“Kakak… mau nyari senjata itu?” tanya Yeri keheranan.
Erlangga tahu dirinya mungkin terlihat seperti orang haus kekuatan yang rela mengorbankan nyawa sendiri untuk itu. Namun, ia tak berniat membongkar rahasia bahwa ia punya sembilan nyawa untuk dikorbankan.
“Ng… penasaran doang… kamu mau saya anter keluar hutan dulu?”
Yeri menggeleng, lalu mengulang pertanyaannya, “Kakak mau nyari senjata itu?”
Kelihatannya omong kosongnya tidak berguna. Akhirnya pemuda itu menjawab sejujurnya.
“Iya… tapi gara-gara penasaran doang… haha.”
Lagipula kalau di dalam game RPG memang sudah seharusnya pemain berusaha mendapatkan senjata legendaris.
“Kalau gitu aku ikut, Kak!”
Kata-kata Yeri sama sekali tidak Erlangga duga. Gadis yang semalam syok parah sekarang malah ingin ikut mencari item terkutuk itu?
“Eee… kayaknya mending jangan deh…” cegah Erlangga.
“Aku… pengen nyari teman-temanku.”
“Oh…”
Erlangga mengerti. Setidaknya gadis itu ingin memastikan bagaimana nasib rekan party nya. Sebab sebelum ia tahu, mungkin hal ini akan terus membayanginya.
“Baik. Tapi ini prioritas kita. Pertama, saya cuma penasaran. Jadi kalau keadaan bahaya, kita kabur. Kedua, mencari temanmu memang penting, tapi keselamatanmu juga penting. Kalau keadaan bahaya, kita kabur. Oke?”
Yeri tampak menimbang-nimbang sejenak. Tapi akhirnya ia mengiyakan.
“Sip. Kita berangkat.”
Erlangga memimpin di depan. Mereka memasuki Hutan Begu semakin dalam.
“Tapi gimana ya nyari senjata legendarisnya?” tanya pemuda itu saat menyadari kalau sebenarnya ia juga tak tahu arah.
“Katanya ada di dalam kotak kayu di tengah hutan.”
“Iya, tapi gimana nyari kotak kayunya di tempat kayak gini?” Erlangga menatap pepohonan mati di sekitarnya. Semua terlihat sama.
“Kotak itu dilindungi Begu Ganjang,” jelas Yeri. “Mereka keliling hutan ngitarin kotak itu. Jadi makin banyak Begu Ganjang yang keliatan, berarti kemungkinan besar kotaknya di sana. Itu kata orang-orang yang pernah ngedapetin senjatanya.”
Erlangga segera membayangkan struktur hutan ini. Pantas saja sejak tadi mereka tidak bertemu monster. Mereka pasti masih berada di bagian terluar hutan. Tugasnya sekarang adalah mencari kerumunan monster tersebut.
“Tadi kamu bilang senjatanya ada di dalam kotak kayu. Berarti bukan drop item, kan?”
“Iya, Kak.”
“Berarti asal kita bisa nemu kotaknya lalu kabur, kita ga perlu ngelawan Begu Ganjangnya, kan?”
Yeri tak langsung menjawab. Butuh beberapa jenak baginya untuk berkata, “Teorinya sih gitu.”
“Kebetulan skillsetku cocok untuk hal-hal seperti itu,” ucap Erlangga.
Gadis itu menebak-nebak dalam pikirannya apa skillset yang dimiliki Erlangga. Yang jelas, sepertinya pemuda itu bisa menelusuri hutan tanpa ragu. Langkah-langkahnya tidak seperti orang yang bingung menentukan arah.
“Ini jalannya benar, Kak?” tanyanya.
“Benar, tenang aja.”
Ada satu fakta menarik dari seekor kucing.
Pada tahun 1978, keluarga Hicks berlibur bersama kucing persia peliharaan mereka yang bernama Howie. Celakanya kucing itu tertinggal saat mereka pulang. Namun, dua belas bulan kemudian kucing tersebut tiba-tiba muncul di rumah keluarga Hicks setelah menempuh perjalanan kurang lebih 1.609 KM jauhnya.
Keajaiban itu terjadi karena kucing memiliki empat kemampuan spesial : [Memory], [Landmark], [Navigasi Takson], dan [Mental Map].
Memory—ingatan—yang kuat terhadap hal-hal di sekitarnya membuat kucing mampu mengingat setiap jalan yang mereka lalu. Sementara Landmark adalah indera khusus untuk merasakan gaya magnet lemah untuk menentukan arah laut sebagai pedoman. Navigasi takson adalah pemanfaatan seluruh indera untuk merasakan lokasi yang dituju. Dan Mental map, adalah kemampuan untuk menggambar peta imajinatif di dalam otaknya.
Ketika mengkombinasikan empat hal tersebut, seekor kucing—meski tersesat—akan selalu menemukan jalan pulang.
Kemampuan itulah yang samar-samar mulai Erlangga sadari sejak ia menggunakan akik Cat’s Eye miliknya. Ia segera mengingat tiap sudut dari hutan maupun dungeon yang ia masuki, sehingga ia bisa menjadi pemburu yang sangat efektif.
Mereka berjalan hampir setengah hari.
Belum ada Begu Ganjang yang terlihat.
“Istirahat dulu, yuk.” Erlangga mencari pepohonan yang rapat. “Tuh, di sana kayaknya ngumpet.”
“Iya Kak.”
Mereka masuk, kemudian bersandar pada batang-batang pohon.
Pemuda itu menyadari Yeri tampak murung.
“Kamu nggak apa-apa?”
“Gimana kalau teman-temanku udah nggak ada?”
“Hmm, kita nggak tahu, kan… Sejauh ini nggak nemu apa-apa. Mungkin aja mereka juga selamet kayak kamu, tapi keluar di sisi lain hutan.”
“Tapi… tapi… gimana kalau…”
Gadis itu mulai terisak lagi.
Pikiran Erlangga jadi kacau. Kalau tahu akan jadi begini memang seharusnya ia tak membawa Yeri. Emosinya masih belum stabil.
Tiba-tiba gadis itu mendekat, lalu memeluk Erlangga.
“Eh—eh—”
Yeri menangis di d**a pemuda itu.
Erlangga bingung setengah mati. Apa ini gara-gara semalam ia memeluk Yeri sehingga gadis itu terlanjur merasa nyaman dalam pelukannya? Tapi di saat yang sama ia jadi merasa bersalah pada Nabila. Tapi mengingat saat ini kondisinya demikian… mungkin Yeri memang butuh dukungan emosional…
Akhirnya Erlangga mengelus-elus punggung Yeri.
“Kita berdoa yang terbaik aja, ya…”
Setelah beberapa lama, isakan Yeri mereda. Ia mulai tenang. Namun, ia masih memeluk Erlangga.
Terdiam dalam posisi tersebut membuat pemuda itu jadi mengantuk.
Ia memejamkan mata.
.
.
.
.
.
Sebuah dentuman di bumi menyadarkan Erlangga.
.
Dentuman itu terjadi lagi.
.
Tidak ada suara, tapi getarannya terasa.
.
Dentuman itu terjadi dalam interval yang konstan.
.
Erlangga mengangkat kepalanya. Ia memperhatikan sekeliling.
“Yeri! Yeri!” Ia mengguncang bahu gadis di pelukannya.
“Uu… kenapa, Kak?”
“Ada monster yang mendekat. Kayaknya Begu Ganjang.”
“Eh?”
Mungkin itu salah satu keunggulan yang dimiliki pengguna Cat’s Eye dibanding penjelajah lain. Ia lebih peka pada getaran, sementara manusia pada umumnya mengandalkan pendengaran.
“Ayo, coba kita lihat!”
Erlangga membantu Yeri berdiri, lalu mereka beranjak dari sana. Ia menuju ke arah dentuman.
Semakin ia berlari, dentumannya makin keras. Suaranya juga mulai terdengar.
DUM
DUM
DUM
Lalu di antara pohon-pohon mati, tampak sosok raksasa yang tinggi menjulang. Puncak kepalanya mencapai pucuk-pucuk pepohonan. Mukanya sangat jelek. Kedua mata bulatnya melotot seperti mau lepas dari rongga. Lidahnya melet keluar meneteskan liur. Napasnya terdengar berat, tiap hembusannya memuntahkan kabut hijau. Tangannya menjuntai. Jari jemarinya sangat panjang menyapu permukaan tanah. Setiap daripada langkah kakinya yang besar mengguncang bumi.
[Begu Ganjang]
Namanya berwarna merah.
Erlangga menelan ludah. Jantungnya berpacu cepat.
Instingnya berkata jika sampai berhadapan dengan monster seperti ini, ia pasti mati.
Namun, monster itu tak menyadari kehadirannya yang bersembunyi di balik sebatang pohon.
“Yeri,” bisiknya. “Kalau mau mundur sekarang masih sempat.”
Gadis itu menggeleng.
“Aku… juga penasaran, Kak. Andai teman-temanku nggak selamat, paling nggak aku pengen ngewakilin yang lain buat ngelihat senjata legendaris apa yang ada di sana.”
Erlangga menarik napas dalam-dalam, lalu menghela.
“Oke kalau gitu.”
Mereka telah bertekad menguntit Begu Ganjang. Monster masif yang mungkin bisa meremukkan keduanya hanya dengan sekali injak.