Bandara Ngurah Rai, tempat pesawat yang kecelakaan itu take off, sudah tampak ramai dan ricuh. Ada salah satu tempat di dekat tempat boarding, berkumpul beberapa keluarga korban yang sedang diberi pengarahan oleh petugas. Ada yang sibuk menelepon keluarga lainnya untuk mengabari, ada yang terus-terusan menginterupsi petugas, ada yang terduduk lemas dan tidak sedikit juga yang menangis.
Sashi yang kini sedang memakai kacamata hitam, tampak melihat dari kejauhan ditemani oleh Jeff. Ia membayangkan bagaimana jika dirinya benar-benar mati. Apakah keluarganya akan merasa kehilangan? Apakah ayahnya akan menyesal karena selama ini tidak peduli akan dirinya? Akankah tampak raut kesedihan dari wajah ayahnya yang keras?
“Mau saya belikan minum?” tawar Jeff.
Sashi hanya menggeleng. “Kamu aja. Kalo mau nunggu di coffee shop juga boleh, nanti aku nyusul kalo udah selesai.”
Jeff mengangguk, lalu melenggang pergi. Sashi kembali bersedekap sambil memperhatikan orang yang sedang tegang menantikan kabar baik atau buruk.
Di siaran berita, masih belum ada perkembangan mengenai keberadaan si pesawat. Kemungkinan besar pesawat itu memang meledak dan jatuh di laut. Sudah hampir empat jam berlalu, tim sar masih berusaha menemukan jejaknya.
Sashi sedang mengikat ulang rambutnya ketika suara familiar terdengar. Dengan buru-buru, ia langusng menutupi kepalanya lagi dengan tudung hoodie. Tidak lama kemudian, tampaklah teman-temannya sedang menghampiri petugas yang tadi sedang memberi pengarahan. Emil tampak bertanya-tanya dengan serius. Sashi tidak bisa mendengar percakapan mereka. Namun ia bisa melihat kekhawatiiran di mata Emil, sementara Noni matanya sudah terlihat sembab. Begitupun dengan Shaki. Di belakangnya, Jio memerhatikan berita di televisi. Pacarnya itu tampak berusaha tenang meskipun rahangnya mengeras. Sementara Renata sibuk melihat ponsel.
Tepat ketika siaran berita mempunyai kabar terbaru, seluruh keluarga korban langsung mendekati televisi, di mana si pembaca berita mengatakan bahwa mulai ditemukan beberapa bagian badan pesawat, serta sepatu korban di Laut Jawa. Sontak tangisan pun pecah, termasuk teman-teman Sashi. Noni tampak terduduk lemas. Jio pun mengeluarkan air mata sambil bersandar ke tembok. Ia memegangi kepalanya seperti orang frustasi. Sementara Emil dan Shaki mulai menenangkan Noni yang meraung, tidak bisa menahan tangisnya, meskipun kedua orang itu pun juga sama-sama menangis. Sashi melihat pemandangan itu layaknya seorang arwah. Di sisi lain ia terharu karena teman-temannya sangat peduli. Di sisi lain lagi ia merasa jahat karena tidak mengabari mereka bahwa sebenarnya ia masih hidup.
Tidak terasa, kini air mata pun jatuh di pipi Sashi. Ia tidak tahu ke depannya akan bagaimana. Yang pasti saat ini ia hanya ingin menenangkan diri dan akan keluar saat waktunya tiba.
“Hey, aku belikan kamu kopi. Suka vanilla latt-“ perkataan Jeff terpotong karena melihat Sashi menangis. “Kamu baik-baik aja?”
Sashi mengangguk dan dengan cepat menghapus air matanya. “Ada temen-temen aku di sana.”
Jeff melihat ke arah yang Sashi tunjukkan. “Yang mana?”
“Cowok gendut yang pake cardigan warna cokelat itu managerku di kantor. Cowok yang pake ballcap itu pacar aku, dan sisanya temen-temenku.”
Jeff mengernyit. “Kamu gamau nyamperin mereka? Ga kasian lihat temen kamu nangis kayak gitu?”
Sashi memandangi Jeff dengan matanya yang berkaca-kaca, lalu menggeleng. “Ada sesuatu yang harus aku selesein dan aku lihat dulu. Untuk sekarang aku mau biarin semuanya kayak gini aja.”
Mungkin itu memang yang terbaik, menurut Sashi. Dia benar-benar capek. Pulang sekarang pun pasti tidak akan baik untuknya. Apalagi saat ini dengan sangat jelas, Jio sedang memeluk Renata yang menangis. Tidak seperti pelukan seorang teman. Shaly benar-benar sakit hati melihat itu., Bisa-bisanya mereka melkaukan itu ketika mendengar kabar duka akan dirinya.
Jeff yang melihat rahang Sashi tiba-tiba mengeras, mulai mencium sesuatu. Ia ingat bahwa wanita itu sedang diselingkuhi. “Kalau kamu gamau nyamperin mereka, ngapain kamu ke sini?”
“Cuman pengen liat reaksi mereka aja.” Dengan berat, Sashi menghela napas. “Udah, yuk. Mendingan kita pergi dari sini. By the way thanks buat kopinya. Aku emang suka vanilla latte.”
“Kamu sekarang mau ke mana?” tanya Jeff.
Benar juga. Sashi harus memikirkan akan ke mana. Siapa dia yang ingin meminta kembali lagi ke rumah Jeff. Toh ia juga tidak meninggalkan barang apa pun di sana. Seketika Sashi pun hanya mematung. “Uhmm… kamu tahu tempat yang bisa jual berlian sama jam tangan?”
Bibir Jeff mengerucut. “Bisa kita cari. Mau ke sana?”
“Iya, kalau boleh aku mau minta anter.”
“Oke, ayok.”
Hanya cincin berlian pemberian ibunya yang Sashi punya sekarang dan juga jam tangan Michael Kors yang ia beli di Amerika. Untung saja ia mengenakannya, karena ia sangat jarang memakai jam tangan.
Sashi dan Jeff keluar menuju parkiran mobil. Waktu sudah menunjukka pukul setengah dua siang. Udara di luar cukup hangat. Sashi melepas kacamata dan tudung hoodienya karena kegerahan. Setelah duduk di kursi mobil, ia mendesah lega ketika Jeff menyalakan AC mobil.
“Kamu mau jual berlian buat ongkos balik ke Bandung?” tanya Jeff.
“Nggak, aku ga akan pul;ang dulu. Sementara aku mau stay di sini aja. Aku jual buat beli ponsel, laptop untuk kerja dan beberapa baju.”
Jeff mengangguk sambil menggas mobilnya. Mereka terdiam selama perjalanan. Jeff sendiri mencari tempat yang menerima penjualan berlian melalui Google Maps. Yang paling dekat hanya berjarak dua kilo meter dari tempatnya saat ini. Setelah mempelajari peta dan tahu arah, Jeff pun menyalakan radio. Kali ini tidak mencari siaran berita lagi, namun mencari channel yang memutar lagu supaya kepala mereka tidak tegang.
"So, habis jual berlian kamu, kita akan ke toko baju dan toko elektronik?"
Mendapat pertanyaan tersebut, Sashi jadi tidak enak hati. Mereka baru kenal tadi malam dan lihatlah sekarang, Sashi sudah banyak merepotkan pria ini. "Uhmm... iya. Karena aku harus ganti baju. Kalau kamu keberatan nganter, kamu boleh pulang. Aku bisa cari sendiri."
"Oh bukan begitu. Saya cuman nanya. Karena seharian ini free, saya bisa tolongin kamu. Bahkan sampe kamu dapetin tempat tinggal untuk sementara."
"Ada rekomendasi tempat kost yang murah tapi nyaman?"
"Banyak. Temen saya juga banyak yang punya kos-kosan. Nanti biar saya anter kamu ke sana."
"Berapa?"
"Kurang tahu. Kamu cari yang budget berapa?"
"Di bawah sejuta," kata Sashi sekenanya.
"Ohh kalau itu saya kurang tahu. Kos-kosan temenku biasanya di atas dua juta. Jarang yang di bawah sejuta kecuali kamu mau tinggal di gudang belakang rumah saya," ujar Jeff diiringi tawa canda.
"Kalo emang boleh, aku mau tinggal di situ. Gimana?"