Gilbert memimpin di depan didampingi Dayat, sang bapak botak bersinglet. Tiap beberapa jarak, ada tulisan-tulisan yang terukir di dinding.
[Gunakan senjata untuk menghabiskan Hit Point monster]
[Monster dengan nama warna hijau memiliki level lebih rendah darimu]
[Monster dengan nama warna hijau tidak agresif]
Kalimat yang absurd bagi mayoritas orang, sehingga Gilbert berusaha sebisa mungkin untuk menjelaskannya.
Erlangga juga menyampaikan apa yang ia ketahui pada Nabila.
“Bang! Bang!” Tiba-tiba seorang pemuda mendekat. Ia berkulit sawo matang akibat terbakar matahari, yang saking gelapnya membuat tato di lengannya sulit terlihat. Rambutnya dicat kuning, telinganya ditindik. Rompi dan celana jeannya sangat lusuh mengeluarkan aroma tidak sedap. Eksistensi yang biasa disebut masyarakat sebagai anak punk.
“Ya?” jawab Erlangga.
“Lelaki kok pakai pisau dapur?” tanyanya lalu tertawa terbahak-bahak. Ia sendiri membawa—dengan agak diseret—pedang yang bilahnya lumayan panjang. Sejenis greatsword. Kemudian matanya jelalatan pada Nabila. Ia memperhatikan lekuk tubuh gadis itu tanpa sungkan-sungkan. Ia bersiul. “Seksi banget mbak.”
Nabila merasa tidak nyaman. Ia berlindung di balik Erlangga, sementara Erlangga tiba-tiba menghantam d**a si anak punk dengan dadanya sendiri. Si anak punk terdorong mundur.
“Yang sopan ya!” hardiknya.
“Jangan sok keras!” Si anak punk melotot. “Kan si mbaknya sendiri yang pakai baju seksi gitu, kalau bukan buat dilihat terus buat apa?”
“Kata siapa?! Kita kan ke sininya ngedadak! Itu bapak-bapak juga cuma pakai singlet!” Erlangga emosi. Dayat menoleh merasa terpanggil.
Memang, tidak ada yang tahu kalau mereka akan dibawa ke tempat ini. Semua cuma mengenakan apa yang menempel di badan saat perpindahan terjadi.
“Udah, udah,” Nabila menepuk bahu Erlangga. Masalahnya si anak punk makin cari gara-gara.
“Oh, emangnya tadi kalian mau ngapain sebelum dibawa ke sini, Bang?”
“Bukan urusan lu!”
Si anak punk mencengkram gagang pedangnya erat-erat. Ia hendak mengayun, tapi karena terlalu berat, ia jadi limbung. Melihat gestur tersebut, Erlangga pun bereaksi. Ia menekan leher si anak punk dengan siku tangannya hingga membentur dinding. Si anak punk berteriak memekik.
Keributan itu lekas mengundang perhatian. Gilbert dan Dayat mendekati mereka.
“Ada apa ini?” tegur Dayat.
“Dia—nyerang—saya Pak!” seru si anak punk seraya berusaha membebaskan diri.
“Dia duluan!” balas Erlangga. “Ganggun tunangan saya!”
“Sudah jangan berkelahi, Bang,” lerai Gilbert. “Kita harusnya kerja sama.”
Erlangga ragu, tapi akhirnya melepas si anak punk. Ia mendesah tidak puas.
Anak punk itu pun terbatuk-batuk. Pernapasannya sudah lega. Jadi ia langsung meninju pipi Erlangga tanpa ba-bi-bu. Hantaman itu membuat Erlangga pusing tujuh keliling. Kepalanya berputar. Ia menabrak dinding di belakangnya.
“Hei! Hei! Sudah! Sudah!” Orang-orang langsung memegangi si anak punk yang mengamuk.
Erlangga ingin membalas, tapi ia juga dipegangi.
Situasi jadi kacau.
“Udah, woi! Udah!” teriak Dayat.
“Uaaargh!!!”
Si anak punk mengayun-ayunkan kepalannya dengan acak. Setelah lepas, ia mengambil pedangnya lalu jalan duluan sambil mengumpat.
“Anjing!”
“Lu yang anjing!” balas Erlangga.
“Udah, Angga, udah,” Nabila memeluknya dari belakang.
Erlangga pun mendesah lagi, makin tidak puas karena belum sempat membalas. Padahal tulang rahangnya masih nyeri.
“Hei! Jangan gerak sendiri!” Gilbert memanggil si anak punk, namun tak ditanggapi.
Nasi sudah menjadi bubur. Rombongan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.
Hati Erlangga dongkol. Sebenarnya hal yang paling membuatnya kesal adalah saat si anak punk mencoba menebasnya menggunakan pedang. Yang benar saja! Andai anak itu membawa pedang yang lebih ringan, Erlangga pasti sudah ditebas. Anak itu mencoba melukai—bahkan membunuh—hanya karena ditegur? Mungkin memang sebuah kesalahan memberi senjata pada orang secara acak. Dan bukan cuma anak itu. Tak ada jaminan kalau orang-orang bersenjata di sini tidak berbahaya.
“Nabila, jangan jauh-jauh dariku,” bisik Erlangga.
“Iya.”
Mereka berjalan paling belakang, mengambil sedikit jarak dari yang lainnya.
Setelah sekitar seribu langkah, rombongan sampai di ruangan seluas lapangan basket. Persis seperti ruangan pertama. Hanya saja di tengah ruangan terdapat makhluk cebol setinggi seratus dua puluh senti. Ia botak, tak pakai sehelai benang pun—bahkan tak memakai kulit. Jaringan otot merah kelabunya terlihat jelas. Kuku-kukunya panjang melengkung seperti kait. Matanya merah membelalak. Rahangnya besar dialiri liur yang tumpah-tumpah. Aroma bangkai tercium dari tiap hela napasnya. Ada sebaris tulisan warna hijau dan bar Hit Point mengambang lima senti di atas kepalanya.
[Ghoul Kecil]
“Ya ampun, makhluk apa itu?!” seru seseorang.
“Jin? Dedemit? Tuyul?”
“Hoek—” Ada yang hampir muntah saat menghirup bau makhluk tersebut.
Mereka ngeri sekaligus keheranan. Seperti sedang menyaksikan makhluk aneh di atraksi rumah hantu pasar malam.
“Pasti itu monster yang dimaksud.” Gilbert memberi pencerahan. “Dan kita harus mengalahkannya.”
“Halah, itu cuma boneka!” seloroh si anak punk, dengan santainya maju ke depan. “Lihat tuh dari tadi diam aja!”
“Tunggu, hati-hati!” cegah Gilbert.
“Jangan cemen!” balas si anak punk.
Setelah cukup dekat dengan sang monster, ia mengangkat pedangnya sekuat tenaga. Lalu ia mengayunkannya. Tapi karena terlalu berat, serangannya meleset. Ia cuma menghantam lantai.
[Miss]
Sebuah tulisan muncul di udara selama beberapa detik kemudian menghilang.
Dan monster yang sejak tadi bergeming tiba-tiba mendelik. Ia membuka rahangnya lebar-lebar, lalu menerkam paha si anak punk.
“AAAAAAAAAAHHH!!!”
Anak itu menjerit. Ia melempar pedangnya kemudian berusaha mendorong kepala sang monster. Tapi kekuatan gigitan makhluk itu bukan main. Saat Ghoul menarik rahangnya, sebongkah daging paha si anak punk ikut terbawa. Darah segar bercucuran deras dari lukanya.
“AAAAAAAAAA!!!”
Ia jatuh lemas. Sekujur tubuhnya gemetar dahsyat.
Gilbert mengambil inisiatif. Ia maju menikam d**a Ghoul Kecil. Sayangnya serangan itu tak dalam, sebab ia tak pernah memakai tombak. Hit Point monster tersebut cuma berkurang sedikit.
Sekarang Ghoul Kecil berganti menyerang Gilbert. Ia mengayunkan cakarnya. Beruntung ujung tombak pemuda bersarang di d**a sang monster, menahan pergerakannya, membuat cakarnya tak sampai. Lalu terjadi aksi saling dorong. Gilbert tak melepas tusukannya karena takut diterkam.
“Support! Support!” teriaknya. “Tolong!”
Tapi tidak ada yang bergerak. Semua was-was tak berani ambil resiko. Apalagi setelah melihat betapa ganasnya gigitan sang monster.
“Aaaaa tolooong!” Gilbert sudah tidak tahan. Ia hampir terdorong jatuh.
Erlangga pun berlari. Ia memutuskan nekat. Ia memutari Ghoul Kecil, lalu menikam jantungnya dari belakang.
[Critical Backstab]
Tulisan notifikasi muncul lagi di udara. Hit Point monster itu berkurang secara signifikan.
Erlangga buru-buru melompat menjauh. Gilbert juga memanfaatkan kesempatan itu untuk mundur.
Melihat keberanian kedua pemuda tersebut, akhirnya Dayat tak mau ketinggalan. Ia mengayunkan tongkat macenya ke wajah Ghoul Kecil. Monster itu terpelanting ke tanah.
Gilbert maju lagi. Ia mengangkat tombaknya tinggi-tinggi, lalu menghujam sang monster yang masih terbaring. Makhluk itu memekik, menggelepas-gelepar, kemudian tergolek lemah. Hit Pointnya habis. Tubuhnya pecah menjadi fragmen-fragmen kecil.
Gilbert melepas tombaknya. Telapak tangannya gemetar. Ini pertama kali ia merasakan sensasi menikam makhluk hidup. Ia baru saja membunuh… seekor monster.
“Berhasil…” suaranya bergetar tapi mengandung ekstasi. Ia mengulangi sekali lagi, lebih lantang. “Kita berhasil!”
“Hah… sempat ngeri!” Dayat mengelus dadanya.
Erlangga terduduk. Jantungnya masih berdebar seperti genderang.
Yang lainnya mengerumuni mereka, mencari-cari sisa jasad sang monster. Mereka tak menemukannya. Makhluk itu seolah hilang menjadi angin. Yang barusan itu nyata atau halusinasi? Siapa yang membuatnya? Kenapa harus dikalahkan? Daripada jawaban, malah makin banyak pertanyaan yang muncul.