Prolog
Diam-diam aku mengamati lelaki yang telah terlelap di sebelahku. Aku mengembuskan napas lega melihatnya terlelap, itu artinya aku bisa pulang. Telah selesai.
Pelan-pelan aku turun dari ranjang dengan mata memicing mencari pakaianku dalam kondisi kamar yang gelap. Tak berapa lama, aku melihat pakaianku tergeletak. Kausku berada di bawah ranjang sedangkan celakanaku di ujung hampir sebelah lemari. Aku menggeleng, lelaki itu membuangnya sembarangan dan membuatku memunggut dalam kondisi kamar seperti ini. Perlahan, aku memungut pakaianku satu persatu lantas kupakai dengan cepat.
Setelah memakai pakaian, aku kembali menatap lelaki yang sekarang tertidur dengan posisi tengkurap. Dia terlihat nyenyak dengan dengkuran halus dan agak serak. Entah kenapa senyumku mengembang melihat wajah polosnya.
Kemudian, aku ingat dengan tujuanku tadi, yaitu pulang. Segera aku mengakhiri mengamati lelaki itu lantas berjalan pelan keluar kamar.
Sesampainya di depan pintu, perasaanku sangat lega. Aku bersandar di tembok dekat pintu, sambil mengatur napas.
Satu malam telah terlewati.
Tinggal melewati hari tersisa yang emm masih cukup panjang.
Saat memikirkan itu, perasaan sesak seketika muncul. Rasa yang selalu hadir setelah aku melakukan pekerjaanku. Aku menunduk,
tak pernah terpikirkan jika aku melakukan pekerjaan kotor.
Aku kembali menoleh ke kamar. Lelaki itu masih tidur dengan posisi sama—tengkurap. Mataku refleks terpejam, teringat saat lelaki itu mendekatiku dan menawariku sebuah perjanjian tak biasa.
Sejak tiga bulan lalu, aku memiliki pekerjaan sampingan ini. Yah pekerjaan yang sebenarnya menjijikkan, tapi tetap aku lakukan. Kalau bukan karena kepepet aku tidak akan masuk ke dunia kelam itu. Mungkin jika orang lain ada yang tahu pekerjaanku, pasti mencemoohku. Sudah pasti itu. Namun mau bagaimana lagi, aku butuh uang cepat dan hanya ini peluang yang ada di depan mata. Setidaknya kala itu. Biarlah orang menilaiku w************n atau kata buruk lainnya. Bagiku mereka hanya bisa bicara dan tidak memahami bagaimana jika mereka di posisiku.
Yah, aku sendiri mengakui pekerjaanku tidak bisa dibenarkan.
"Huh...." Napasku kembali sesak.
Aku membuka mata dan segera berbalik menuju ruang tamu. Aku mengambil ranselku yang kucel di atas sofa kemudian keluar apartemen. Seiring langkahku menjauhi apartemen itu, pikiran tertuju ke kehidupanku yang sangat berbanding terbalik dengan remaja biasanya. Pemikiran itu selalu muncul setiap harinya.
Perkenalkan, namaku Scarla Heyani, anak pertama dari dua bersaudara. Kedua orangtuaku telah tenang di alam keabadian, kini aku hanya hidup bersama adikku. Aku seorang mahasiswa Pendidikan Ekonomi semester 7 di universitas ternama di Jakarta. Mahasiswa semester tujuh identik dengan persiapan untuk skripsi, aku juga seperti itu. Disamping statusku sebagai mahasiswa aku juga mencari kerja untuk mencukupi kebutuhanku dan adikku.
Aku menunduk, satu lenganku aku angkat. Aroma keringat dan parfum yang bercampur menjadi satu memenuhi hidung. Aku menutup mulut saat isi perut hendak keluar, selalu seperti ini. Aku sebenarnya jijik dengan tubuhku dan aroma seperti itu. Tapi mau bagaimana? Ganti tubuh? Itu jelas tak mungkin. Jadi yang aku lakukan hanyalah menjalani keadaan yang telah aku pilih. Meski begitu aku optimis hidupku pasti akan berubah, yang pasti lebih baik dari sekarang.
Sesampainya di lobi, aku berjalan menuju trotoar. Sejauh mata memandang, aku tak melihat ada angkutan umum yang lewat. Segera kuambil ponsel di ransel, melihat waktu telah menunjukkan pukul dua belas malam.
"Ah...." Aku mendesah kesal, pantas saja tak ada angkot.
Aku lalu berjalan sambil menunggu taxi. Sebenarnya aku malas menggunakan angkutan itu. Alasannya karena aku harus mengeluarkan uang lebih hanya untuk perjalanan pulang.
Sambil berjalan aku mengamati kedai makanan cepat saji. Aku melihat remaja seumuranku sedang nongkrong bersama teman-temannya. Bibirku tertarik menjadi garis lurus. Terkadang aku ingin hidup normal seperti remaja lainnya. Nongkrong bersama teman, jalan-jalan dan bersenang-senang lainnya. Sedangkan aku?
Buru-buru aku mengalihkan pandangan sebelum pikiranku ke mana-mana. Aku berjalan cepat dengan bibir yang aku paksakan tertarik ke atas. Sambil mencoba menghilangkan rasa iri yang sempat memenuhi pikiranku. Aku tak boleh seperti itu.
Meski, memang aku telah salah memilih hidup.