Wanita Arogan

1170 Words
Mazaya bangun jam sembilan pagi, tubuhnya terasa remuk, setiap persendiannya terasa sakit. Dia mencoba bangkit secara perlahan, lalu menyandarkan tubuhnya ke sisi tempat tidur. Wajah Mazaya merona. Dia tak munafik, Riki dan ketampanan serta kesempurnaan tubuhnya, membuat dia terbuai, tapi baginya dia tetaplah si Bisu yang hanya dibutuhkan untuk memberikan anak. Mazaya mengelus perutnya, dia begitu berharap, benih Riki bisa membuahi sel telurnya sehingga menjadi janin. Jika berhasil, dia akan sembuh total, begitu kata dokter yang menanganinya. Tapi bagaimana jika usaha tadi malam tidak berhasil? Apakah Mazaya akan kembali menggunakan cara licik, Riki pasti akan lebih waspada padanya mulai sekarang, dia takkan mau lagi percaya padanya. Mustahil bagi Riki melakukannya dengan suka rela. Mereka saling membenci. Mazaya menggeleng, tertawa miris, sangat besar pengaruh hubungan satu malam itu pada dirinya. Dengan tertatih, mazaya bangkit dari ranjang, membuka seprai bernoda darah dari kasur si Bisu. Berjalan perlahan ke kamarnya setelah membuang seprai kotor ke tempat sampah. Dia harus membersihkan diri, lalu kembali menjadi dirinya semula, seolah-olah tidak ada apa-apa di antara mereka. Sementara di kantornya, Riki tercenung dengan pikiran yang berkecamuk. "Hei! ada apa? Kenapa kamu murung?" Celin mengamati wajah Riki, gadis itu adalah sahabat Riki dari dulu, wanita baik, ramah dan tulus. Riki menuliskan jawabannya, di sebuah buku kecil yang selalu dibawa ke mana pergi. "Dia kembali." "Maksudmu, istrimu?" Wajah Celin terlihat kaget. Riki mengangguk lemah. "Lalu?" Celin meletakkan pensilnya, dia mendekati Riki dengan raut wajah yang serius. Riki menulis lagi, "Tadi malam, dia menjebakku, ia memberiku obat perangsang, dan semuanya terjadi." Celin menutup mulutnya tak percaya, dia tau apapun tentang sahabatnya itu, termasuk pernikahan yang suram di masa lalunya. "Kenapa dia melakukan itu? Bukankah dia membencimu?" tanya Celin tak percaya. Riki menulis lagi, "Dia ingin punya anak, aku tidak tau apa alasannya." Celin mencerna semua cerita Riki. Dia sendiri tak menemukan jawaban, gadis itu mengusap punggung Riki untuk menghibur dan memberi semangat bahwa semua akan baik- baik saja. Sepeninggal Celin, Riki merenung, menatap komputernya dengan mata kosong. Dia tak ingin lagi berjumpa dengan Mazaya, dia tak mau lagi dijebak oleh wanita itu. Dia harus mencari cara, pindah dari sana tidak mungkin karena dia sudah berjanji kepada Pak Amin. Salah satu caranya adalah dia akan berangkat pagi-pagi sekali dan akan pulang larut malam. Riki melanjutkan pekerjaannya, menyesap kopi yang sudah dingin, mensugesti dirinya bahwa semua akan baik-baik saja. *** Mazaya sehari ini menghabiskan waktu di tempat tidur, siang tadi sakit di perutnya kembali kambuh. Dia hanya merintih sendiri di kamar itu, tak ada yang akan menolongnya. Sekarang sudah pukul sebelas malam, tak ada tanda-tanda si Bisu akan pulang. Mazaya tau, laki-laki itu dari dulu tak menyukainya. Mazaya masih ingat waktu mereka remaja dulu, saat ayahnya membawa anak berusia lima belas tahun ke rumah dengan pakaian kumal dan compang-camping. Ayahnya memperkenalkannya pada Mazaya, tak sedikit pun si Bisu terlihat terpesona dengan kecantikannya, padahal dari dulu dia digilai setiap laki-laki. Harga dirinya merasa terluka, saat gembel cacat bersikap datar kepadanya, bahkan sampai mereka sama-sama tumbuh dewasa. Riki dipekerjakan ayahnya sebagai pengawal sekaligus supir pribadinya. Mengekor kemana pun dia pergi, sehingga dia tak bisa menjalin hubungan dengan lawan jenis di masa mudanya. Kehadiran Riki sangat mengganggu, laki-laki yang berniat mendekatinya langsung mundur teratur. Mazaya merasa terkekang, ayahnya terlalu mengawasinya, dia berusaha meneror Riki supaya dia tidak betah bekerja dengannya dengan harapan setelahnya pria itu mengundurkan diri. Tapi sedikit pun tak ada niat si Bisu untuk mengundurkan diri, hal itu membuat Mazaya semakin membencinya. Dia pernah mendorong Riki ke dalam kolam padahal dia tahu si Bisu tak bisa berenang, dia pernah memasukkan racun di makanan Riki, tapi laki-laki itu bisa selamat karena Pak Amin bertindak cepat membawanya ke rumah sakit. Seluruh perhatian ayahnya tercurah pada Riki. Keinginan melenyapkan pria itu semakin menggebu di hatinya. Tapi sekarang kondisi sedang terbalik, dia menggantungkan hidup pada benih laki-laki itu. Terdengar sangat menjijikkan, tapi ini adalah kenyataan. Dia tak mungkin menyerahkan diri pada laki-laki diluar sana, walaupun dia jahat, dia tak mau melakukannya dengan sembarang orang. Ayahnya mengajarinya, nilai seorang wanita terletak pada kehormatannya, secantik apa pun seorang gadis, dia tak berarti apa-apa jika laki-laki menyentuhnya tanpa ikatan sah. *** Mazaya belum tidur. Pukul dua belas malam, terdengar deru motor milik Riki. Mazaya bangkit, mengintip pria itu dari jendela, wajahnya tampak lelah dan mengantuk, dasi sudah dilonggarkan dari lehernya dan kancing bajunya terbuka sebagian. Mazaya kembali ke tempat tidur, ini adalah malam ke lima pria itu pulang terlambat. Berangkat setelah subuh dan pulang tengah malam. Sejak kejadian di malam itu, mereka tak pernah lagi berkomunikasi atau pun bertemu secara langsung. Mazaya berusaha untuk tidak peduli, tapi dia sangat kesal, apakah malam itu tak memberikan kesan apapun pada pria itu? Sehingga dia menjauh dan menghindarinya. Padahal Mazaya sedikit pun tak bisa melupakannya, dia sangat tidak menyukai fakta itu, namun itulah adanya yang terjadi. Mazaya semakin benci dengan kesombongan pria itu. Selama lima hari ini, Mazaya menghabiskan waktu mengurung diri di rumah. Tak sekali pun dia bersosialisasi dengan tetangganya, walaupun mereka berpapasan di saat-saat tertentu, Mazaya pura-pura tidak melihat. Dia yakin, sekarang dirinya menjadi topik hangat ibu-ibu kurang kerjaan yang berada di lingkungannya. Riki mengisi kulkas dengan lengkap, tapi tak pernah si Bisu tersebut makan di rumah. Mazaya tak ambil pusing, jika dia hamil, dia akan angkat kaki dari rumah ini. Dia akan mencari pekerjaan baru, dia takkan keberatan jika Riki akan meminta anak itu suatu saat nanti. Mazaya berharap, benih Riki sudah mulai tumbuh di rahimnya. Dia tak perlu lagi bersikap manis dan menjebak si Bisu itu melakukannya. *** Pagi-pagi sekali Mazaya sengaja bangun lebih awal, dia ingin bicara dengan Riki. Sikap menghindar itu membuatnya jengkel dan tersinggung. Riki baru saja keluar dari kamarnya, saat mendapati Mazaya sudah berdiri di ruang tamu, wajah dingin dan datar seperti biasa. Mazaya sengaja menunggunya. Kalau tidak, buat apa dia bangun jam empat pagi, bahkan dengan rambut yang masih kusut. "Apa kau sengaja menghindariku? Heh?" Mazaya melipat tangannya di d**a, memandang wajah Riki yang terlihat acuh, pria itu diam saja, berniat berlalu dari hadapan Mazaya. "Apa kau selain bisu juga sudah tuli?" Mazaya marah, dia menahan lengan Riki, Riki kemudian menatap wajah Mazaya dengan bosan seolah-olah berkata, "Ada apa lagi?" "Kau jangan besar kepala, kau kira aku mau menyerahkan diriku padamu kalau tidak terpaksa, aku harus hamil supaya sakit yang kuderita sembuh, hanya kau yang bisa melakukannya, setidaknya anakku terlahir bukan sebagai anak haram." Riki menghela nafas, dia tak peduli dengan Mazaya. Kenapa dia harus membahas kejadian itu lagi. Tidak, seharusnya peristiwa itu tidak diungkit kembali saat ini. Mazaya mendekati Riki, memandang wajah tampan Riki dengan kesal. "Kau tak perlu menghindariku, seolah- olah aku akan kembali memasukkan obat itu lagi pada minumanmu, atau memasukkan racun pada makananmu, tak ada gunanya lagi bagiku melenyapkanmu karena Ayah sudah tidak ada, mulai sekarang bersikaplah layaknya orang asing yang tinggal satu atap!" Riki memperhatikan wajah judes itu, wanita itu memang terlihat pucat, Riki tidak tahu, sakit apa dia. Dia tak peduli dengan ocehan Mazaya, dia selalu sesuka hatinya. Menyetujui kesepakatan dengannya akan membuat Riki semakin terlihat lemah. Riki berlalu ke kamar mandi, meninggalkan Mazaya yang mengumpat kasar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD