Dia Pulang

1217 Words
Sejak kepergian Mazaya meninggalkan rumah, sejak itu pula Pak Amin berubah murung, apa lagi tidak ada sedikit pun kabar berkaitan dengan anak gadisnya yang pembangkang. Sebelum meninggal, Pak Amin menderita stroke, dia menghabiskan waktunya di kursi roda. Dua tahun Riki merawatnya, mulai dari memandikan dan mengurus segala keperluannya. Dia memperlakukan pria tua itu bagaikan Ayah kandungnya sendiri. Sesosok yang tak pernah dimilikinya dalam hidupnya. Beberapa hari sebelum Riki di wisuda, kesehatannya semakin menurun, tapi dia tetap memaksa ikut menghadiri peristiwa bersejarah dalam hidup Riki. Walaupun dia dalam keadaan sakit, dia begitu bersemangat saat itu. Pak Amin begitu bangga dengan Riki, walaupun Riki bukan anak kandungnya, dia menyayanginya karena Riki sangat taat dan penyayang kepadanya. Riki anak yang amat patuh, selalu berprestasi dan perhatian padanya. Riki memejamkan matanya, berusaha menikmati udara dingin yang bertiup melalui jendela. Rumah ini terlalu besar untuk ditinggali sendiri, pembantu hanya datang pagi dan kembali pada sore harinya. Selebihnya, Riki berteman dengan koran dan televisi. Dia bukan orang yang suka ke luar rumah, nongkrong di suatu tempat seperti kafe. Dia tetaplah Riki penyendiri. Dia lebih suka di rumah setiap hari libur, atau bekerja di depan laptop-nya. Hujan tiba-tiba turun, beserta petir yang sangat kuat. Riki buru-buru mematikan laptop-nya, berjalan ke arah jendela dan menutup tirai jendela yang basah terkena hujan. Saat Riki berjalan ke dapur untuk mengambil minum, kerongkongannya terasa kering, matanya juga agak perih. Saat itu pula bel berbunyi tak sabaran. Riki heran, siapa yang bertamu jam dua belas malam, ini sangat larut dan sangat tidak sopan. Banyak pertanyaan di hatinya, dia tak memiliki teman yang suka berkunjung, juga tak mungkin pembantu yang datang. Hantu? tidak, Riki tak percaya akan itu. Hanya dua kemungkinan, tamu tak diundang, atau malah rampok. Riki waspada, dia melirik pisau dapur yang terletak tak jauh darinya, dia bukannya takut, tapi waspada jauh lebih baik, mana tahu orang yang memaksa masuk adalah perampok, dia tak mungkin menyambutnya dengan tangan kosong. Perlahan Riki membuka pintu, dia terkejut, seorang wanita basah kuyup, berdiri di ambang pintu dengan wajah datar dan dinginnya. Air hujan menetes dari rambutnya yang panjang. Riki mengenal wajah wanita di depannya, lima tahun dia mengobati luka di hatinya dan sampai saat ini belum berhasil, sekarang sang penyebab luka kembali pulang. Apa tujuannya kembali, apakah dia sudah tak ada tempat di luar sana? Gadis ini tak lain adalah Mazaya, dia lebih matang dibanding terakhir Riki bertemu ketika ijab kabul dulu. Rambutnya panjang sepinggang, dengan wajah cantik sempurnanya, tapi tetap dengan raut sinis, angkuh, masih seperti dulu. "Menyingkirlah! Jangan mentang- mentang kau lama tinggal di sini, kau bersikap seolah-olah ini rumahmu." Mazaya menerobos masuk saat Riki menghindar dari pintu. Air hujan menetes dari tubuhnya, menyebabkan lantai menjadi basah. Tak sedikit pun wanita itu berubah, ke mana saja dia lima tahun ini, dan tiba-tiba kembali pulang seolah-olah tak terjadi apa-apa. Riki diam, apa lagi yang bisa dilakukannya selain diam, hatinya masih sakit, benci melihat wanita di depannya. Akan tetapi, bagaimana pun, rumah ini milik wanita itu. Mazaya masuk ke kamarnya dulu, mengganti bajunya dengan baju lama yang baunya sudah apek karena terlalu lama berada di lemari. Setelah itu dia keluar, ia memandang sekeliling rumah, kemudian menatap Riki yang membuang muka kepadanya. "Mana, Ayah?" tanya Mazaya akhirnya, Riki memandangnya dengan tatapan kesal dan muak. Sebuah buku kecil keluar dari kantong bajunya, dia mulai menulis. Melihat apa yang dilakukan Riki, Mazaya mendesis sinis.. "Ooh? kukira si bisu sudah bisa bicara, ternyata masih mengandalkan kertas tak berguna." Belum selesai dia menghina, matanya terbelalak lebar, melihat apa yang tertulis di kertas milik Riki. "Pak Amin sudah meninggal dua tahun lalu." Mazaya menutup mulutnya, tubuhnya luruh seperti tak bertulang, dia terlalu terkejut, tapi tak ada tangis keluar dari mulutnya, dia hanya menatap langit-langit ruang tamu dengan mata kosong. Riki pergi membiarkan Mazaya sendiri, luka yang hampir mengering kembali berdarah. Betapa tak punya hatinya wanita itu, dia pulang setelah ayahnya hidup menderita dan akhirnya meninggal dunia karena ulahnya. Riki menutup pintu kamarnya. Merebahkan diri di atas kasur. Baru saja dia akan memejamkan matanya, kamarnya dibuka secara kasar. Mazaya berdiri di sana dengan pakaian yang tak layak disebut pakaian. Wajah angkuh masih terpasang di wajahnya. Riki sama sekali tidak tertarik, selain wanita pembangkang, dia sekarang bertingkah seperti wanita jalang. Apa tujuannya datang ke kamarnya malam ini dengan pakaian seperti itu. Belum habis tanda tanya di hati Riki, gadis itu berkata, "Aku ingin memiliki anak." Riki menatap tak percaya, setelah hilang lima tahun karena melarikan diri di malam pernikahan mereka, sekarang wanita itu tiba-tiba meminta anak? Di mana otaknya, apakah selain pembangkang, jalang, dia juga berubah menjadi gila. Riki tidak menggubrisnya, dengan tergesa-gesa dia mendorong Mazaya keluar dari kamarnya, menutup pintu kamar dan menguncinya. Dia sempat mendengar Mazaya mengumpat kasar. *** Mazaya termenung di kamarnya, sekarang dia benar-benar sebatang kara, Si Bisu bukanlah keluarganya. Dia sangat membencinya, sejak kedatangannya di rumah ini, perhatian ayahnya terbagi, dan menampakkan bahwa ayahnya lebih sayang kepada si Bisu. Mazaya memang sengaja melarikan diri di malam pernikahan, betapa muaknya dia dengan Riki, anak jalanan yang tak tau diri. Laki-laki itu patut diberikan pelajaran, supaya dia sadar dari mana dia berasal. Lima tahun Mazaya menghabiskan waktu bekerja di sebuah perusahaan makanan. Walaupun hanya sebagai karyawan biasa, tapi gajinya lumayan untuk kebutuhan sehari-hari. Namun akhir-akhir ini, gajinya tak lagi cukup, sebuah penyakit di rahimnya butuh obat yang biayanya lumayan besar. Dua tahun ini Mazaya sudah berobat kesana kemari, bahkan sudah berutang di sana sini, namun dia belum juga sembuh, semua dokter menyarankan kepadanya bahwa penyakit yang dideritanya bisa sembuh sendiri jika dia hamil secepat mungkin. Hamil? Mazaya tak percaya, bagaimana dia bisa hamil, dia tak mau mencari pendonor benih, karena nanti ketika bayi itu lahir tak ada kejelasan siapa bapaknya. Dia tahu, statusnya masih sebagai istri si Bisu. Selama lima tahun ini pun dia tak sempat berpacaran, karena sibuk mencari sesuap nasi. Tak ada satupun laki-laki yang menarik perhatiannya. Sekarang ini, demi hidupnya, dia pulang, karena si Bisu adalah harapan satu-satunya untuk mewujudkan keinginan itu. Mereka masih sah sebagai suami istri, sampai detik ini, si Bisu belum menceraikannya. Demi hidupnya, dia harus membuat si Bisu tidur dengannya, mudah- mudahan saja dia subur, sehingga sekali melakukannya akan membuatnya langsung hamil. Mazaya sudah membuang harga dirinya, mengetuk pintu kamar si Bisu dengan pakaian terbuka, bertingkah layaknya seorang p*****r. Dia harus melakukannya, dari pada dia mati menggenaskan dengan penyakit yang menggerogotinya. Tapi apa yang dilakukan si Bisu ke padanya, dia mengusir dirinya dari kamar dengan mendorong agak kasar. Tak sedikit pun dia tertarik, dia terlihat jijik. Mazaya hanya terpaku mengingat kejadian beberapa menit yang lalu. Dia harus mencari akal agar keinginannya terwujud. Jika dia menunggu lebih lama, hari kematiannya semakin dekat. Dia tak boleh menyerah, si Bisu tetap saja seorang laki-laki. Jika dia normal, dia akan tertarik dengannya, tubuhnya sempurna, banyak para wanita iri dengannya, banyak laki-laki yang ingin memilikinya. Mazaya tertawa miris, si Bisu tumbuh menjadi laki-laki dewasa yang sangat tampan. Bahkan ketika pertama bertemu tadi, Mazaya cukup terpesona, tapi ketika mengingat laki- laki itu adalah si Bisu yang sangat dibencinya, pesonanya langsung pudar begitu saja. Tak ada kacamata minus dulu di wajahnya, rahang tegas dengan bibir merah muda, hidung mancung dan pipi tirusnya, rambut gelap, mata bulat berbulu lentik. Tubuhnya tinggi berotot sempurna, jika Mazaya berhasil hamil dengan si Bisu, setidaknya wajah anaknya nanti tidak mengecewakan, bukan? Mazaya bertekad, tak akan menyerah, demi kesembuhannya. Dia harus hidup.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD