Perhatian Pertama

1081 Words
Riki mengikuti apa maunya Mazaya, yaitu bersikap layaknya orang asing. Dia tak menganggap keberadaan wanita itu. Ia sibuk dengan dirinya sendiri dan Mazaya lebih banyak menghabiskan waktu di kamar dan keluar sesekali untuk mengambil minum. Lebih dari sebulan mereka saling menghindari, dalam sebulan ini ia cuma sesekali berpapasan dengan Mazaya dan diakhiri dengan saling membuang muka. Mereka sama sekali tak berniat untuk berdamai, masih sama seperti di masa lalu, selalu bermusuhan. Namun, kali ini, Mazaya tak lagi menghinanya atau menerornya, mulutnya terkatup rapat, bahkan dia tak pernah mengeluarkan suara sedikit pun. Riki tak pernah ambil pusing, semakin diam wanita itu, justru semakin baik baginya, dari pada mereka menghabiskan waktu untuk bertengkar. Sekarang hari libur, di luar sedang hujan lebat, jika biasanya Riki pergi ke suatu tempat tapi tidak untuk sekarang ini. Kondisi cuaca sangat buruk, petir dan kilat menyambar. Maka, pilihan satu-satunya adalah di rumah saja. Riki menikmati kopinya, hujan dan kopi panas sangat cocok, ditambah lagi dengan sebuah koran. Karir Riki semakin menanjak, dia sering dipercaya mengerjakan proyek besar. Dia sangat bersyukur kepada Tuhan atas segala anugrah yang diterimanya. Di balik semua ujian hidupnya yang menyedihkan, Tuhan juga memberikan rezeki yang lancar dan otak yang luar biasa untuk berpikir. Riki melihat dengan sudut matanya, ketika dia mendengar pintu kamar Mazaya terbuka pelan. Dia berjalan tergesa-gesa ke arah westafel kamar mandi, lalu memuntahkan isi perutnya. Seminggu belakangan ini Riki sering mendengar Mazaya bangun tengah malam, dia terlihat tak sehat, wajahnya pucat dan agak kurus, pandangan matanya pun sayu. Lima menit kemudian, Mazaya selesai menguras dengan aktivitasnya, ia berjalan ke meja makan. Seperti biasa, tak peduli dengan Riki. Menganggap dia hidup sendiri di rumah itu. Mazaya mengambil segelas air putih, lalu meminumnya seteguk, kemudian memejamkan matanya seperti tengah menahan mual. Tiba-tiba dia kembali berlari ke kamar mandi, kembali memuntahkan air yang baru diminumnya. Riki berusaha tak peduli, tapi dari sisi kemanusiaan dia harus menolong wanita itu. Sudah lama dia ingin bertanya, tapi dia mengurungkan niatnya. Tak terdengar lagi suara Mazaya yang sedang muntah, tapi juga tidak kunjung keluar dari kamar mandi, lima menit Riki menunggu. Akhirnya dia memutuskan untuk melihat sendiri wanita itu . Riki terbelalak kaget, Mazaya tergeletak pingsan di lantai, wajahnya pucat seperti kapas. Tanpa pikir panjang Riki mengangkat tubuh Mazaya membawanya ke dalam kamarnya, lalu membaringkannya di tempat tidur. Riki merasakan telapak kaki Mazaya yang dingin. Riki mengambil selimut, menyelimuti tubuh Mazaya yang tak berdaya itu lalu dia menghubungi Dokter pribadinya. Sang Dokter tinggal tak jauh dari sini, dia dokter yang berpengalaman dan sabar menangani pasiennya. Riki menunggu dengan gelisah, cuaca benar-benar buruk, dia berharap tak ada kendala apa pun di jalan saat dokter menuju ke rumah mereka. Mazaya masih belum sadar, betapa lemahnya dia sekarang. Dia tak memiliki kekuatan bahkan untuk dirinya sendiri. Untung saja Riki berada di rumah, kalau tidak entah apa yang akan terjadi pada Mazaya. Beberapa menit kemudian dokter datang, rambutnya agak basah terkena air hujan. Dokter bertanya sambil mengamati Mazaya. "Apa yang terjadi?" Riki menuliskan kronologinya, mulai dari pengamatannya yang melihat Mazaya sering muntah, sampai jatuh tergeletak di kamar mandi. Dokter mengangguk, lalu memeriksa denyut nadi serta tekanan darahnya. Dokter juga melihat kelopak mata wanita itu sambil meletakkan stetoskop di d**a Mazaya. "Sepertinya istrimu kekurangan nutrisi, dia juga dehidrasi, bibirnya kering, kalau dilihat dari kelopak matanya yang pucat, sepertinya HB darahnya juga rendah, sebaiknya kita pastikan di lab." Dokter meletakkan alat medis itu di nakas di sisi tempat tidur. "Apa dia sedang hamil? Dari gejala yang kau sebutkan, sepertinya dia tengah mengandung, tapi untuk lebih pastinya kita harus memeriksa urinnya." Riki semakin kaget, hamil? Mungkinkah? Dia tak pernah bertanya pada wanita itu, dan Mazaya tak pernah memberi tahunya. Riki menggeleng, dokter kemudian kembali memberi informasi "Hamil atau tidak harus kita cek untuk memastikan, tapi menurut pengamatan saya, istrimu tengah hamil, mual dan muntah biasa terjadi di trimester awal, usahakan dia selalu meminum s**u ibu hamil, makan bergizi dan banyak istirahat." Riki hanya mengangguk dan mendengarkan dengan seksama. Dugaan Dokter masih membuatnya syok, hamil? benarkah? perasaan Riki jadi campur aduk. "Bantu saya menurunkan sedikit celana jeansnya!" perintah sang dokter. Riki mengerjap bingung. Bahkan beberapa detik dia hanya melongo. Dokter yang melihat kebingungan itu, langsung mengejutkannya. "Riki, istrimu harus disuntik, kalau dibiarkan dia bisa semakin parah, kau ini, dia istrimu, tak perlu malu." Dokter tersenyum. Riki menunduk malu, dengan tangan bergetar dia melakukan apa yang diperintahkan dokter, jantungnya berdegup kencang dan keringat mengalir di dahinya. Ah, ini tidak benar, jika Mazaya tahu, dia pasti akan mendapatkan masalah. "Miringkan dia!" kata dokter wanita itu, dia tersenyum melihat wajah Riki. Ada senyum geli di wajah itu, senyum yang tak dilihat Riki, karena asik dengan keraguannya. Dokter meninggalkan resep untuk Mazaya dan menerangkan beberapa hal dengan obat itu, beberapa saat kemudian Dokter pamit. "Aku harap setelah agak baikan, kau membawanya ke klinik. Kita akan periksa lebih lanjut, saya tak membawa tespeck saat ini." Riki mengangguk, apa yang dikatakan Dokter benar, untuk memastikan bahwa Mazaya hamil, dia harus membawa wanita itu ke tempat sang Dokter melakukan praktek. Riki termenung, dipandanginya wajah lemah Mazaya, kemudian perut ratanya, apa benar sudah ada bayi tumbuh di sana? Bayi yang sangat diinginkan Mazaya untuk kesembuhannya. Di satu sisi Riki merasa bahagia, dia akan memiliki seorang anak, tapi di sisi lain dia begitu sedih, anaknya memiliki Ibu seperti Mazaya. Siapa yang tak ingin memiliki anak, setiap laki-laki normal pasti menginginkan penerus yang berasal dari darah dagingnya sendiri. Akan tetapi, mendapatkan anak dari Mazaya adalah sebuah keganjilan. Dia belum memaafkan wanita itu, karena tak sekali pun dia meminta maaf atas segala perbuatannya di masa lalu. Sekarang apa yang harus dilakukan Riki? mereka sudah menjalani kehidupan layaknya orang asing selama sebulan ini, sementara bayi itu adalah milik mereka berdua. Meraka bukanlah pasangan suami istri yang normal seperti orang lain. Belum selesai Riki berfikir, Mazaya sudah membuka matanya, memandang langit-langit kamar, terakhir bertemu pandang dengan Riki. Wajah Mazaya terkesan dingin dan datar. "Kenapa kau berada di kamarku?" Riki menuliskan jawaban, "Kau pingsan dikamar mandi, aku menggendongmu kesini. Dokter juga sudah memeriksamu." "Bukankah sudah kukatakan! bersikaplah seperti orang asing!" Riki tak mengubris bentakan Mazaya, dia menulis, "Sudah berapa bulan kau hamil?" Entah kenapa, Riki tak ingin menunggu, dia ingin tahu kebenaran itu secepatnya. Mazaya membuang mukanya, dia mengetahuinya sejak tiga hari yang lalu. "Bukan urusanmu." Riki menghela napas lelah, kemudian mengangkat bahunya. Dia keluar dari kamar itu. Kesimpulan Riki adalah, benar prediksi dokter, Mazaya hamil, tujuannya berhasil, malam itu membuahkan hasil. Buktinya wanita itu tidak membantah sama sekali. Dia berniat bernegosiasi dengan Mazaya, tapi Mazaya tetap dengan sikap arogannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD