Kembali ke Erlangga.
Pemuda itu mengusap peluh di keningnya. Ternyata perjalanan dari Dungeon Aceh ke Dungeon Medan lumayan jauh. Bahkan setelah menempuh perjalanan selama berhari-hari, ia masih belum sampai ke tempat tujuannya.
“Grook… grook… grook…”
Seekor makhluk berkaki empat yang tak diundang menghalangi jalannya.
[Bagong]
Monster berbentuk babi hutan dengan ukuran tubuh yang tidak umum. Taringnya panjang mencuat. Rambutnya yang hitam tampak runcing seperti jarum. Ia menatap Erlangga penuh kebencian.
“Grook!”
Sang Bagong melakukan serudukan.
“Whoa!”
Erlangga melompat ke samping.
[Miss]
Monster itu berusaha mengerem. Erlangga memanfaatkan kesempatan tersebut untuk memberi serangan balasan.
“[Dual Scratch]!”
“Grook!!!”
Setelah baku hantam beberapa saat, pemuda itu berhasil membereskan si babi hutan.
[Anda mendapatkan 1 Daging Bagong Mentah]
[Anda mendapatkan 1 Taring Bagong]
[Anda mendapatkan 1 Kulit Bagong]
[Anda mendapatkan 1 Skematik Tenda Sederhana]
“Ah! Skematik!”
Akhirnya ia mendapatkan Skematik setelah mengalahkan puluhan Bagong. Ia ingat Skematik pertamanya adalah [Skematik Rakit]. Ia mengecek penjelasan dari item tersebut.
[Skematik Tenda Sederhana]
[Penjelasan : Skematik untuk membuat tenda sederhana]
[Material : 20 Kulit Bagong, 5 Batang Kayu, 5 Tali Akar]
Erlangga mengagguk-anggukkan kepala. Akhirnya ia tahu bagaimana cara tenda-tenda di Desa Pertama dibuat.
Dan jika Kulit Bagong bisa digunakan untuk membuat tenda, seharusnya Taring Bagong pun punya kegunaan. Mungkin untuk membuat senjata? Bisa jadi.
Ia menepi sebentar, berteduh di bawah sebuah pohon yang daunnya rimbun. Ia membuka layar Inventory. Masih ada persediaan Jelly Drink. Itu adalah minuman langka yang ia dapatkan setelah mengalahkan puluhan Bola Jeli. Bentuknya bulat kecil seperti bola pingpong. Bisa disedot atau ditelan sekaligus. Rasanya nyaris tawar, tapi ada kesan manis-manisnya. Setidaknya itu adalah selingan menyegarkan di antara daging-daging mentah yang ia konsumsi.
Tiba-tiba dahan sebuah pohon yang berada tak jauh dari Erlangga bergerak sendiri. Ia langsung siaga.
“Ada Beruk, kah?”
Beruk adalah monster yang terkadang melompat-lompat di antara pepohonan.
Namun, pohon itu bergerak makin liar padahal tidak ada angin. Dua dahannya mengayun seperti tangan. Kemudian keluar sepasang kaki yang menggerakkan tubuhnya. Di batangnya terukir dua lubang dan satu garis yang membentuk wajah. Makhluk itu berteriak parau.
“Krraaaaakkh!!!”
[Pohon Hidup]
“Monster?!”
Makhluk itu mengayunkan cakarnya. Erlangga berhasil menghindar tepat waktu.
“Sial, mau istirahat aja susah!”
Pemuda itu balas melancarkan serangan bertubi-tubi. Tetapi kulit luar sang monster sangat keras. Dan dengan sekali hantaman, Erlangga terpental jauh.
“Sial…”
Kelihatannya Pohon Hidup memiliki level yang lebih tinggi dari Bagong. Mengalahkannya akan sulit. Sisi baiknya, exp yang diberikannya pasti lebih banyak. Kebetulan nyawa Erlangga juga masih utuh, jadi ia tak perlu takut.
“Hiyaaaaa!!!”
Ia maju menerjang.
Setelah pergulatan yang memporak-porandakan pepohonan di sekitarnya, akhirnya monster itu tumbang.
[Anda mengalahkan Pohon Hidup]
[Anda mendapatkan 30 exp]
[Anda mendapatkan 1 Batang Kayu]
[Anda mendapatkan 1 Tali Akar]
Ternyata exp nya masih lebih rendah dari Manananggal. Namun, ia mendapatkan Batang Kayu dan Tali Akar—material yang bisa digunakan untuk membuat Tenda Sederhana. Berarti ia perlu memburu lebih banyak Pohon Hidup agar nanti malam bisa tidur di dalam tenda.
Maka ia menghabiskan hari itu mencari sang monster yang berkamuflasi di antara pepohonan.
***
Erlangga tiba di sebuah persimpangan—ke kanan dan kiri. Tapi tidak ada papan petunjuk jalan mana yang mengarah ke Dungeon Medan. Selain itu ia juga tak ingat peta Pulau Sumatra. Intinya ia tak yakin harus ke mana.
“s**t…”
Kembali ke Desa Pertama bukan pilihan. Selain jaraknya berhari-hari, belum tentu juga mereka tahu.
Mungkin satu-satunya jalan adalah dengan mencoba secara acak. Toh kalaupun salah jalan ia tinggal kembali.
Maka pemuda itu memilih jalur kanan.
Setelah satu hari satu malam, pilihan itu membawanya ke wilayah dataran tinggi. Jalannya semakin lama semakin menanjak. Udara terasa lebih sejuk dan tipis.
Malamnya hujan turun deras. Dinginnya menusuk sampai tulang. Bahkan dengan level yang sudah ditingkatkan, Hit Point Erlangga tetap berkurang karena efek [Freeze]. Sepertinya di zona yang berlevel tinggi cuacanya bisa memberi efek yang lebih keras bagi petualang.
Ia segera membuka Tenda Sederhana yang sudah dibuat sebelumnya. Hanya dengan beberapa sentuhan di layar Inventory, benda itu termaterialisasi di hadapannya. Ia buru-buru masuk ke dalam. Namun, hawa dingin tetap menyergap. Akhirnya ia berbaring meringkuk seperti ulat.
Pemuda itu berandai-andai, kalau saja sekarang ada mie instan kuah rasa ayam bawang dengan telur dan daun sawi… rasanya pasti nikmat sekali. Aromanya… Kehangatannya… Kelezatannya…
Ia menelan liurnya sendiri.
Dua bulan tanpa makanan yang beradab telah membuat lidahnya mati rasa.
Ah, kalau dipikir-pikir, memangnya seperti apa rasa mie instan kuah rasa ayam barang?
Ia lupa.
Perjalanan ini sangat sepi. Selama berhari-hari tak seorang penjelajah pun yang berpapasan dengannya. Mungkin karena ini adalah area berlevel rendah sehingga umumnya orang-orang tak ada keperluan ke sini. Seperti dalam game, tidak banyak yang bisa dieksplorasi dari kota permulaan.
Erlangga memejamkan mata.
***
Keesokan paginya langit cerah. Udara paska badai terasa sangat segar.
Erlangga melanjutkan perjalanan dengan semangat baru. Ia ingin cepat sampai kota supaya bisa mencari pakaian yang lebih layak. Baju dari bahan goni ini banyak sekali kutunya sehingga membuat tubuhnya gatal-gatal.
Menjelang sore ia memasuki hutan yang unik. Pepohonannya besar dan tinggi, tetapi mati. Kulit batangnya hitam pekat. Ranting-rantingnya tak berdaun. Mengingatkan pemuda itu pada area hutan mati Gunung Papandayan, tapi dengan skala yang jauh lebih besar.
Ia berhenti sejenak untuk menarik napas.
Bicara soal Papandayan, itu mengingatkannya pada momen hiking bersama Nabila dan beberapa teman lainnya. Waktu itu seru sekali. Walau perjalanannya menguras tenaga, tapi senda guran membuat segala letih terlupakan. Tidak seperti sekarang, ia harus menelusuri gunung sendirian. Kalau ia mati di sini pun tak akan ada yang tahu.
Erlangga menghembuskan napas. Uap putih keluar dari mulutnya.
Sepertinya dataran semakin tinggi.
Kabut juga mulai turun, menelan sosok pohon-pohon di kejauhan.
Apa sudah hampir malam?
Ia lanjut berjalan sedikit lagi. Kakinya tersandung. Ia jatuh terjerembab. Rupanya ada sebatang kayu melintang, separuh bagiannya terkubur tanah.
“Bahaya…”
Ia melihat sekeliling.
Ia terdiam.
Ia menggaruk-garuk pelipisnya.
Ia tak menemukan jalur setapak yang seharusnya ia ikuti.
“Uh… kok bisa…”
Erlangga tak yakin sejak kapan jalur setapaknya berakhir, atau sejak kapan ia keluar dari jalur setapak. Padahal ia cuma berjalan lurus terus. Sama seperti dalam game RPG, sejak mendarat di pesisir Zona Aceh sampai sekarang selalu ada jalur setapak. Dengan begitu penjelajah tak akan tersesat. Tapi kini jalur itu menghilang.
Kabut makin tebal menghalangi pandangan.
“Istirahat dulu kali ya.” Ia duduk di atas batang kayu yang tadi menjegalnya. “Lanjut lagi besok pagi.”
Namun, sayup-sayup terdengar suara.
Kecil, terbawa angin dari kejauhan.
Alunannya rendah dan panjang.
Tapi tidak seperti suara monster.
Lebih seperti…
…isak tangis perempuan.
Sekujur kuduh Erlangga langsung merinding.
Ia menelan ludah.
“Glek…”