bc

Purnama (Bahasa Indonesia)

book_age12+
869
FOLLOW
14.2K
READ
love-triangle
possessive
family
goodgirl
sensitive
police
drama
Writing Challenge
bxg
like
intro-logo
Blurb

Tuhan, Apakah Engkau menciptakan purnama dengan masa yang lebih lama? ataukah sama seperti senja?

Tuhan, Bisakah cinta juga bertahan lama? ataukah hanya sekedipan mata?

Tuhan, Engkaulah pemilik hati. Akankah hati ini menetap lebih lama? atau Engkau putuskan segera berlayar lagi?

Tuhan, Engkaulah sang Maha Perencana terhebat. Maka rencanakan lah kisahku dengan Purnama di malam yang gelap bersama ribuan bintang. Rencanakan lah apa yang terbaik untuk diriku.

Tuhan, Engkaulah Panglimaku, Maka aku percaya pada perintah-Mu.

chap-preview
Free preview
BAB I
Sajak hidup tentang senja telah berlalu. Setelah senja menghilang dan mengingkari janjinya, tentu saja yang datang selanjutnya ialah malam dan malam di pertengahan bulan merupakan puncak keindahan rembulan. Purnama, dia datang di malam yang indah bersama bintang gemintang. Menambah terang malamku. Jam baru saja menunjukkan pukul 19.15 WIB saat aku baru saja keluar dari Hotel Sahid Jaya. Sedang ada kunjungan dari Menteri Komunikasi dan Informatika ke Surakarta, sekaligus melakukan pertemuan dengan pegawai Dinas Komunikasi dan Informatika se-Solo Raya sejak tadi pagi di Aula Hotel Sahid Jaya. Di hari yang spesial ini justru menjadi hari yang paling melelahkan bagiku. 2 Mei satu tahun yang lalu dimana hari gilaku dengan Sada dimulai. Sampai detik ini masih saja gila dan hangat, yang katanya kehangatan cinta dalam sebuah hubungan itu terjadi pada empat bulan pertama. Kenyataannya kehangatan cinta kami terus berjalan hingga satu tahun ini. Bosan? Rasanya tidak. Masih mengenakan seragam batik, rok hitam dan rambut yang kumal karena belum mandi. Menunggu seseorang yang katanya akan menjemputku selepas tugas. Ini sudah lima belas menit berlalu dan aku masih menunggunya di tepi jalan. Menjadi pusat perhatian beberapa orang lalu lalang, menatapku aneh dari ujung kaki hingga ujung kepala. Itu karena penampilanku cukup kumal, berdiri sendirian di samping jalan penuh kemacetan. Tak lama Honda HRV berhenti di depanku. Keluar dari dalamnya seorang tentara berseragam yang telah kunanti. Menyembunyikan satu tangannya di balik punggung. "Nunggu lama ya, By? Maaf, baru selesai ketemu Danyon tadi," ujarnya melangkah mendekatiku. "Sudah biasa kamu datang terlambat menjemputku tapi tidak pernah terlambat jika menemui Danyon atau Danki-mu." Melenggang mendekati pintu mobil. Tangan berototnya menghentikan tangan kananku yang sudah membuka setengah pintu mobilnya. Aku sudah lelah, aku ingin segera beristirahat di dalam mobil, tapi nampaknya kekasihku ini ingin memulai drama romansa seperti biasanya. "Nanti dulu lah." Mengeluarkan tangan yang dia sembunyikan. Sebuket bunga mawar putih dan beberapa krisantium. Memberikannya padaku. Kubaca tulisan kecil di ujung buketnya. Bertuliskan "happy anniversary" senyumku merekah dibuatnya. Memang tepat satu tahun yang lalu tragedi di sore itu. Menyibak pembungkus buket, menghitung tangkai yang ada. "Satu, dua, tiga, empat, lima, enam..." "By!" tegurnya sedikit keras dan menghentikan perhitunganku. "Kenapa selalu menghitung harganya setiap kali aku ngasih bunga sih, By? Jadi nggak serulah!" Memonyongkan bibirnya beberapa mili meter. Aku hanya tertawa tanpa suara. Lucu sekali melihat kekasihku mengekspresikan perasaannya. Yang manis menjadi semakin manis, yang diabetes akan semakin parah karenanya. Inilah caraku menggoda dia disela kesibukannya dan juga kesibukanku. "Emang salah sih ngasih bunga sama orang yang biasa beli bunga sendiri di Pasar Kembang. Pasti dikalkulasi habisnya biaya dan seorang putri memang biasa mewarisi sifat Ayahnya." Ayahku memang sedikit perhitungan. Cekikikan mentertawakannya. "Bercanda, By. Lagipula berapapun biaya yang kamu keluarkan itu tidak penting. Yang penting bunganya itu mempunyai arti. Percuma mahal kalau tidak punya arti sama sekali." Mengusap lengannya. "Tapi loh, By. Aku lebih senang jika kamu memberiku bunga Bank," candaku langsung masuk ke dalam mobil. Membiarkan dia mematung sempurna di luar. Sekian detik, Sada, kekasihku yang tampan dengan seragamnya itu masuk ke dalam mobil. Duduk di balik kemudi lalu menatapku serius. "By, ingat kata Bang Raka ya. Bunga Bank itu bisa termasuk riba," ujarnya mengalihkan perhatiannya ke jalanan. "Bunga Bank termasuk riba. Lantas kamu pakai Bank Konvensional atau Bank Syariah?" tantangku. Dewasa ini, problematika tentang bunga Bank dan kemurnian Bank Syariah memang sedikit membingungkan. Umat Islam diharamkan memakan riba, seperti yang tertera dalam surat Al-Baqarah ayat 275. Tetapi perkembangan Bank Syariah sendiri banyak diragukan, lantas harus bagaimana? Mengapa Bank Syariah diragukan perkembangannya? Jika murni menggunakan prinsip syariat Islam itu tidak akan mudah diterima. Karena masyarakat sudah terbiasa akrab dengan sistem konvensional. Kemudian nilai pasar tidak menjual produk Bank Syariah itu sendiri, jika diteruskan lalu bagaimana pengelolaan dananya? Peminat saja tidak ada. Maka, agar Bank Syariah juga tetap berjalan, tidak mengalami kebangkrutan di tengah jalan, Bank Syariah menyusun produk sedemikian rupa agar dapat diterima oleh masyarakat. Sekarang, jangan menunggu Bank Syariah seusai dengan syariat terlebih dahulu baru mau berhijrah pada Bank Syariah, karena mereka butuh kita untuk memperbaiki bersama-sama. Memusingkan sekali berbicara tentang Bank dan jajarannya, tapi setidaknya aku pernah berminat untuk bekerja di salah satu lembaga perbankan. Hal itu pula yang sedang Bang Raka bingungkan sebagai pegawai Bank Syariah. Padahal ia dulu lulusan perbankan konvensional. Satu hal yang diyakini Bang Raka hingga saat ini, murni atau tidaknya Bank Syariah sesuai dengan syariat Islam yang berlaku. Setidaknya Bank Syariah sudah satu langkah lebih maju untuk berhijrah. "Terpaksa pakai konvensional, By. Ah, sudahlah jadi tak indah malam ini jika kita justru sibuk memperdebatkan bunga bank, Bank Konvensional, dan Bank Syariah." Memakai sabuk pengamannya. Menahan tawa kecilku. "Baiklah, mari kita pulang," ajakku membuatnya menghentikan aktivitasnya. Menatapku dalam, penuh dengan kemarahan. Sada menggaruk kepalanya bukan karena gatal tetapi karena dia frustasi. "By, tahu nggak aku sudah kebut-kebutan dari Yonif? Rela nggak makan biar bisa makan sama kamu. Dan, dan, sekarang kamu mau kita pulang, By? Di hari anniversary kita begini? Astaga." "Loh, bukan begitu, Sada. Aku belum mandi, lihat, kucel sekali. Masa iya kamu berpakaian serapi ini, lengkap dengan seragam PDH-mu. Tapi aku..." Sekali lagi menunjuk diriku dari atas hingga bawah. "Pakai batik kusam, rok hitam, lipstik sudah tidak jelas begini. Aduh, kontras, By," keluhku memang tidak menyukai penampilanku hari ini. Giliran Sada mentertawakan tingkahku. "Percaya atau tidak percaya aku juga belum sempat mandi tapi tetap ganteng, kan?" Menggerakkan kedua alisnya naik turun. Apa tadi dia bilang? Belum mandi? Astaga, dia berangkat dari asrama tapi belum mandi? Jorok sekali dia. Masih lebih baik aku belum mandi karena padatnya acara. Bagaimana bisa aku jatuh cinta dengan laki-laki macam ini? Bukan karena seragamnya aku jatuh cinta, bukan? "Kok jorok sih, By? Kan dari asrama!" "Ya, gimana orang dari tadi sibuk bertemu dengan Danyon. Banyak yg harus dibicarakan, By," jelasnya sembari mencium aroma tubuhnya sendiri. Belum mandi tapi aroma tubuhnya sewangi ini. Aku saja bisa menciumnya dari tempat dudukku. Ah, tapi belum mandi itu tetap jorok meskipun wangi. "Astaga kamu menjijikkan sekali, Da!" Memukul tubuhnya tidak begitu keras. "Bohong, aku sudah mandi tadi. Memangnya aku cowok sejorok itu? Masa mau jemput pacar, berangkat dari asrama tapi tidak mandi dulu. Nah sekarang, cewek jam segini belum mandi? Ampun jorok banget!" Memasang wajah jijik padaku. "Oke, kalau begitu kita pulang, mandi dulu," tegasku. Sudah kalah jika begini. Meskipun dengan alasan sibuk, perempuan belum mandi itu menjijikan sekali menurutku. Sada menghela napas kesal. "By, ini jam tujuh lebih empat puluh lima dan jam malammu hanya sampai jam sembilan. Kalau kita pulang dulu, berapa waktu yang digunakan untuk perjalanan dari sini ke rumah? Belum lagi ke restoran untuk makan, belum lagi perjalanan pulangnya dari restoran. Ya ampun." Sada sudah mirip ibu-ibu. "Kita makan di rumah," usulku yang paling cemerlang. "Hah?" Sangat terkejut. "By, aku sudah memesan tempat khusus dan kamu bilang makan di rumah kamu? Aku sudah susah-susah minta izin sama papamu melalui telepon dan kamu tahu betapa marahnya papamu karena aku tidak datang ke rumah seperti biasanya? Astagfirullah, aku tidak habis pikir kamu semudah itu menggagalkan semua usahaku, By." Bukannya merasa bersalah atau merasa tidak enak dengan Sada, aku justru mentertawakannya. Dia begitu lucu ketika sedang merajuk seperti ini. Dia tidak bisa marah sekali padaku, dia menahannya, itu terlihat jelas. Bukankah kekasihku cukup menggemaskan? "Baiklah, bawa aku ke tempat itu." Berusaha menggenggam tangannya, memberi dia ketenangan agar tidak terlalu kecewa dan meredam emosi yang ditahannya. "Tapi kita mampir mall dulu bisa? Tidak keren sekali kencan sama kamu tapi pakaiannya batik. Emangnya mau ke kondangan?" Sekali lagi menatap sendu batik yang melekat di tubuhku. "Aku sudah bawakan baju untukmu. Entah muat atau tidak, hanya mengira-ira ukuran bajumu saja." Mengambil kotak berukuran besar dengan pita emas di tengahnya. Memberikan kotak itu padaku. "Pakailah!" suruhnya. Aku langsung menjitak kepalanya. "Aduh, By. Tidak sopan sekali. Masa sama pacar kasar begitu," protesnya memegangi kepala. Melipat dahiku. "Habisnya kamu bilang pakailah, m***m!" seruku marah. "Astagfirullah, kamu yang pikirannya m***m. Maksudku dipakai nanti kalau sudah sampai di restorannya. Ishhh... Kebanyakan nonton drama Korea yang aneh-aneh itu sih!" Mengacak-acak rambutku. "Ishhh, jangan acak-acak rambutku, By! Lagipula tidak semua drama Korea isinya seperti yang kamu bayangkan." Menampik tangannya dari kepalaku. Diam dan membiarkan Sada mengemudikan mobilnya. Malu sekali aku dibilang m***m, padahal aku hanya mengantisipasi dan menanggapi pernyataannya. Dia memang kekasihku tapi aku tetap takut jika terjadi sesuatu. Sepanjang perjalanan, Sada terus melirikku tanpa henti. Sesekali tetap fokus pada jalanan kota Surakarta. Malam yang indah dengan bintang gemintang juga bulan sabit yang tersenyum tipis. Jalanan tidak macet, ramai lancar. Seharusnya cukup indah untuk dinikmati berdua. Tapi apalah artinya, aku justru terlelap di dalam perjalanan hingga tiba di Karanganyar. "By, kamu capek banget, ya?" tanyanyal membangunkanku yang masih terlelap. Belum sempurna aku membuka mata, rekat sekali lem yang menempel di kelopak mataku. Perjalanan setengah jam sudah membuatku tidur terlalu lelap. Aku mengangguk setelah mataku bisa terbuka segaris. "Ya sudah, kita pulang saja," ajaknya mengalihkan kemudi menjauhi restoran yang telah di depan mata. Tidak ada raut wajah kecewa seperti yang dia tunjukkan sebelumnya. Dia memang selalu mengkhawatirkanku, apalagi jika sedang lelah begini. Agaknya dia terlalu trauma jika aku pingsan di pelukannya untuk kesekiankalinya. Aku menghentikan tangannya. "Aku mau sama kamu sebentar saja. Aku lapar," ujarku sebagai kode agar dia kembali ke restoran tadi. Sada bahkan sudah memesan tempat jauh-jauh hari untuk peringatan satu tahun hubungan kami. Tidak mungkin aku membatalkannya. Lagipula, ini adalah kali pertama kami bisa bersama setelah tiga Minggu yang lalu dia terlalu sibuk dengan tugasnya. Yang dinas lah, yang latihan lah, banyak sekali yang dia lakukan. "Jangan terlalu memaksa." Berusaha menampakkan bahwa tak masalah. "By, aku merindukanmu," ucapku lirih sembari mengumpulkan nyawa-nyawa yang belum kembali. "Baiklah, kita makan saja sebentar." Menyetujuiku dan langsung memutar arah kemudi lagi. Dia sungguh yang paling manis dalam mengerti aku. Apa yang kuminta bahkan yang tidak kuminta selalu dia berikan. Dia juga yang paling manis dalam memperhatikan kesehatanku. Dia yang tidak pernah lupa menyimpan obatku di mobilnya. Obat untuk seseorang yang mempunyai penyakit Vertigo. Dia juga orang yang tidak pernah lupa meletakkan air mineral di dashboard mobilnya. Sampai di tempat parkir yang sempurna, Sada membukakan pintu untukku. Melindungi kepalaku juga agar tidak terbentur atap mobilnya ketika keluar. Setiap perlakuannya padaku tak ubahnya tetesan madu asli. "Mau ganti baju dulu?" tanyanya begitu aku keluar dan merapikan rambutku di hadapannya. Aku mengangguk kemudian melenggang menuju ke toilet perempuan. Di luar resto yang telah ramai oleh pengunjung. Sada, seorang laki-laki berseragam mengikuti langkahku hingga ke depan barisan toilet restoran. Membawakanku kotak berisi baju yang dia berikan tadi, aku lupa membawanya. "Aku tunggu di luar ya, By?" ucapnya meminta tas kecil di bahuku. Perhatian sekali sampai dia mau membawakan tasku. Sekali lagi aku hanya mengangguk. Nyawaku benar-benar belum pulih sempurna, mulutku juga tak henti-hentinya menguap. Sekian lama aku memakai baju pemberian Sada, berikut dengan membersihkan tubuhku yang tidak terlalu lengket karena keringat. Untung sepanjang hari di dalam ruangan ber-AC meskipun efeknya kulit menjadi kering setidaknya tidak berkeringat. Perempuan membersihkan diri di dalam kamar mandi itu bisa sampai berabad-abad lamanya. Bukan baju biasa, tetapi short dress yang memang pas sekali di tubuhku. Motifnya yang kalem sesuai dengan diriku. Memang tidak akan memalukan memakai baju ini ketika sedang bersama dengan Sada yang berseragam. "By, lipstik, parfum sama kaca di dalam tas." Mengajukan tangan keluar pintu toilet pada Sada. Dua perempuan yang sedang mengantre langsung menertawakan Sada. Laki-laki berseragam menenteng tas perempuan kemudian diminta mengambilkan alat make up untuk pacarnya. Sungguh itu hal yang sangat memalukan bagi seorang laki-laki. Tapi lihat lah Sada, dia benar-benar kehilangan urat malunya sejak satu tahun yang lalu. Memberikan dua benda yang aku minta kemudian kembali lagi ke tempat dia berdiri sebelumnya. Tanpa pernah peduli dua perempuan itu masih mentertawakannya. Sebenarnya dia itu sadar atau memang benar sudah tidak punya pusar alias tidak punya malu. Kiasan dalam bahasa Jawa untuk orang yang kehilangan urat malunya, "Wong Ora Ndue Udel" yang dalam bahasa Indonesia artinya orang tidak punya pusar. Hingga aku keluar lagi dari toilet dengan baju melekat sempurna darinya, polesan lipstik tipis di bibirku dan rambut yang ala kadarnya disisir dengan tangan, Sada masih menunggu di sana tidak peduli pada dunia. "Makasih, By," kataku meminta kembali tas di tangannya. "Kamu tidak malu?" bisikku saat kami sama-sama melangkah pergi dari toilet penuh dengan perempuan itu. "Kenapa harus malu?" tanyanya santai. Memang benar jika dia kehilangan pusarnya. Tersentuh karena aku pikir itu untukku. Dia melakukan hal semacam itu tanpa malu karena aku. "Asal mereka tidak tahu jika aku ini seorang tentara, itu tidak akan menjadi masalah. Malulah jika mereka tahu aku ini seorang tentara, menunggui kekasihnya di depan toilet perempuan, membawakan tasnya pula, sudah gitu mau disuruh ngambilin lipstik sama kaca. Hilang pula kewibawaanku sebagai tentara," lanjutnya santai. Sedikit mengecewakan karena nama baiknya juga image seragamnya tetap penting. Dia mungkin tidak akan melakukan hal itu dengan alasan seragamnya, tapi lihatlah lebih jeli, dia tidak menyadari sesuatu hal yang besar. "Tapi mereka tahu kamu itu tentara, Da." Menunjuk setiap jengkal tubuhnya yang dibalut seragam. Menunjuk pula pangkat di bahunya yang begitu mencolok, juga sepatunya yang sangat kinclong, hasil menyemir berjam-jam. Rasa kecewaku berubah menjadi rasa bahagia, lucu sekali kekasihku ini tidak menyadari penampilannya sendiri. Lihatlah ekspresinya kali ini. Dia menatap nanar tubuhnya yang berseragam, menyentuh lembut pula pangkat di pundak, kemudian dia melihat wajahnya. "Malu, By, malu!" keluhnya menutup wajah begitu rapat dengan kedua telapak tangannya. "Hilang wibawaku, By. Mana pangkatnya mencolok sekali." Hampir-hampir menangis karena malu. Tawaku renyah, melingkarkan tanganku di lengannya. "Kamu bikin diabetes saat ekspresimu seperti ini. Sembunyikan terus wajahmu agar yang lain tidak menikmati manismu." Menutup wajahnya dengan sebelah tanganku sembari menuntunnya ke tempat yang ditunjukkan pelayan. "Atas nama Bapak Purnama?" tanya pelayan terakhir yang kami lewati. Aku mengangguk sambil terus menyembunyikan wajah Sada. Pelayan itu tidak langsung mengatakan kalimat lain. Dia justru heran melihat tingkahku dengan Sada. "Dimana, Mbak?" tanyaku memecah keheranannya yang cukup lama. Membuang jam malamku sia-sia. "Oh!" Terbangun dari pandangannya. "Di lantai dua ya, Bu." Menunjuk anak tangga yang indah dihiasi lampu kelap-kelip. Sada membuka kedua telapak tangannya. "Ibu? Usianya baru 23 tahun dan saya baru 25 dibulan lalu, jadi bukan bapak-bapak. Tolong diralat!" ucapnya membuatku malu. Malu? Tidak, sepertinya aku juga kehilangan urat maluku karena Sada. "Maaf, Pak, eh, Mas, eh..." Pelayan di hadapan kami salah tingkah. Lagipula sudah biasa seorang tentara itu dipanggil Pak oleh warga sipil walaupun masih muda. Dalam rangka menghormati, Sada saja yang terlalu sensitif macam ibu-ibu hamil. "Maaf ya, Mbak." Menarik tangan Sada untuk menaiki anak tangga. "Jangan malu-maluin ya, By!" gertakku merekatkan barisan-barisan gigiku. "Ya, habis Mbaknya bikin emosi sih!" Alibi dari Sada. "Kamu lagi PMS ya?" bisikku. Sada melepas lingkaran tanganku di lengannya. "Kamu pikir aku banci? Banci juga nggak akan PMS, By!" Menarik tanganku lembut, menuju satu meja bundar di tengah-tengah lantai dua. Sepi sekali lantai dua ini. Hanya ada satu meja bundar di tengah-tengah, dilingkari lilin-lilin kecil yang menyala dan tiga tangkai bunga mawar di tengah meja. Kerlap-kerlip lampu ikut menambah suasana manis yang tercipta. Mataku dibuat bulat sempurna karena keindahan malam di lantai dua. Kantukku enyah dalam beberapa detik. Sungguhlah ini benar-benar kencan yang sempurna. Hanya berdua, bulan sabit melengkungkan senyumnya, bintang pun ikut hadir seolah tahu yang di bawah tak kalah gemerlap hatinya. Masih berbinar dengan apa yang dibuat Sada hari ini. "Happy anniversary, By. Maaf karena terlalu kekanak-kanakan seperti ini. Tapi sekali dalam seumur hidupku, aku ingin membuatmu tertawa dengan kekanak-kanakanku," ucapnya manis terdengar di telinga. "Aku tahu kita sama-sama telah menginjak dewasa. Tidak perlu lah acara anak kecil semacam ini, selalu mengadakan peringatan ala-ala setiap kali tahun berganti. Akan tetapi aku ingin menjadi anak kecil hari ini, menikmati malam singkat bersamamu. Melepas penat karena tugas negara masing-masing. Sekali ini saja ijinkan aku bersyukur atas satu tahun yang terlewat bersamamu." Meraih tubuhku lalu memelukku. "Tunggu aku sampai menjadi Lettu," bisiknya di telinga kananku. Membuat sekujur tubuhku kaku tidak berdaya. Merasuk ke dalam sukma dan menyentuh dindingnya lembut sekali. "Aku akan menikahimu saat itu, mulailah jadi Tante yang baik untuk ponakanmu kemudian jadilah Mama yang baik untuk anakku," bisiknya lagi semakin syahdu. Hanya kami berdua, maka tidak ada yang mengusik adegan ini. "I love you." Bisa-bisanya dia mengatakan kalimat indah dan manis itu di telingaku tanpa pernah memberiku waktu untuk membalas setiap kalimatnya. "A..." "Terima kasih untuk kesetiaan dan kesabarannya menemaniku mengabdi. Dari kesetiaan dan kesabaran itulah aku memiliki dua kaki kuat untuk kembali berdiri saat lelah menghampiri, terkadang saat aku ingin berhenti mengabdi. Kamulah alasanku tetap bertahan dalam pengabdian." Lagi-lagi tak memberiku kesempatan untuk berbicara. "Terima kasih pula telah menjadi perempuan waras untuk laki-laki gila macam aku ini. Satu hal yang perlu kamu ingat, kegialaanku itu karenamu. Karena aku yang tidak tahu bagaimana caranya mencintaimu." Tetap memelukku dan mengucapkan kalimat manis tanpa henti. "Ter..." "Bolehkah aku saja yang berbicara?" giliranku memotong dengan sempurna. Hari ini adalah hari milik kami berdua, bagaimana bisa hanya dia yang mengungkapkan perasaannya. Sada tersenyum di hadapanku, tanpa pernah mau melepas lingkaran tangannya di pinggangku. "Terima kasih telah menjadi kekanak-kanakan dan menjadi gila untukku. Menjadi sumber..." Berjinjit, berusaha mendekat di telinganya. "...senyum bahagiaku," berbisik lembut di telinganya. "I love you more," bisikku sekali lagi lalu menurunkan tumitku. Tak sanggup berlama-lama berjinjit hanya untuk berbisik. Menyunggingkan senyumnya lebar. "Tetaplah menjadi Purnama yang manis dan membuatku terserang diabetes. Tetaplah menjadi Purnama yang tidak membosankan dan selalu bercahaya," ucapku berusaha melepas lingkaran tangannya. Beralih duduk di kursi kayu yang telah di sediakan."Aku sudah lapar," ucapku merusak suasana manis menjadi renyah. Sada mengikuti langkahku. Malam semakin larut dan jam malamku semakin sempit. Kami masih menikmati menu yang tersedia kala Mukti membuat ponsel Sada berdering. Mengganggu sekali. "Tidak kamu angkat?" tanyaku menatap ponsel Sada di sisi kanan meja. Terus berdering menunjukkan nama Mukti di sana. Setahun belakangan ini dia hanya menjadi pengganggu kencan kami. Selalu begitu. Entah dia sengaja mengganggu atau memang untuk mengabarkan tugas mendadak. Menggeleng. "Tidak perlu," jawabnya singkat mengabaikan ponselnya untuk kesekian kalinya. Dia bahkan enggan melirik nyala ponselnya. Sada lebih memilih memandangku lamat diantara gemerlap lampu kecil dan lilin. Aku menatap Sada dan Sada menatapku, tatapan kami bertemu di satu titik yang dalam. Di sana kami saling menikmati debar jantung masing-masing, menikmati deru napas tidak menentu, saling menyiratkan cinta melalui mata. Sekian menit adegan terus berlangsung. Hingga akhirnya Sada frustasi oleh dering ponsel yang tidak pernah mau berhenti diam. "Assalamualaikum, Serda Garuda Amukti Wijaya." sapa salam setelah mengangkat telepon dari Mukti. Bedakan mana yang manis gula asli dan manis gula palsu. "Bukankah sudah saya bilang untuk tidak mengganggu saya?" tekan Sada menggertakkan giginya. Entah apa jawaban yang di seberang sana. Tebakanku sih pasti si Mukti bilang, "Siap salah, Danton!" Selalu itu yang dia katakan pada Sada. Sada bangkit dengan cepat, rautnya seperti terkejut. Apakah aku salah menduga? Mungkin Mukti tidak hanya mengatakan kalimat siap salah. Pasti lebih dari itu, lihat saja ekspresi Sada. Serius sekali. "Iya gawat kenapa?" tanya Sada tidak sabar dan panik. "Maaf sayang sepertinya ada tugas mendadak," ucapnya padaku sambil bergerak gelisah. Mengambil napas dan menghembuskannya singkat. Apakah ini kedua kalinya waktu bersama kami terhenti karena tugas mendadak? "Iya, gawat kenapa?" suaranya mulai meninggi. "Astagfirullah, Mukti!" Serunya keras setelah diam beberapa saat. Berubah menjadi merah padam wajahnya, tidak terlalu kentara karena remang menyamarkannya. Tapi jelas sekali setiap garis wajah mengatakan amarah. "Why?" tanyaku lirih. "Abis ini kamu beresin kamarku, ya? Jangan lupa sikap taubat di depan pintu asrama!" perintah Sada tidak peduli dengan pertanyaanku, masih sibuk meredam amarahnya pada Mukti. Menarik napas dalam kemudian mengeluarkannya bersamaan dengan amarah, meletakkan pula ponselnya pada tempat yang semula. "Kamu tahu Mukti bilang apa, By?" Aku menggeleng. "Bang, gawat, Bang. Urgent ini! Yakin, Bang!" seolah menirukan gaya bicara Mukti. "Bang yakinlah, gawat sekali ini! Aku lapar..." Setelah menggebu langsung lirih. Mungkin juga begitu Mukti tadi. Tunggu, apa tadi barusan? Menelepon lebih dari sepuluh kali hanya untuk mengatakan bahwa dia lapar? Sepertinya Mukti sengaja mengganggu kami. "Dia telepon dengan kepanikannya itu hanya untuk mengatakan bahwa dia lapar tetapi tidak ada teman untuk keluar beli makan, By," jelas Sada masih saja menahan emosi. "Kan jadi pengen nembak kepalanya nanti." "Aduh, aku juga jadi pengen jitak kepalanya, By." Ikut menahan amarah. Bayangkan saja saat kamu sedang mengunyah permen yang manis sekali tetapi tiba-tiba permen itu berubah menjadi pahit. Begitulah kiasan ngawurnya perasaanku saat ini. Sedang manis-manisnya menikmati malam justru ternodai karena rengekan anak kecil dari Mukti. "Tenang, By. Nanti aku jitakin kepalanya, mewakilkan kamu," candanya meskipun tetap menahan amarah. Setelah insiden perusak malam orang, aku dan Sada kembali menikmati suasana restoran kemudian pulang. Jam malamku telah usai. Di depan rumah, Papa sudah menunggu bersama dengan Bang Raka, ditemani segelas kopi yang uapnya terlihat jelas juga beberapa buku keuangan di meja. Takut-takut Sada turun dari mobilnya untuk menyapa Papa juga Bang Raka. Mungkin karena dia masih merasa bersalah meminta izin melalui telepon. "Maaf, Om. Terlambat empat menit dua puluh detik," ungkapnya menunduk setelah bersalaman dengan Papa. Aku hanya bisa menahan tawa sambil memeluk mersa buket bunga di dadaku. "Sibuk sekali ya di kesatuan?" tanya Papa berbeda 180°. Wajahnya garang tapi pertanyaannya semacam lunak. Sada mengangkat kepalanya. Menatap Papa bingung. "Iya, Om," jawabnya datar. "Kasian calon menantu, Om. Semoga dilancarkan tugasnya, ya?" Mengusap kedua lengan Sada. Bang Raka yang berdiri di samping Papa menahan tawanya. Sementara Sada menatapku bingung, aku hanya menjawab tatapan itu dengan gelengan dan tawa. "Siap, Om. Terima kasih dan maaf sekali lagi." menundukkan kepalanya lagi. "Aishh... Tak apa. Om paham kok." Kembali mengusap lengan Sada. "Mau mampir dulu?" "Tidak, Om. Langsung kembali saja ke asrama, sudah ditunggu rekan soalnya." Menolak dengan sopan. Kalimat-kalimat pamit menjadi penutup malam ini. Malam yang manis untuk diriku sendiri dan mungkin manis juga untuk Sada. Meskipun dengan tubuh lengket dan kusam, bau asam dan sedikit pengganggu di tengah-tengah kencan. Tetapi semua tetap terasa manis di tahun pertama. Sepanjang tahun dibuat diabetes karenanya. Purnama.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Kujaga Takdirku (Bahasa Indonesia)

read
76.1K
bc

Air Mata Maharani

read
1.4M
bc

Kupu Kupu Kertas#sequel BraveHeart

read
44.2K
bc

Enemy From The Heaven (Indonesia)

read
60.7K
bc

Om Tampan Mencari Cinta

read
400.5K
bc

Mentari Tak Harus Bersinar (Dokter-Dokter)

read
54.2K
bc

MANTAN TERINDAH

read
7.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook