[Ruangan terakhir]
[Monster dengan nama warna merah memiliki level lebih tinggi darimu]
[Monster dengan nama warna merah menyerang begitu melihatmu]
“Lihat, ruangan terakhir!”
“Sip, sip!”
Orang-orang sangat bersemangat.
“Jangan senang dulu, lihat itu! Warna merah!” kata Gilbert seraya menunjuk, tapi ekspresinya sendiri sudah tidak sekaku awal-awal. Ia tampak lebih santai dan menguasai keadaan. “Indikator warna dalam game biasanya relatif terhadap level individu. Jadi kalau kita melihat namanya warna merah, kekuatannya pasti lebih tinggi dari kita. Tapi selama kita kerja sama kayak tadi, saya yakin kita bisa menang.”
“Iya, iya, Nak,” Dayat menepuk-nepuk bahu Gilbert. “Kamu ngingetin sama anak saya. Ambisinya besar. Dia pengen banget kuliah di UI kayak kamu. Saya udah bilang bapaknya cuma satpam, tapi dia maksa mau cari beasiswa.”
“Salut sama anak Bapak,” jawab Dayat. “Cewek apa cowok, Pak?”
“Cowok, kan udah saya bilang mirip kamu.”
“Yah… Padahal kalau cewek mau minta dikenalin, hehe.”
“Kalau cewek malah saya larang masuk UI biar ngga ketemu kamu.”
“Jangan gitu dong, Pak…”
“Bercanda, bercanda.”
Keduanya tertawa.
Lalu rombongan tiba di Ruangan Terakhir. Ruangan kali ini memiliki desain berbeda dari sebelumnya. Ada jembatan setapak yang lebarnya cuma sekitar satu keramik empat puluh senti. Samping kanan dan kirinya adalah jurang hitam tak berdasar. Di ujung jembatan terdapat lapangan persegi yang dihuni oleh satu monster berukuran raksasa. Tubuhnya tinggi, mungkin sampai dua ratus empat puluh senti. Makhluk itu menatap lurus ke arah orang-orang, seperti sedang menanti kedatangan mereka.
[Ghoul Besar]
Ngeri.
“Kita nyebrang nih?” seseorang mengintip ke jurang. Ia bergidik.
“Ya mau gimana lagi?” Gilbert ikut mengintip ke jurang. Bahunya merinding.
“Jembatannya sempit, baris satu-satu, ya!” pandu Dayat. “Yang rapi!”
Gilbert menjadi yang pertama. Ia menelan ludah.
“Jangan lihat ke bawah, lihat ke depan saja!” serunya. Ia menggunakan tombaknya seperti tongkat jalan agar seimbang.
Satu persatu orang mengikuti.
“Pegangan tanganku,” kata Erlangga. Nabila meraihnya. Mereka berjalan bertuntunan. “Anggap aja jalan di lantai biasa.”
“Lantai biasa di rumahku nggak ada yang ada jurangnya gini.”
Erlangga tertawa. Kelihatannya gadis itu akan baik-baik saja.
Setelah penyebrangan yang terasa lama, sebagian besar orang sudah menjejakkan kaki di lapangan utama. Gilbert segera mengatur formasi.
“Maju pelan-pelan, ya.”
Pemuda itu menggenggam tombaknya. Ia melangkah sedikit-sedikit, memimpin yang lainnya. Mereka bermaksud melakukan pengepungan seperti saat menghadapi Ghoul Sedang.
Namun, tiba-tiba Ghoul Besar berlari. Tubuh raksasa itu membuat langkah-langkahnya menggetar daratan. Ia membuka kedua cakarnya yang panjang, lalu mencabik.
Gilbert spontan melintangkan tombak. Dan tombak itu hancur terbelah dua. Lalu cakaran berikutnya mencabik d**a pemuda itu. Ia bahkan tak sempat terkejut. Ia terpelanting ke belakang. Ia tak bergerak lagi. Mungkin mati seketika. Darahnya mengalir membentuk kubangan.
Semuanya membeku. Monster itu tidak seperti yang sudah-sudah. Keganasannya nyata.
Ghoul Besar meraung terekstasi, menikmati darah pertama yang ia tumpahkan.
Keraguan pun menjalar di antara orang-orang. Mereka masih terpaku melihat jasad Gilbert, sambil berharap pemuda itu bangun lagi. Sayangnya tidak.
Sang monster maju menerkam mangsa berikutnya. Ia mencabik seorang wanita yang tak berdaya. Badannya terkoyak hingga tulangnya mencuat keluar.
“Mundur! Mundur! Kabur!”
Semua langsung lari berbondong-bondong ke jembatan.
Nabila ingin melakukan hal yang sama, tapi Erlangga segera menarik lengannya.
“Jangan sekarang!”
Benar saja. Jembatan setapak itu menjadi akhir bagi mereka yang berebut untuk lewat. Orang-orang saling dorong, lalu tergelincir ke jurang. Mereka berjatuhan seperti daun yang lepas dari tangkainya. Tapi di sisi lain mereka juga tak punya privelese untuk mengantri dengan tertib. Sebab ada monster raksasa mengamuk di barisan belakang.
Satu-persatu manusia tumbang, menghasilkan jasad-jasad bergelimpangan. Jeritan pilu dari mereka yang terluka parah tapi masih bernapas membuat atmosfer makin mencekam.
Nabila memuntahkan cairan dalam perutnya. Tubuhnya tak bertenaga. Otaknya tak bisa memproses pemandangan tersebut.
Kenapa?
Kenapa orang-orang harus mati seperti ini?
“Menyebar!” teriak Erlangga. “Jangan berkerumun di jembatan!”
Tak ada yang mendengarkan. Hanya beberapa yang saking putus asanya memilih lari ke sisi lain lapangan.
Erlangga menatap persenjataannya dengan pasrah. Belati dan buckler kecil itu jelas tak bisa berbuat banyak. Paling tidak ia harusnya membawa perisai paling besar.
Pandangannya berkunang-kunang.
Ia tahu apa itu rasa takut, tapi bukan yang seperti ini. Ketakutan dunia modern adalah penolakan, kehilangan, perubahan, kesendirian. Itu bisa ia hadapi. Tapi yang dialaminya sekarang adalah ketakutan primitif, yang dirasakan leluhur manusia sebelum peradaban.
Ghoul Besar sudah selesai berpesta. Ia tak mengejar orang-orang yang berada di atas jembatan. Sebaliknya, ia mengalihkan fokusnya pada mereka yang masih berpijak di area kekuasaannya. Monster itu menoleh pada Erlangga dan Nabila.
Napas keduanya pun memburu.
Erlangga menggenggam pergelangan tangan Nabila yang sedingin es.
“Apapun yang terjadi, aku akan di sini.”
Nabila terisak.
Ghoul Besar menerjang.
“Woi!”
Tiba-tiba Dayat berlari mengayunkan tongkat macenya. Benda itu menghantam tempurung lutut sang monster, membuat memekik lalu jatuh tersungkur.
“Sekarang! Lari!” teriak Dayat.
Erlangga tersentak. Ia langsung menarik tangan Nabila. Mereka berjuang melewati tumpukan jasad.
Dayat mengayunkan senjatanya lagi untuk menggeprek kepala Ghoul Besar. Namun, monster itu lebih dulu mencabik tubuhnya. Pria itu langsung tersungkur ke lantai.
Erlangga tak menoleh. Kepalanya terpaku ke depan. Rahangnya tererat.
Ghoul Besar mengejarnya. Dari getaran langkah kakinya, pemuda itu bisa tahu sang monster sudah hampir mencapainya. Raungannya membahana.
Makhluk itu melompat. Cakarnya membentang lebar.
Erlangga menarik Nabila, lalu memeluknya erat-erat.
“Aaaaah!”
…
…
…
Pemuda itu merasakan tubuhnya masih utuh.
Tidak terjadi apa-apa.
Pelan-pelan ia mengintip.
Ghoul Besar berdiri hanya berjarak satu langkah darinya. Kedua matanya melotot. Aroma busuk napasnya tercium. Tapi makhluk itu mematung. Sebab Erlangga sudah berdiri di atas jembatan. Kelihatannya ada aturan-aturan sistem yang tak bisa dilanggar oleh sang monster. Lapangan adalah area berburu, sementara jembatan adalah area yang tak bisa dimasuki.
Ghoul Besar mendengus, lalu berbalik mengejar sisa orang yang masih berada dalam domainnya.
Erlangga menyaksikan dengan ngeri, tapi tak ada yang bisa ia perbuat. Nasibnya saja bisa dibilang beruntung sebab Dayat—yang sekarang terkapar—membantunya.
Ia terus mendekap Nabila erat-erat. Ia memejamkan mata, tapi telinganya masih mendengar jeritan. Ada yang pasrah menjadi mangsa, ada juga yang lebih memilih lompat ke jurang.
“Jangan lihat ke belakang,” bisiknya pada Nabila. “Kita kembali, ya?”
Sedikit-sedikit mereka menyusuri jembatan untuk bergabung dengan penyintas lain.
Sesaat yang lalu wajah mereka masih menyiratkan harapan, tapi sekarang yang berkuasa adalah keputusasaan.
Kalau begini caranya, bagaimana mereka bisa melewati Ruangan Terakhir?