belati mirip seperti memegang pisau dapur, dan buckeler meski kecil tapi mudah diangkat dengan satu tangan.
Nabila membawa senjata yang sama.
Akhirnya ada sekitar dua puluh relawan yang bersedia menelusuri lorong. Secara insting mereka membentuk lingkaran terlebih dahulu di depan lorong, lalu berdoa sesuai kepercayaan masing-masing. Seorang bapak berpeci mengajukan diri untuk memimpin ritual tersebut. Setelah itu mereka berangkat memasuki kegelapan.