Dungeon Tutorial (Part 7)

1245 Words
Pelan-pelan mereka mengepung Ghoul Besar. Erlangga membagi kelompok secara berpasangan. Seorang pengguna perisai bertugas melindungi di depan, dan pengguna tombak bertugas menyerang dari belakang. Monster itu mulai kewalahan, karena serangan-serangannya selalu dimentahkan, sementara tombak manusia terus mengenainya. Hit Pointnya terkikis. “Bagus! Terus! Hajar terus!” Menyerang. Bertahan. Menyerang. Bertahan. Menyerang. Bertahan. Butuh waktu agak lama, tapi Hit Point Ghoul Besar kini sudah berkurang lebih dari setengahnya. Mereka cukup mempertahankan formasi ini sedikit lagi. Hanya saja, ada satu masalah. Mereka bukan petarung. Mereka adalah warga sipil yang tidak rutin berolahraga. Banyak yang kesehariannya tidak mengandalkan tenaga fisik. Oleh sebab itu stamina mereka mulai terkuras. Bahu mereka terasa sakit akibat mengangkat perisai atau menghujam tombak. Napasnya mulai terengah-engah. Serangan pun menjadi kendur. Kemudian masalah berikutnya datang. Perisai tidak selalu berada dalam kondisi optimal. Serangan Ghoul Besar yang bertubi-tubi awalnya hanya membuat retak rambut. Tapi lama-kelamaan retakan itu melebar hingga akhirnya mencapai batas keuletan perisai. Tiba-tiba salah satu perisai pecah saat dihantam cakar Ghoul Besar. Sontak penggunanya pun panik, sebab tak ada lagi pelindung antara dirinya dan sang monster. Ia berbalik, tapi terhalang oleh pengguna tombak yang berdiri di belakangnya. “Awas!” ia mendorong si pengguna tombak. “Jangan dorong-dorong!” Formasi pecah. Ghoul Besar melihat celah tersebut. Ia menerjang. Cakarnya yang luar biasa mencabik kedua orang itu secara bergantian. Semua langsung buru-buru menjauh. “Jangan panik! Rapatkan barisan!” seru Erlangga. Namun, keadaan terlanjur kacau. Begitu melihat ada yang tumbang, pikiran pertama semua orang adalah menyelamatkan nyawa masing-masing. Mereka kocar-kacir. Yang malah membuatnya jadi mangsa empuk bagi sang monster. Ghoul Besar langsung memburu mereka satu persatu. Seperti musang yang dilempar ke kandang berisi anak-anak ayam. “Gawat…” Erlangga mengeratkan rahangnya. Jika tim ini hancur, maka penyintas yang tersisa tinggal wanita, orang tua, dan anak-anak. Kesempatan merena untuk menantang ulang sang monster akan turun drastis sampai mendekati nol. Ia tak bisa membiarkan skenario itu terjadi. “Aaaaaaaaaa!!!” Ia memutuskan untuk melakukan yang dilakukan Dayat untuknya. Ia mengejar Ghoul Besar, lalu menghantam pinggangnya menggunakan perisai. Perhatian monster itu pun teralih pada pemuda itu. “Semuanya pergi ke tempat aman!” teriak Erlangga, meski ia tahu adalah keputusan buruk. Ghoul Besar kini ganti menyerangnya bertubi-tubi. Hantaman demi hantaman itu membuat perisainya mulai retak. Tubuhnya terdorong hingga ke pinggir lapangan, di mana jurang dalam menanti. “Sial…” Tapi walau ia mati, setidaknya orang-orang selamat. Mereka bisa mengatur ulang strategi, lalu menantang Ghoul Besar lagi. Dengan begitu Nabila bisa pulang. “Ah, sayang sekali…” Padahal Hit Point Ghoul Besar hanya tersisa sedikit lagi. Kalau mereka terus menyerang, mungkin monster ini akan kalah. Retakan di perisai Erlangga makin lebar, kini celahnya bisa untuk mengintip. “Selamat tinggal dunia.” Satu serangan lagi, dan perisainya akan pecah. Tiba-tiba Ghoul Besar meraung kesakitan. Erlangga terbelalak. Ia terbelalak menyaksikan Nabila, gadis itu, menikamkan tombak ke pinggang sang monster dari belakang. “Bilah!” “Monster j*****m, beraninya kau melukai Angga!” teriak sang gadis. Ghoul Besar murka. Ia berbalik ke arah Nabila. Erlangga buru-buru menghajar pinggang sang monster dengan perisai. Saat makhluk itu mengaduh, ia mendekati Nabila. “Jaga jarak di belakangku!” serunya cepat. Kalau sekarang sudah terlambat menyuruh gadis itu kabur. Ghoul Besar mencakar. Erlangga mengangkat perisainya, dan benda itu hancur seketika. Ia terdorong ke belakang. Di saat bersamaan, Nabila menghujam d**a sang monster. [Critical] Sebuah notifikasi muncul. Monster itu meraung kesakitan. Erlangga memanfaatkan kesempatan tersebut untuk memungut perisai yang tergeletak di lantai. Saat Ghoul Besar mencakar Nabila, ia menahan serangan tersebut. “Serang terus!” “Ya!” Nabila membenamkan ujung tombaknya lagi. Hit Point sang monster mendekati nol. Mungkin butuh satu atau dua seranggan lagi. Jantung Erlangga memburu. Darahnya berdesir-desir. Ghoul Besar menyerang lagi. Erlangga menahannya. Nabila menghujamkan tombak. Sang monster meraung. Hit Pointnya tinggal setitik. “Dikit lagi!” Makhluk itu menyerang lagi. Erlangga mengangkat perisainya. Lalu benda itu pecah. “Celaka.” Nabila menusuk perut Ghoul Besar. Hit Pointnya masih belum habis. Monster itu akan menyerang lagi, tapi Erlangga sudah tak memiliki perisai. “Celaka.” Padahal tinggal sedikit lagi. Maka tubuh Erlangga bergerak secara refleks. Ia memeluk Nabila, sehingga cakar Ghoul Besar mengoyak punggungnya. Sakitnya bukan main, seperti dihajar seribu tinju bersamaan. Tapi pertarungan belum berakhir. Pemuda itu menatap gadisnya, yang tengah terbelalak memandangnya. “Satu tusukan lagi,” ia berbisik. Nabila menguatkan diri. Erlangga melempar tubuhnya ke samping, sementara Nabila mengeratkan genggamannya. Ia menusuk sekuat tenaga. “Aaaaaaaaaa!” Mata tombaknya menembus pusar Ghoul Besar. Mendadak monster itu berhenti bergerak. Hit Pointnya sudah nol. Selesai sudah. Tubuh Ghoul Besar pecah menjadi kepingan fragmen kecil. Nabila terengah-engah. Ia melempar tombaknya, lalu menjerit menghampiri tunangannya. “Angga! Angga!” Pemuda itu tergeletak lemah. Darahnya merembes deras tak terkendali. Mulutnya membuka, tapi lidahnya tak sanggup berucap. Sementara itu di tengah lapangan sebuah punden berundak mencuat dari lantai, seolah ada mekanisme mesin di dalamnya. Sebuah prasasti berdiri gagah di depannya. Orang-orang membaca tulisan yang terukir di sana. [Selamat telah menyelesaikan Dungeon Tutorial] [Anda resmi menjadi penjelajah] [Ambil cincin akik untuk mendapatkan kekuatan] [Kalian akan dikirim ke Pulau Weh, titik awal penjelajahan Nusantara] Mereka melihat cincin akik yang dimaksud. Diletakkan rapi di atas altar pada puncak punden berundak. Tetapi batu cincinnya cuma berwarna putih polos. “Ini boleh dipakai?” tanya seseorang sambil mengenakan salah satu cincin. Tiba-tiba batunya bersinar terang. Sejurus kemudian, tubuhnya lenyap dari peredaran. Semua orang kaget. Bukan sulap, bukan sihir, tapi ini kenyataan. “Kita bakal dipindah lagi?” “Tapi ke mana? Kenapa ke Pulau Weh?” Beberapa berlari ke Ruangan Pertama untuk memberitahu hal ini pada yang lainnya. Cuma Nabila yang tak peduli dengan akik dan segala macamnya itu. Ia terisak menangisi Erlangga. Ia menggenggam erat tangan sang pemuda yang mulai dingin, lalu menempelkan di pipinya untuk membagi kehangatan. Kesadaran Erlangga makin sirna. Ia mengerahkan segenap kekuatannya untuk membuka mulut. “Pergi… pulang..” “Tidak!” isak Nabila. “Aku nggak mau ninggalin kamu!” Erlangga senang dan sedih bersamaan saat mendengar itu. “Kamu… harus…” Satu per satu orang mengambil cincin dan pergi dari sana. Mereka bahkan tidak memandang pada sang pahlawan yang menyelesaikan tutorial ini untuk mereka. Erlangga pun memejamkan mata. Genggamannya kehilangan tenaga. Tubuhnya terkulai. Nabila meraung-raung. Matanya melihat, tapi batinnya tak percaya. “Ia adalah pahlawan.” Akhirnya seorang wanita mendekati Nabila. Mamanya Nino. Ia memeluk Nabila dari belakang. “Tapi kita harus pergi. Ia juga pasti inginnya kamu pergi.” Nabila makin menangis tersedu. Orang-orang dari ruangan pertama mulai berdatangan. Banyak yang muntah saat melihat jasad bergelimpangan. Udin menyeret kakinya dengan hati-hati melintasi jembatan. Ia melihat Erlangga dan Nabila. Kala melihat Erlangga sudah tak bernyawa, perasaannya jadi tidak enak. “Ikhlaskan, Nak,” ucap Mama Nino. “Kita harus ngehormatin perjuangannya.” Nabila memeluk jasad Erlangga. “Ayo, Nak. Kita ngga tahu apa ada monster yang muncul lagi kalau tetap di sini. Apa kamu mau pengorbanannya jadi sia-sia?” Nabila masih terisak, tapi kata-kata wanita itu mulai mengetuk akal sehatnya. “Aku udah dengar,” Udin ikut berbicara. “Mulai sekarang aku bersumpah, bakal mengawal mbak sampai bisa pulang dengan selamat.” Akhirnya Nabila luluh. Ia mengerti, jika ia tak pulang maka Erlangga akan ingkar janji pada ayahnya. Maka dengan berat ia melepas pemuda tersebut. Tubuhnya lunglai disangga mamanya Nino. Mereka jalan tertatih menuju punden berundak diikuti Udin. Mama Nino mengambilkan cincin akik untuk Nabila dan memastikan gadis itu memakainya. Baru kemudian ia dan Udin menyusul. Dengan perginya semua orang, ruangan menjadi sunyi. Barulah pada saat itu suara detak tipis jantung Erlangga bisa terdengar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD