“Selamat malam, Dik Nabila.”
Pria yang mendekati gadis itu adalah Saleh. Ia menyapa dengan sangat bersahaja.
“Je—Jendral Besar!” Nabila tersentak. Ia buru-buru bangun. “Malam, Jendral.”
“Santai aja, duduk lagi,” ucap pria itu sambil duduk agar sang gadis mengikuti. Sebelah tangannya menyangga ke meja. Ia melempar tatapannya ke permukaan laut yang memantulkan kerlip bintang. “Gimana pemandangannya? Saya sengaja membangun menara ini supaya orang-orang bisa santai sejenak menikmati alam.”
“Bagus, Jendral,” jawab Nabila.
Sang jendral senang mendengarnya.
“Lalu, gimana latihannya dengan Jendral Norman? Kalian berburu di Dungeon Pekanbaru, kan?”
“Lancar, Jendral. Kurang lebih sekarang saya sudah paham dasar-dasar berburu.”
“Syukurlah. Katanya Dik Nabila cepat belajar. Mungkin ndak lama lagi kita bisa menaklukan Dungeon Makassar sama-sama.”
“Siap, Jendral.”
Saleh melirik mie ayam milik Nabila yang sama sekali belum disentuh. Sayang sekali makanan seenak itu dibiarkan dingin. Maka ia berbicara dengan nada simpatik, “Apa ada yang mengganjal di hati Dik Nabila?”
Gadis itu sedikit kaget mendengar pertanyaan tersebut.
“Uh… nggak ada apa-apa, Jendral.”
“Sebagai ketua partai, adalah tugas saya memastikan seluruh kader Beringin Kuning dalam kondisi baik,” lanjut Saleh.
“Ah… iya…” Nabila menyerah. “Saya… cuma merasa kurang cocok. Saya merasa dunia ini bukan untuk saya…”
Saleh mengerutkan kening, “Kenapa?”
“Saya nggak ngerti. Mungkin Erlangga ngerti. Tapi saya nggak ngerti dunia ini.”
Sang jendral ingat, itu adalah nama tunangan Nabila yang terbunuh di Dungeon Tutorial.
“Setiap hari saya bangun, berburu monster, pulang, tidur, bangun, berburu monster, pulang, tidur. Saya terus bertanya-tanya, sampai kapan?”
Saleh mengangkat jari telunjuknya. “Saya paham. Dik Nabila pasti rindu rumah.”
Gadis itu mengangguk.
“Saya yakin semua orang pun merasakan yang sama. Kita semua rindu rumah. Rindu kehidupan yang tenang, ndak ada monster, ndak perlu berburu. Di dunia ini nggak ada HP, mainan anak-anak seumuran Dik Nabila. Di sini juga nggak ada mall. Nggak ada kafe. Nggak ada segala-galanya. Tapi sebenarnya justru itu alasan saya membangun semua ini. Menurut Dik Nabila, apa yang saya buat?”
Gadis itu berpikir sejenak. “Benteng?”
Saleh menggeleng, “Salah.”
“Hmm… Partai?”
“Kurang tepat,” kata Saleh lagi. “Yang saya bangun adalah peradaban.
“Saat ini semua sedang berjuang. Cuma seperti yang tadi Dik Nabila bilang, perburuan selama bertahun-tahun ini mungkin mulai mematikan jiwa kita sebagai manusia. Rutinitas ini tidak masuk akal dan tidak ada ujungnya.
“Tapi di dalam benteng ini saya membangun kafetaria, acara pertunjukan bakat, komunitas, adalah agar orang-orang tidak lupa akan peradaban. Agar sambil menunggu seluruh dungeon ditaklukan, mereka bisa merasakan apa yang disebut ‘rumah’. Bukan sekadar basecamp militer.”
Nabila meresapi kata-kata Saleh. Benar, bukan cuma ia yang menderita. Di luar, semua orang mungkin terlihat beradaptasi dengan dunia baru ini. Tapi di dalam hatinya pasti juga merindukan rumah.
***
Tak terasa malam pertunjukan bakat tiba. Mereka menggelarnya di Gedung Serba Guna, sebuah gedung berukuran besar yang dapat menampung ratusan orang di dalamnya. Panggung didekorasi dengan meriah, menghadap barisan kursi yang terisi penuh oleh kader Beringin Kuning dari seluruh kasta.
Tujuh kursi sofa hitam di baris paling depan adalah tempat bagi tujuh jendral.
Di belakangnya ialah tempat para pejabat dan penjelajah elit pemilik akik peringkat B ke atas. Para petarung garis depan yang turun langsung menaklukan Dungeon Makassar. Ada juga instruktur-instruktur seperti Andreas dan Diana. Kemudian orang-orang berpotensi atau penjelajah yang bertugas mencari item langka di dungeon kelas atas.
Sementara bagian tengah hingga ujung diisi kader biasa dengan peringkat C sampai D. Mereka adalah tim pendukung yang setiap harinya menjelajah dungeon-dungeon kelas menengah ke bawah untuk mencari makanan dan material.
Suara riuh mengisi ruangan masif tersebut. Mereka mengobrol dan sesekali tergelak, menikmati momen santai yang jarang-jarang ini.
Saleh asyik menghisap cerutu. Ia duduk di sofa paling tengah. Di sebelah kanannya ada Murdani, sedangkan kursi sebelah kirinya ditempati Lela si Jendral Kancil.
“Siapa suruh duduk di situ?” tanya Saleh pada Lela.
“Sebagai tangan kiri Jendral Besar bukankah sudah sepatutnya saya duduk di sebelah kiri Jendral Besar?”
“Sejak kapan kau jadi tangan kiriku?”
“Bukankah saya yang selalu menyiapkan segala kebutuhan, termasuk mengatur acara ini?”
“Kalau begitu jangan duduk di sini! Sana keluar, pastikan para rekrutan baru memberi pertunjukan yang bagus!”
Lela cemberut, tapi tak bisa menolak perintah sang jendral. Ia pergi meninggalkan kursinya.
Deret sebelah kanan Saleh diisi para jendral laki-laki—Murdani, Norman, dan Baron sang Jendral Penerangan. Baron adalah pria usia tiga puluhan awal dengan ekspresi keras. Ia duduk bersedekap sembari mengetuk-ngetukkan sol sepatunya ke lantai. Ia sudah tidak sabar menunggu pertunjukan dimulai.
“Jendral Norman, gimana si Nabila itu, apa beneran hebat?” tanyanya untuk mengalihkan pikiran.
“Nabila… iya, hebat,” jawab Norman.
Dialog selesai.
Baron harus memutar otak mencari topik pembicaraan berikutnya.
Sementara di deretan sebelah kiri Saleh ditempati para jendral perempuan—Lela yang tadi sudah pergi, Juny sang Jendral Malas, dan Meyrissa sang Jendral Ketahanan Pangan.
Saleh memperhatikan mereka.
Juny adalah wanita berumur dua puluhan akhir. Parasnya cukup menarik. Ia memiliki potongan rambut sebahu dan mengenakan setelan serba putih—mulai dari dalaman korset, jaket, rok pendek, hingga sepatunya. Saleh ingin mengobrol dengannya, tapi sayang wanita itu sedang ketiduran karena menunggu acara yang tidak mulai-mulai.
Di sebelah wanita itu, Meyrissa sedang sibuk menggiling beragam camilan yang ia keluarkan dari Inventory. Gadis berambut jingga tersebut seolah tidak peduli meski saat ini ukuran lemak dalam tubuhnya harus ditopang oleh dua sofa panjang.
Saleh berdeham.
“Murdani sahabatku, apa tidak ada wanita yang tepat yang bisa menjadi tangan kiri saya?”
“Saya akan terus berusaha, Jendral,” jawab Murdani.
“Terima kasih.” Saleh menepuk-nepuk lutut sahabatnya itu.
Akhirnya acara yang dinanti-nanti pun dimulai. Seorang pembawa acara naik ke atas panggung. Ia adalah pria gemuk dengan sisiran rambut necis. Jas birunya berkelap-kelip, dihias dasi kupu-kupu merah.
“Selamat malamnya semuanya!” Suaranya lantang bersahaja. “Pertama-tama saya panjatkan terima kasih kepala Jendral Besar Saleh yang karena kristalisasi kreativitasnya telah membuat acara yang luar biasa ini! Sebuah ajang persahabatan antara kader-kader senior dan kader junior.”
Sontak seluruh hadirin bertepuk tangan.
“Terima kasih Jendral Besar!” teriak beberapa simpatisan fanatik.
Saleh berdiri, lalu melambai ke semua orang. Ruangan menjadi semakin heboh.
“Suasananya sudah panas, ya,” lanjut sang pembawa acara. “Kalau begitu langsung saja, kita sambut penampilan pertama… Seorang pemuda dengan suara emas… Dialah… Udin!”
Pria itu turun dari panggung, digantikan oleh Udin yang langsung berlari dengan antusias.
“Good night! Good night!” Pemuda itu melambaikan tamborinnya ke udara. “Mana suaranya?!”
Penonton bergemuruh riuh.
“Mantap!”
Lalu perlahan orang-orang menutup mulutnya untuk menyimak apa yang akan ditunjukkan Udin. Pemuda itu mulai memainkan tamborinnya dengan tempo sedang.
“Di SuAtU hArI tAnPa SeNgAjA kItA bErTaMu—”
Seolah tidak belajar dari pengalaman.
Sebuah tomat melayang lagi, kali ini tepat mengenai dahinya.
[Critical]
Hit Point pemuda itu berkurang sedikit.
“Eh? Eh?”
Rupanya item yang dilempar oleh seorang Marksman dengan Dexterity tinggi mampu melukai targetnya.
“Cempreng! Suaramu menyakiti telinga Jendral Besar!”
Tomat-tomat lain pun beterbangan bagai hujan proyektil. Panggung itu berubah menjadi medang perang. Udin cepat-cepat lari sebelum terbunuh di atasnya.
“Hahahaha, saya lupa ngasih tahu,” ucap pembawa acara sembari petugas membersihkan panggung. “Lempar tomat adalah tradisi, bagian dari acara ini, hukuman untuk penampil-penampil yang buruk!”
Seketika rekrutan baru yang sedang menunggu giliran menjadi tegang. Apalagi para penjelajah bertipe Mage atau Support yang memiliki pertahanan fisik rendah. Bisa-bisa mereka tak berhasil melewati malam ini hidup-hidup.
Para penonton tertawa, mengenang dirinya sendiri yang dulu juga mengalami siksaan serupa.
Lela tersenyum puas dari pinggir ruangan. Biasanya setelah acara ini selesai, seluruh panggung akan merah seperti banjir darah.
Peserta berikutnya pun naik untuk menampilkan pertunjukan. Ia adalah pria paruh baya yang tak mampu menutupi ketegangan di wahanya. Kedua matanya melotot. Ia berjalan seperti robot, kemudian berdiri menghadap penonton seperti tiang listrik. Ia menarik napas kikuk lalu mulai bernyanyi. Nadanya sangat datar, sedatar papan cuci. Tomat pun melayang. Ia turun dari panggung sambil menangis.
Hiburan sesungguhnya dari acara ini bukanlah pada penampilan bakat rekrutan baru, melainkan pada acara lempar tomatnya. Sejak awal para penonton sudah menyimpan banyak tomat di dalam Inventorynya. Mereka terus menunggu penampilan jelek untuk melatih lemparan.
Satu-persatu rekrutan baru dipermalukan.
Hingga akhirnya tiba giliran Nabila.
“Penampilan berikut sekaligus penampilan penutup,” ucap si pembawa acara. “Bagaimana dengan ramalan cuaca? Apakah akan ada badai tomat?”
Orang-orang tertawa.
“Sekarang kita sambut! Nabila dan tim perkusi!”
Lela ingat nama itu. Siapa lagi kalau bukan gadis tengil yang menarik perhatian Jendral Besarnya. Ia segera menyiapkan tomat di tangan.
Nabila pun naik ke atas panggung dengan langkah-langkah yang anggun. Rambutnya tergerai. Ia mengenakan bedlah, yakni kostum penari khas timur tengah. Atasannya berupa bra dan kain yang melilit di lengan dengan corak kembang-kembang merah. Kain putih dan merah terikat dari pinggangnya, dihias sabuk manik-manik berkilauan. Sebuah selendang panjang tersampir di kedua bahunya, menjuntai hingga ke lantai.
Seketika penampilannya menarik perhatian tiap pasang mata dalam Ruang Serba Guna. Saleh pun terpana hingga ia tak sadar cerutunya lepas dari jepitan jari.
Lela menggeram, tapi ia berjuang mendinginkan kepala. Ia mengingatkan dirinya bahwa yang terpenting dari ajang ini bukan sekedar tampilan luar, tapi penampilan ‘bakat’nya.
Udin dan Yosep yang sekujur tubuhnya masih mandi tomat mengikuti di belakang Nabila. Mereka membawa peralatan perkusi.
Ketiganya memberi salam pada hadirin, lalu menempati posisi masing-masing. Nabila berdiri di tengah panggung, sementara Udin duduk di atas kotak perkusi dan Yosep memegang tamborin.
“Siap?” bisik Udin.
Nabila dan Yosep mengangguk.
“Satu, dua, tiga!”
Sesuai aba-aba Udin, mereka mulai memainkan musik.
Kemudian Nabila menari. Ia menggerakkan tubuhnya mengikuti irama, meliuk dan bergoyang dengan sangat luwes. Sudah lama ia tak melakukan ini, setidaknya sejak ia terculik ke Nusantara. Segala kengerian dan perjuangan yang ia hadapi membuatnya lupa akan hal-hal apa yang bisa membuatnya bahagia.
Sebelum menjadi selebgram, ia adalah seorang penari. Ia suka mencuri perhatian, dan menghibur orang-orang yang menyaksikan tariannya.
Pembicaraannya dengan Saleh tempo hari menyadarkannya, bahwa semua penjelajah di dunia ini pun merasakan penderitaan yang sama. Mereka berjuang setiap hari agar bisa pulang ke kampung halaman. Dan ia ingin setidaknya berkontribusi, menghibur jiwa-jiwa yang lelah itu.
Seni menciptakan momen yang mengingatkan para pejuang pada peradaban. Sebuah harta yang nyaris tergerus oleh keseharian berburu.
Juny yang sejak tadi tidur sekarang kedua matanya terbuka. Meyrissa berhenti makan. Para kader partai tak bisa melepas tatapan terpana. Tak setiap hari mereka bisa menyaksikan pertunjukan tarian profesional di dunia ini.
Lela pun ternganga. Ia mengurungkan niatnya untuk melempar tomat. Kalau macam-macam, ia bisa dihukum berat oleh Saleh.
Tanpa terasa lima menit berlalu. Nabila mengakhiri tariannya. Musik selesai dimainkan. Para penonton masih senyap, belum menyadari bahwa pertunjukan sudah selesai. Baru ketika gadis itu merundukkan badan, Saleh bertepuk tangan dengan antusias. Ia beranjak dari sofanya. Jendral-jendral yang lain pun mengikuti. Lalu seluruh kader partai.
Seluruh ruangan menjadi bergemuruh seolah diterpa hujan tepuk tangan.
“Hebat! Hebat! Bravo!” seru Saleh. “Dik Nabila adalah berkah bagi Beringin Kuning! Sekarang kita punya penari!”
“Nabilaaa I love you!!!” teriak seseorang dari barisan belakang.
Mereka bersahut-sahutan.
Kali ini bukan tomat yang dilempar, melainkan kuntum bunga. Para Marksman melemparnya ke panggung, mengubah tempat itu seperti taman bunga.
“Terima kasih! Terima kasih!” seru Udin bahagia. Meski pertunjukan pertamanya kacau, setidaknya ia mendapat kejayaan melalui pertunjukan ini.
Nabila telah menemukan satu hal kecil yang bisa menghubungkannya dengan dunia asalnya. Ia adalah penghibur, dan mungkin itulah perannya di dunia ini. Sebagai penyemangat bagi para penjelajah.