1. Pertemuan
Nayma menyipitkan matanya memandang sosok berkulit coklat gelap yang sedang memunggunginya. Sosok itu begitu serius dengan pekerjaanya sampai Nayma harus sedikit berdehem agar kehadirannya disadari. Bagaimana tidak, dengan membawa seember pakaian kotor ini menyusahkan langkahnya untuk menuruni kapal. Dia melangkah ragu dan menunggu lelaki itu menyadari kehadirannya.
"Maaf, sepertinya aku menghalangi jalan ya." Sosok dalam wujud laki-laki itu tersenyum lebar. Nayma sampai salah tingkah dibuatnya. Nayma jarang sekali melihat laki-laki yang seperti sosok dihadapannya saat ini, berkulit gelap dan bermata gelap. Ayahnya selalu melarangnya untuk berinteraksi dengan orang luar. Entah ketakutan apa yang membuat ayahnya tidak pernah suka jika dia memiliki berinteraksi dengan orang asing. Kakak laki-lakinya juga bertubuh tinggi seperti lelaki ini tapi kulitnya tidak segelap lelaki ini malahan kulit mereka hampir seputih kapas dan mata mereka sangat kecil, hanya menyerupai garis jika tertawa. Nayma melengos menyadari jika dia juga seperti itu, putih dan bermata kecil.
"Silahkan lewat, Nona," lelaki itu mempersilakan Nayma melewatinya sementara dia menghentikan pekerjaannya sejenak. Lelaki ini pasti orang suruhan ayahnya yang diminta untuk memperbaiki kapal mereka. Beberapa hari ini ayahnya mengeluh banyak kerusakan di kapal mereka yang menyebabkan mereka tidak bisa berdagang. Sepertinya kerusakannya lumayan parah sampai ayahnya harus meminta bantuan seseorang.
Liong, ayah Nayma adalah pemilik kapal yang saat ini sedang berlabuh di sebuah pinggiran sungai besar yang menghubungkan kota-kota di pulau Antaria ini. Nayma dan keluarganya tidak memiliki tempat tinggal permanen, hanya kapal tempat tinggal mereka. Mereka berdagang dari satu sungai ke sungai lainnya. Dan hanya akan menetap selama beberapa waktu jika kapal mereka mengalami kerusakan. Keluarga mereka sendiri sebenarnya berasal dari pulau Pilsia yang berada di dekat samudra Ar. Sebuah pulai dimana hampir sebagian besar penduduknya bermata pencarian sebagai pedagang. Nayma lahir di kapal dan seumur masa remajanya dihabiskan di kapal.
"Mau dibantu?" tanya laki-laki itu lagi saat dilihatnya Nayma kesusahan menuruni tangga dengan bawaannya yang banyak. Nayma tersenyum malu sambil menundukkan wajahnya. Entah kenapa jantungnya terasa berdebar sangat kencang saat pandangan mereka bertemu. Lelaki berkulit gelap ini seolah-olah menyihirnya.
"Eh... aku bisa sendiri," jawab Nayma salah tingkah. Jawaban Nayma tidak membuat lelaki itu membiarkannya menuruni kapal sendiri. Dengan sigap, lelaki itu mengambil seember penuh pakaian yang ada di tangan Nayma dan mempersilahkan Nayma menuruni tangga.
"Te...terimakasih," ucap Nayma terbata saat lelaki itu menyerahkan embernya. Nayma sudah berada di daratan dan dia akan mencari tempat yang bisa digunakannya untuk mencuci baju keluarganya. Ayahnya pasti akan memarahinya jika tahu dia keluar kapal. Padahal Nayma ingin sesekali menghirup udara luar, tidak melulu mencium aroma kapal yang membuatnya muak, aroma bahan bakar kapal bercampur dengan aroma air sungai.
Ayahnya adalah laki-laki keras kepala dan paling banyak aturan. Tidak pernah memarahinya dengan kata-kata kasar tapi hanya akan mendiamkannya jika Nayma berbuat salah. Berbeda dengan kedua kakak lelakinya yang jika berbuat kesalahan akan dbantai habis-habisan oleh ayahnya. Dibantai dalam arti sebenarnya, dipukul dan dihajar. Mungkin karena Nayma anak perempuan satu-satunya, anak kesayangan begitu kedua kakaknya mengejek.
Biasanya Nayma selalu mencuci pakaian keluarganya di dalam kapal. Ayahnya telah membuatkan sebuah ruangan kecil di samping kamar mandi. Ruangan kecil yang bisa digunakan Nayma menjerang air dan mencuci pakaiannya. Tapi, Nayma sedang tidak ingin melakukan aktivitas mencucinya di kapal, dia bosan dan sedang ingin mencari suasana baru.
"Kalau ingin mencuci, bisa disana, Nona," lelaki itu menunjukkan sebuah tempat. Nayma memandang ke arah yang ditunjuk lelaki itu dengan bingung. Nayma memang jarang sekali turun dari kapal. Kalaupun dilakukannya, pasti akan ditemani Sia, ibunya. Apalagi tempat ini baru beberapa hari disinggahi kapal mereka, sebuah kota kecil dengan pemandangan yang begitu indah.
"Mari aku antarkan." Sebelum Nayma sempat berbicara ember yang tadi berada di tangannya berpindah ke tangan lelaki itu. Tidak tahu mau berbuat apa, Nayma mengikuti langkah lelaki itu. Dan lagi-lagi Nayma tidak tahu kenapa jantungnya terasa berdetak kencang.
"Disini tempat yang tepat untuk mencuci, Nona."
Dibawah sebuah pohon beringin tua yang sulurnya menjuntai sampai ke sungai, disitulah lelaki itu membawa Nayma. Letaknya memang tidak terlalu jauh dari kapal ayahnya, hanya beberapa meter. Suasana yang sejuk karena naungan pohon beringin membuat suasana hati Nayma menjadi tenang. Dia tersenyum saat menyadari suasana hatinya menjadi lebih baik.
"Aku kembali ke kapal ya." Lelaki itu pamit dan Nayma hanya biasa memandang punggung lelaki itu tanpa bisa mengucapkan terimakasih. Entah kenapa lidahnya terasa kelu dan aneh wajahnya terasa memanas. Nayma malu dan salah tingkah. Dia berguman kesal, menyadari kebodohannya.
Selama ini Nayma tidak pernah berbicara dengan lelaki asing. Hanya ada tiga orang lelaki dalam hidupnya, ayah dan dua orang kakak lelakinya. Hidup di kapal membuat Nayma tidak memiliki teman satu pun. Mereka tidak pernah menetap dalam jangka waktu yang lama dan membuat Nayma tidak berkesempatan untuk menjalin pertemanan dengan orang-orang yang sebaya dengannya. Bagi Nayma, keluarganya adalah temannya, tidak ada yang lain.
Nayma juga tidak mengemban tugas seperti kedua orang kakaknya yang mengharuskan mereka berdua sering bertemu orang baru untuk menawarkan dagangan mereka. Tugasnya hanya membantu ibunya memasak, mencuci dan membereskan kapal mereka.
Sayup-sayup terdengar suara palu yang dipukul dengan keras. Nayma menatap sumber suara itu. Lelaki berkulit gelap dan bermata besar yang tadi menolongnya sudah melanjutkan pekerjaannya. Sinar matahari pagi menerpa tubuh lelaki itu dan membuatnya seolah bercahaya. Nayma baru tahu, ternyata kulit lelaki itu sangat indah saat terkena cahaya matahari. Matanya mengerjap beberapa kali dan kemudian membandingkan dengan kulitnya yang putih pucat. Dia menarik nafas panjang, warna kulitnya membuatnya nampak seperti orang sakit. Sedangkan lelaki yang disana, dengan kulit coklat gelapnya nampak sangat sehat dan...tampan.
Seperti tersadar akan sesuatu, Nayma langsung mengalihkan padangannya. Dia baru saja mengatakan tampan pada seseorang, apa artinya dia sudah mulai tidak waras? Nayma menggeleng-gelengkan kepalanya tanpa sadar. Mengatakan lelaki itu tampan malah membuatnya malu.
Sambil mengucek pakaiannya di dalam air sungai, Nayma memikirkan kebodohannya. Apa-apaan yang telah dilakukannya, benar-benar sangat memalukan. Bagaimana kalau lelaki itu tahu dia memandanginya diam-diam. Wajah Nayma memerah menahan malu. Seharusnya tadi dia mencuci di dalam kapal saja.
Nayma akan meminta ayahnya untuk tidak mempekerjakan lelaki itu di kapal mereka lagi. Bukankah biasanya juga dua orang kakaknya bisa memperbaiki kapal mereka sendiri tanpa bantuan orang lain? Lelaki itu membuat pikirannya jadi aneh. Jadi jangan sampai dia bertemu untuk kedua kalinya.(*)