Dungeon Tutorial (Part 4)

1168 Words
Si anak punk merintih kesakitan. Ia terguling sambil mencengkram pangkal pahanya dengan maksud menghentikan pendarahan. Tetapi cairan merah tersebut terus mengalir deras. “Tolong… aku bisa mati…” Orang-orang cuma saling pandang, berharap yang lain mengambil inisiatif. Mereka tak berani, khawatir kalau terjadi apa-apa malah disalahkan. Begitu pun Erlangga. Meski kasihan, ia juga masih kesal atas tingkah anak itu. Hanya saja tiba-tiba Nabila maju. “Eh! Bilah!” Gadis itu tak menghiraukan Erlangga. Ia berlutut mengamati luka si anak punk, lalu memutar otak. “Angga, bantuin sobek celananya! Nanti kita pakai untuk mengikat luka.” “Eh… pakai apa nyobeknnya?” jawab Erlangga enggan. “Pakai ini dong…” Nabila menunjukkan belati yang ia dan Erlangga bawa. “Uh… kenapa nggak dibiarin aja sih kehabisan darah—” “Angga!” hardik Nabila. Ia melotot. Sang pemuda pun mengerti bahwa gadisnya serius. “Iya, iya.” Erlangga jongkok, lalu berjuang memotong celana si anak punk. Ia teringat adegan dalam film. Biasanya cara seperti ini dilakukan dokter ketika membuka baju korban kecelakaan. “Aaaaah! Aaaaah!” Si anak punk menggeliat histeris saat Erlangga menyentuhnya. Akhirnya Dayat dan beberapa bapak-bapak lainnya turun tangan ikut memegangi anak itu. “Ini.” Erlangga menyerahkan sepotong kain panjang. Nabila menggunakannya untuk membebat luka dengan telaten. Erlangga terus memperhatikan, dan ia tertegun. Gadis itu, yang kesehariannya seperti anak kesayangan ayah, sebenarnya adalah orang yang sangat peduli pada sekitarnya. Ia tipe yang membawakan satu kantung besar permen untuk dibagi ke teman-temannya yang mengantuk saat kelas kuliah. Atau yang memborong dagangan anak-anak di persimpangan lampu merah. Erlangga tak bisa memungkiri, hal itulah yang membuatnya jatuh hati. Membuatnya malu sendiri karena sempat berpikir membiarkan si anak punk kehabisan darah. “Apa aku akan mati?” tanya si anak punk sambil memejamkan mata. “Tidak hari ini.” Nabila mengencangkan ikatan perbannya. “Auch!” “Sini, biar saya yang nerusin,” ucap Dayat mengambil alih. Ia menekan luka si anak punk agar pendarahannya berhenti. Nabila pun menyingkir. Ia mengambil jarak, lalu duduk. Diam-diam Erlangga melihat tangan gadis itu bergetar berlumuran darah. Ini pertama kalinya Nabila berurusan dengan hal semacam ini. Erlangga melepas kaosnya. “Sini,” ia mengelap tangan Nabila. “Kamu hebat.” Gadis itu hanya diam. Setengah jam kemudian kehebohan berakhir. Si anak punk pucat pasi, tapi pendarahannya sudah terkendali. Ia bisa bernapas lega. “Mbak… Mbak udah nyelametin aku…” ujarnya. “Terima kasih.” “Bukan cuma aku, semuanya juga kan ngebantu,” jawab Nabila. Tapi semua tahu jika bukan karena inisiatif gadis tersebut, tidak akan ada yang bergerak. “Iya, terima kasih semuanya… Maaf ya… Nama saya Udin.” “Nggak papa, yang penting lain kali yang sopan ya sama cewek.” “Iya, Mbak, maaf…” Setelah situasi lebih kondusif, Gilbert mengambil alih perhatian. “Bapak-bapak,” katanya. “Saya masih belum tahu makhluk apa barusan. Tapi paling tidak kita punya gambaran, apa lagi yang mungkin menunggu di lorong berikutnya.” Ruangan itu memiliki dua pintu lorong, satu terhubung ke tempat mereka datang, satu lagi menuju tempat yang harus dijelajahi. “Tapi kita harus kembali dulu,” lanjut Gilbert. “Sesuai janji, kita harus memberitahu situasi ke orang-orang di ruangan pertama. Kita juga harus membuat persiapan yang lebih matang.” Dalam pikiran pemuda itu, percuma membawa senjata kalau tak mengerti cara pakainya. Mereka harus meninjau ulang senjata yang cocok dengan keahlian masing-masing. Atau setidaknya berlatih mengayunkan bilah-bilah itu dengan benar. “Kami menunggu di sini saja, ya,” kata Erlangga. “Kasihan si Udin kalau disuruh jalan bolak-balik.” “Oke.” Gilbert segera mengabarkan temuannya pada orang-orang di Ruangan Pertama. Setelah agak yakin situasi tidak seberbahaya yang mereka pikirkan, semakin banyak yang memutuskan untuk angkat senjata. Selain itu mereka juga penasaran ingin melihat seperti apa monster Ghoul yang dimaksud. Gilbert sempat menghitung, ada tepat seratus orang terjebak di sana. Jenis kelamin dan usianya bervariasi, seolah pemilihan dilakukan secara acak. Rombongan berikutnya berjumlah lebih dari lima puluh orang. Mereka beramai-ramai ke ruangan Ghoul Kecil, lalu lanjut memasuki lorong berikutnya. Erlangga dan Nabila bergabung bersama mereka, sedangkan Udin tetap beristirahat. Ada ukiran-ukiran di dinding seperti sebelumnya. [Monster dengan nama warna jingga memiliki level setara denganmu] [Monster dengan nama warna jingga menyerang bila didekati] Gilbert menjelaskan pada yang lain. Ghoul Kecil tidak agresif, dalam artian ia baru menyerang jika diserang duluan. Sementara lawan yang akan mereka hadapi kemungkinan akan langsung menyerang saat didekati. Jadi semua harus ekstra hati-hati. Sesampainya di ruangan ketiga, ada monster yang bentukannya menyerupai Ghoul Kecil. Bedanya, ukuran tubuhnya lebih besar. Tingginya melebihi rata-rata orang dewasa Indonesia—mungkin sampai seratus delapan puluh sendiri. Hal itu membuat wujudnya terasa lebih mengerikan. Namanya berwarna kuning. [Ghoul Sedang] “Sekarangan dengerin saya dulu,” Gilbert memulai briefing. “Monster itu pasti lebih kuat dari yang tadi. Tapi kita menang jumlah. Kita berlima puluh, dia sendirian. Saya sudah mikirin strategi.” Pemuda itu mulai menjelaskan, dan orang-orang mendengarkan. Beberapa orang diminta maju melakukan simulasi. “Semua paham?” Gilbert mengakhiri. “Paham!” Dengan itu mereka mulai bergerak. Puluhan pria melangkah waspada, mengitari Ghoul Sedang. Mereka membentuk formasi kepungan. “Bilah, kamu di belakangku saja,” kata Erlangga. Gadis itu menurut. Mereka menggenggam belati dan buckernya erat-erat. Lalu tiba-tiba monster itu meraung. “Angkat senjata!” teriak Gilbert. Semua mengacungkan senjata masing-masing. Sang monster berlari acak ke arah seorang pria. “Huaaa!” Orang itu panik. Refleks ia balik badan untuk kabur. “Jangan kasih lolos!” Yang lain menghunuskan pedang dan tombaknya, menghujam sang monster. Makhluk itu terdorong mundur ke belakang. “Bagus! Maju selangkah!” Semua orang bergerak ke depan satu langkah, memperkecil lingkaran yang mereka buat. Tujuannya mempersempit ruang gerak Ghoul Sedang. Monster itu mengedar pandangannya ke sekeliling, lalu menyerang secara acak lagi. Yang diserang berteriak dan agak mundur, tapi senjatanya masih teracung. Ujung bilahnya pun menancap ke tubuh sang monster. “Tetap jaga formasi!” suara Gilbert tak ada habisnya. “Jangan kasih kendor!” timpal Dayat. Orang-orang maju lagi. Tiap Ghoul Sedang menerjang, tubuhnya hanya menjadi sasaran bilah-bilah tajam. Hingga akhirnya lingkaran yang terbentuk benar-benar kecil. Monster itu sudah tak bergerak ke mana-mana lagi. Skakmat. “Sekarang! Tusuk!” Puluhan benda tajam itu pun terhunus. Mereka menikam-nikam sang monster secara brutal bergantian. Makhluk itu mengamuk dan sesekali mengayunkan cakarnya buas, membuat kekacauan. Untungnya tak ada yang terluka. Makin lama orang-orang makin terbiasa, bahkan beberapa tertawa, seperti sedang berburu babi ngepet. Hit Point Ghoul Sedang terus menurun, menurun, menurun, lalu nol. Makhluk itu membunyikan raungan terakhirnya. Setelah itu tubuhnya pecah menjadi fragmen kecil. “Kita menang gaeees!!!” Orang-orang pun berteriak dalam euphoria. Para bapak-bapak tertawa puas, sementara ibu-ibu menonton dari belakang. Rasa takut hilang ketika mereka maju secara berkelompok. Tapi mereka tak yakin apakah pembantaian ini bisa disamakan dengan menyembelih ternak atau membunuh manusia. “Lanjut ke ruangan berikutnya!” Dayat menyerukan yel-yel andalannya. “Jangan kasih kendor!” Sekarang Erlangga merasa seperti sedang berada dalam wahana Dunia Fantasi. Apa setelah mengalahkan monster terakhir mereka bisa pulang? Ia harap demikian. Sayangnya kadang kenyataan berbanding terbalik dengan harapan.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD