Erlangga sedang duduk di ruang kelas. Di hadapannya terbentang sebuah buku pelajaran biologi kelas tujuh. Ia membacanya berulang-ulang, menghapal tiap kalimatnya, lalu melafalkannya dalam pikiran. Karena setelah ini mereka ada ujian. Tapi anak-anak lain asyik bermain kejar-kejaran di halaman luar, seolah tak peduli meski nantinya tak bisa mengerjakan.
Erlangga jadi tak bisa konsentrasi. Belum lagi ditambah anak-anak perempuan yang bergosip panas di pojokan kelas. Mereka tertawa cekikikan.
Namun, Erlangga tak boleh terpengaruh. Ujian ini sangat penting. Ia harus mempertahankan posisi juara kelas.
***
Hari Jum’at sekolah selesai lebih awal. Anak-anak tim basket bertanding melawan sekolah lain di lapangan. Orang-orang ramai menonton di sekitarnya. Mereka bersorak-sorai, terutama tiap bola berhasil dilempar ke ring. Suaranya riuh terdengar sampai ke dalam ruang laboratorium, di mana Erlangga sedang mengerjakan soal latihan untuk olimpiade.
Pak guru mengawasinya tanpa berkedip, seperti sebuah kamera pengawas.
***
Waktu SMA, anak laki-laki dan perempuan mulai tertarik satu sama lain. Dari yang tadinya hanya bermain dengan teman satu gender, sekarang mulai jalan-jalan atau nonton bareng dengan lawan jenis. Setiap minggu ada saja pengumuman siapa yang jadian, dan siapa yang putusan.
Erlangga juga pernah dekat dengan seseorang. Novia. Gadis itu secara akademik biasa saja, tapi punya semangat belajar yang kuat. Tiap jam istirahat ia selalu duduk satu meja dengan Erlangga, lalu minta diajari cara mengerjakan soal yang tak ia mengerti. Erlangga tadinya canggung, apalagi anak-anak lain jadi sering meledeki mereka berdua. Tapi Novia cuek saja. Mereka bahkan mulai mengobrol hal-hal di luar pelajaran sekolah.
Namun, suatu hari Erlangga mengantar gadis itu pulang, sampai-sampai ia sendiri pulang kemalaman. Lalu orang tuanya marah.
“Masih sekolah ngga usah pacar-pacaran dulu!” kata mereka. “Nanti kalau sudah kerja sudah sukses juga banyak cewek yang ngedekat!”
Padahal Erlangga dan gadis itu sama sekali tidak pacaran, cuma teman belajar bareng. Selepas lulus SMA mereka tak pernah saling berkomunikasi lagi.
***
Saat kuliah, jadwal Erlangga selalu padat. Menghadiri kelas, mengerjakan tugas, mengikuti lomba, menjadi asisten dosen. IPK nya nyaris empat. Orang tuanya sangat bangga. Tapi ia sendiri tidak.
Kegiatan himpunan, aktivitas kampus, nongkrong-nongkrong, sepertinya sangat menyenangkan. Namun, orang tuanya bilang portofolio harus disiapkan sejak dini agar saat yang lain bingung mencari kerja ia sudah menjadi incaran perusahaan-perusahaan terkemuka.
Hiburannya hanya sesekali nonton film, main game, dan menulis ribuan baris kode di kamarnya.
“Kamu harus nyiapin masa depan.”
“Kelak kamu hidupnya bakal lebih enak dari yang banyak main-main.”
“Kamu akan jadi atasan, dan mereka jadi bawahanmu.”
Ternyata mereka benar. Aplikasi yang dibuat Erlangga untuk lomba berhasil menjadi juara. Ia memperoleh dana untuk pengembangan aplikasi tersebut. Begitu diluncurkan, aplikasinya populer di masyarakat. Investor berdatangan. Ia segera mendirikan perusahaan kecil, merekrut karyawan, lalu menjadi sosok muda fenomenal lambang kesuksesan. Ia sering diwawancara oleh portal-portal berita dan menjadi bintang tamu di kanal-kanal youtube. Saat teman seangkatannya sibuk mencari orang dalam untuk bisa bekerja, bagi Erlangga justru orang-orang lah yang mencarinya.
Lalu ia bertemu Nabila, saat perusahaannya merekrut gadis untuk untuk endorse produk.
Nabila adalah selebgram terkenal. Hal yang membuat Erlangga sempat merasa rendah diri di hadapan gadis itu. Tapi ternyata pandangannya salah. Nabila tak pernah merendahkan siapapun. Ia peduli dan baik pada semua.
Mereka pun menjalin hubungan.
Erlangga datang ke rumah gadis itu. Ayahnya terkenal galak. Beliau sangat mengkhawatirkan putrinya, terutama semenjak putrinya menjadi figur publik. Tapi Erlangga tidak mundur. Baginya yang sudah merasakan kehampaan hidup, ia mempersepsikan ketakutan sebagai warna emosi. Ada pepatah lama : lebih baik hidup sehari sebagai singa ketimbang seribu tahun sebagai domba.
Ternyata Ayah Nabila menerimanya. Mereka bahkan disuruh cepat-cepat menikah.
Erlangga sangat senang.
Akhirnya ia menemukan kebahagiaan.
Kebahagiaan yang pendek.
Terlalu pendek, malah.
Padahal ia sudah berjanji pada Om Doni untuk memulangkan Nabila, tapi di sinilah ia sekarang, tergeletak meregang nyawa.
Air matanya menetes.
“Ayah… ibu… selamat tinggal…”
Inilah kebahagiaan yang dijanjikan kedua orang tuanya. Yang ia nikmati sebentar saja dibanding lamanya perjuangan yang harus ia tempuh.
…
…
…
Tidak.
Tak masuk akal.
Omong kosong.
Ini terlalu kejam.
Dipikirkan seperti apapun, tetap tidak adil.
Hidupnya baru saja dimulai, tapi langsung berakhir?
Yang benar saja.
Ia menolak.
Ia masih ingin menikmati hidupnya.
Ia…
…ingin hidup bahagia bersama Nabila.
…
…
…
Aku harus hidup!
***
Erlangga membuka kedua matanya.
“Aku harus hidup…”
Ia berjuang bangkit.
“Aku ingin bahagia…”
Ia merangkak menyeret-nyeret tubuhnya.
“Aku tak boleh kalah…”
Meski pandangannya kabur, tapi fokusnya tak lepas dari punden berundak di depannya.
Dengan napas yang nyaris putus.
Jantung yang nyaris tak berdetak.
Ia jatuh.
Tapi bangkit lagi.
Kakinya menolak digerakan.
Tangannya seperti hilang kendali.
Tenaganya tidak ada.
Sekitarnya semakin gelap.
Badannya menggigil.
Dadanya mau meledak.
Sakit itu menggodanya untuk mengakhiri hidup.
Ia mengeraskan tekad.
Ia menanjak tiap anak tangga, lalu menekan kakinya agar bisa meraih altar.
Ia mengambil sebuah cincin akik.
Ia mengenakannya, memasukannya ke jari telunjuknya yang gemetar.
Lalu ia menyunggingkan senyum.
Kesadarannya pun pudar.
Ia ambruk dalam kegelapan.
***
Angin laut bertiup sepoi-sepoi menepuk wajah, membawa aroma garam bersamanya. Daun-daun kelapa bergemerisik. Deburan ombak bernyanyi di kejauhan, menghasilkan alunan nada yang tiada berhenti.
Erlangga mendapati dirinya menatap langit biru cerah. Satu-dua gumpal awan berarak. Mentari bersinar hangat.
Perasaannya teduh.
Mendadak ia teringat sesuatu. Ia buru-buru meraba punggungnya. Tidak sakit. Malah, tidak ada luka. Bajunya sobek, tapi kulitnya utuh seperti sedia kala.
Aneh.
“Apa aku di surga?” tanyanya pada rumput yang bergoyang.
Ia bangun, melihat sekeliling. Tempat itu seperti kebalikan dari punden berundak. Ia berada di dataran paling bawah, sedangkan sekelilingnya berundak-undak ke atas. Mirip susunan amphitheater, hanya saja dibangun memakai batu-batu alam.
Sebuah prasasti berdiri di hadapannya.
Ia membacanya.
[Selamat datang di Pulau Weh, titik awal penjelajahan Nusantara]
[Buatlah rakit untuk menyebrang ke Zona Aceh]
[Material : 10 balok kayu, 10 utas tali akar, 1 skematik rakit]
[Catatan : Kerja sama adalah kunci keberhasilan]
[Selamat berusaha]
Begitu saja.
Erlangga pun mau tak mau jadi bingung. Bagaimana ceritanya ia bisa sampai di Pulau Weh, pulau paling barat di gugus kepulauan Indonesia?
Jadi ia masih belum pulang. Lalu di mana yang lainnya? Kalau kerja sama adalah kunci keberhasilan, bukankah seharusnya ia bekerja dengan orang-orang tadi? Mungkin mereka sedang menjelajah pulau.
Ia memutuskan untuk mencari Nabila.
Namun, saat ini ia belum sadar, bahwa ia adalah satu-satunya penjelajah yang tertinggal di Pulau Weh.