Hutan Begu (Part 2)

1243 Words
Erlangga menahan napas agar pendengarannya tidak terganggu suara napasnya sendiri. Ia memasang telinga baik-baik. Suara itu sayup-sayup hilang, sayup-sayup terdengar. Ia jadi ingat cerita-cerita seram dalam pendakian. Soal perempuan yang ditemui di atas gunug, tapi ternyata perempuan itu adalah— Ia menepuk pelipisnya untuk mengusir pikiran tersebut. “Emangnya ada hantu di Nusantara? Berarti hantunya juga ikut kena culik dong? Hahahaha.” Ia memicingkan mata menggunakan skill Night Vision. Tapi ternyata tebalnya kabut masih sulit ditembus. Ia makin ragu. Tapi bagaimana kalau itu adalah suara penjelajah yang membutuhkan bantuan, seperti saat ia melihat Rama dan Sinta? Ia membulatkan tekad. “Ha—lo?!” teriaknya. “Siapa itu?!” Tak ada jawaban. Mungkin jarak mereka terlalu jauh. Perlahan Erlangga melangkah ke depan. Setidaknya ia harus mencari tahu asal suara tersebut. Monster, penjelajah yang butuh pertolongan, atau… Ia menelan ludah. “Fokus, fokus, jangan mikir aneh-aneh…” Pemuda itu berjalan dengan mati-mati. Ada banyak batu, akar, bahkan ceruk yang bisa membuatnya tersandung. Ditambah lagi meski menggunakan skill Night Vision, jarak pandangnya tak lebih dari lima meter. Semakin lama suara tangisan itu semakin jelas. d**a Erlangga mulai berdebar-debar. Ia menarik napas dalam-dalam, kemudian berteriak lagi dengan tergagap. “A—ada ora—ng?!” “To—tolong! Tolong! Aku—di sini—” Ada balasan. Suaranya terisak. Sepertinya itu manusia. “Di mana?” tanya Erlangga lagi, hatinya mulai tenang. “Di sini! Di atas tebing!” Erlangga bahkan tak bisa melihat di mana tebingnya. “Ngomong terus! Saya ikutin suaranya!” seru pemuda itu. “Di sini—uhuk-uhuk—Di—di sini!” Erlangga sampai ke dinding bebatuan yang lumayan tinggi. Ia menengadah. “Kamu di atas?” “Iya! Di atas!” Pemuda itu melihat sekeliling, tapi kelihatannya memanjat adalah cara tercepat. Ia mencari pegangan, kemudian menarik tubuhnya ke atas. Ini mengingatkannya pada masa lalu. Ia pernah mencoba olahraga wall climbing. Sebuah kesalahan, sebab tangannya yang lemah tak sanggup menopang bobot tubuhnya sendiri. Ia tidak bisa memanjat satu point pun. Tapi sekarang ceritanya berbeda. Genggamannya pada akar dan bebatuan terasa mantap. Tubuhnya pun terasa ringan. Ia mampu memanjat seperti seekor kucing. Ia berhasil mencapai puncak dalam sekejap mata. Ada sebuah ceruk yang membentuk goa kecil. Di sana tampak seorang gadis berjaket biru sedang meringkuk memeluk lutut. Napasnya sesenggukan. “Hei!” panggil Erlangga. “Si—siapa kau?!” seru gadis itu. “Saya… yang dari tadi teriak-teriak…” Erlangga garuk-garuk kepala. “Kamu nggak apa-apa?” Pemuda itu mendekat. Kini ia bisa melihat sosok sang gadis lebih jelas. Wajahnya lembab karena air mata. Rambutnya kusut. Jaket dan kakinya dekil oleh lumpur. “Tenang, tenang,” Erlangga mengelus bahunya. “Sekarang udah nggak apa-apa.” Tangis gadis itu pecah. Ia memeluk Erlangga. Pemuda itu pun bingung. Namun, ia bisa merasakan luka. Ia tak tahu apa yang terjadi pada gadis itu, tapi pastinya sesuatu yang mengerikan. Di dunia ini trauma dan ketakutan adalah makanan sehari-hari. “Ya, ya, sekarang udah nggak apa-apa.” Erlangga balas memeluk sang gadis untuk menenangkannya. Tubuhnya dingin sekali. Lalu hujan turun membasahi bumi. Waktunya sangat tidak tepat. “Celaka…” Efek [Freeze] bisa membuat mereka mati kedinginan. “Ayo, saya buatin tenda.” Erlangga mengajak gadis itu keluar dari ceruk. Ia mencari permukaan tanah yang agak datar, lalu memasang Tenda Sederhana. Item ini sangat praktis, meski durability nya agak rendah. Semakin sering terhantam hujan badai, tenda ini akan makin cepat rusak. “Masuk, masuk.” Gadis itu masuk lebih dulu. Erlangga menyusul. Meski masih dingin, setidaknya Hit Point mereka tidak akan berkurang di dalam sana.. “Siapa namamu? Aku Erlangga.” “Ye—Yeri.” Suaranya menggigil. Erlangga segera mengeluarkan Jelly Drink simpanannya. “Nih. Minuman penunda lapar.” Begitu menerimanya, Yeri langsung menelan minuman itu bulat-bulat. Akhirnya ia batuk-batuk karena tersedak. “Pelan-pelan…” Erlangga menepuk-nepuk punggungnya. “Kamu ke sini sama siapa?” Gadis itu tak menjawab. Ia sibuk membuka layar Inventory miliknya. Lalu tiba-tiba jaketnya hilang, menampilkan tubuhnya yang hanya dibalut tank top crop hitam. “He—hei! Jangan telanjang di sini!” Yeri tak menggubris. Ia terus menekan-nekan layar Inventory, hingga sebuah sweater warna krem termaterialisasi membungkus dirinya. “Oh…” Erlangga lega sekaligus kecewa. Hal yang tak diinginkan sekaligus diinginkan itu tidak terjadi. Cara memakai baju di dunia ini memang agak unik. Penjelajah bisa memakainya dengan cara konvensional, tapi juga bisa melalui layar Inventory seperti dalam game RPG. Cukup memilih armor yang akan digunakan, lalu klik [Pakai]. Pakaian akan termaterialisasi dengan sendirinya. Jaket tadi sangat basah, sehingga Yeri pasti ingin menggantinya dengan sweater kering. “Jadi…” Erlangga ingin bertanya, tapi tiba-tiba gadis itu berbaring. Ia meringkuk di sudut tenda. “Kamu capek, ya..?” Sang gadis sudah mendengkur pelan. Erlangga mengendikkan bahu. Mungkin Yeri sangat lelah. Ia juga pasti masih dalam keadaan syok. Hanya saja, pemuda itu khawatir. Ia masih belum tahu monster seperti apa yang menghuni hutan ini. Melihat kondisi Yeri, sepertinya tidak aman kalau ia juga tidur. Mereka bisa diserang kapan saja. Ia memilih untuk berjaga. Setidaknya jika ada monster ia bisa segera membangunkan Yeri. Namun, rasa lelah perlahan menyergapnya. Lama-kelamaan kelopak matanya terasa berat. Ia ikut ambruk.   ***   Erlangga merasa sesak, seolah ada suatu beban yang menimpanya. Ia membuka mata. Lalu kedua matanya terbelalak. Ia melihat kepala Yeri di atas dadanya. Sepertinya gadis itu menjadikan dirinya sebagai bantai. “Hei, hei, bangun!” Yeri tak merespon. Ia masih pulas. Mulutnya terbuka dan air liurnya mengalir. “Jorok! Bangun!” . . . “Hoaaaaam!” Erlangga meregangkan badan. Tenda Sederhana nya sudah dimasukkan ke dalam Inventory. Yeri mengganti sweaternya dengan jaket biru semalam. Setelan itu masih basah. Kelihatannya semua item yang dimasukkan ke dalam Inventory akan menjaga keadaan yang sama seperti sebelum dimasukkan. “Nggak ada baju yang kering?” tanya Erlangga. “Nanti kamu masuk angin.” “Ini armorku yang pertahanannya paling tinggi,” jawab Yeri. Masuk akal. Pemuda itu melihat sang gadis sudah lumayan tenang. “Jadi… gimana ceritanya sampai kamu di hutan ini sendirian?” Kali ini kelihatannya Yeri siap untuk cerita. Keduanya duduk berhadapan di atas balok kayu. Gadis itu memulai. “Tadinya aku dan teman-temanku nyari senjata legendaris. Katanya senjata itu ada di tengah hutan ini, di Hutan Begu. Yang dijaga oleh monster-monster Begu Ganjang.” “Senjata legendaris?” Mendengar sebutannya saja segera membuat Erlangga tertarik. “Iya Kak.” Yeri mengangguk. “Katanya senjata itu relevan dipakai buat naklukin semua dungeon di Pulau Sumatra.” “Hebat banget, dong?” “Iya, tapi…” Yeri mengerutkan kening. Bola matanya kembali berkaca-kaca. “Ngedapetinnya nggak gampang. Partyku diserang Begu Ganjang. Kami kepisah-pisah.” “Oh, ya…” Tentu saja itu yang terjadi. Kalau pencarian berjalan mulus, Erlangga tak akan menemukan Yeri sendirian di hutan. “Apa Begu Ganjang Sekuat itu?” “Iya, sekuat itu, Kak…” “Tapi…” Erlangga mencari kalimat yang tepat. “Teman-temanmu selamat, kan?” “Nggak tahu.” Yeri menggeleng sedih. “Ada satu Begu Ganjang yang ngejar aku. Akhirnya aku ngumpet di atas tebing itu sampai Kakak nemuin aku…” “Semoga mereka juga sempat nyelametin diri, ya…” “Amin…” “Ngomong-ngomong…” “Ya..?” “Duh, gimana ya ngomongnya, rada nggak enak juga. Apalagi kamu juga lagi susah gara-gara itu…” “Apa Kak? Ngomong aja.” “Anu… Senjata legendaris itu emangnya ada di mana, ya?” Erlangga tak bisa menutupi rasa penasarannya. Setidaknya ia punya tabungan sembilan nyawa untuk berhadapan dengan Begu Ganjang.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD