"Ayah, Kak Abie dan Kak Asei kenapa tidak pulang-pulang?" tanya Nayma sambil memijit kaki ayahnya.
"Kenapa? Bukannya kamu yang paling senang kalau mereka tidak ada di rumah?" jawab Liong.
"Rasanya sepi, Ayah." Nayma menundukkan wajahnya, berpura-pura sedang fokus pada kaki ayahnya. Padahal dia sebenarnya hanya ingin mengatakan, kenapa tidak kedua kakaknya yang mengantikan lelaki berkulit gelap itu untuk memperbaiki kapal mereka. Beberapa hari ini dia merasa tidak tenang karena wajah lelaki itu seperti berputar-putar di kepalanya. Baru saja dia membuka mata di pagi hari dan mendapatkan sosok lelaki itu sudah bergumul dengan alat-alat pertukangannya. Dan saat mata mereka saling bertemu, Nayma merasakan salah tingkah yang luar biasa. Dia hanya ingin lelali itu tidak tertangkap oleh matanya lagi.
"Kita belum bisa pergi dari sini jika mereka belum datang," lanjut Liong.
"Seharusnya jangan suruh mereka berdua yang pergi ke kota." Sekarang Sia menimpali.
"Ayah menyuruh Kakak ke kota untuk apa? Bukannya barang dagangan kita masih banyak?" Tak urung Nayma penasaran juga.
"Mesin kapal banyak yang harus diganti, Ayah menyuruh mereka berdua membelinya di kota." Nayma merenung memikirkan perkataan ayahnya. Dia tidak tahu seberapa jauh kota yang dimaksud ayahnya, sepertinya lumayan jauh hingga di hari kedua ini, kedua kakaknya belum juga pulang.
"Terus untuk apa orang suruhan Ayah itu mengotak-atik kapal dari tadi pagi?" Akhirnya Nayma menemukan kalimat pembuka yang cocok untuk hal yang mengganjal di pikirannya.
"Dia bukan mengotak-atik. Tapi dia membantu Ayah memperbaiki kapal sampai mesin-mesin yang dibeli kakakmu datang," jelas Liong.
"Kata orang-orang desa, dia sangat berpegalaman," lanjut Liong mirip seperti pujian.
"Tapi dia berisik sekali, Ayah. Aku sampai tidak bisa tidur gara-gara mendengar suara ketukan palunya." Nayma mencemberutkan wajahnya menandakan dia benar-benar serius dengan ucapannya.
"Dia kan hanya bekerja dari pagi sampai sore. Kenapa bisa terganggu, kamu kan tidak suka tidur siang." Sia mengomentari perkataan putrinya. Nayma mendelik, menyadari dia telah salah berbicara.
"Maksudku...aku jadi tidak bisa berkonsentrasi menyelesaikan sulamanku," kilah Nayma. Ah, bahkan dia juga tidak mempunyai hobi menyulam. Menyulam hanya dilakukannya di saat-saat tertentu.
"Kalau begitu menyulamlah di luar kapal." Nayma menatap ayahnya dengan pandangan tidak percaya. Sejak kapan ayahnya mengizinkan dia keluar dari kapal untuk hal yang tidak terlalu penting, menyulam misalnya.
"Menyulamlah di tempatmu mencuci baju tadi pagi. Disitu lumayan teduh." Lagi-lagi Nayma tidak menyangka ternyata ayahnya tahu pagi tadi dia sudah keluar dari kapal dan ajaib tidak memarahinya.
Membayangkan dia akan menyulam di tempat yang disebut ayahnya tadi membuat dia malu sendiri. Bagaimana tidak, dia akan dengan mudah memandangi lelaki berkulit gelap itu sedang memperbaiki kapal mereka. Nayma tidak bisa membayangkan bagaimana jika pandangan mereka bertemu, bagaimana jika lelaki itu mengajaknya berbicara, bagaimana jika...
"Kamu kenapa? Sakit?" tanya Sia saat dilihatnya Nayma menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tidak ibu, tadi...tadi ada serangga," Jawab Nayma asal. Bodoh, Nayma mengutuki dirinya sendiri. Kenapa lelaki itu muncul kembali di pikirannya?
"Kalau begitu antarkan teh dan kue ini untuk Arash, Ibu mau menyelesaikan jahitan baju ayahmu." Sia menunjuk seteko teh beserta kue yang ada di meja.
"Arash?" tanya Nayma bingung.
"Anak muda yang sedang memperbaiki kapal kita." Ayahnya yang menjawab. Nayma memandang Ayah dan Ibunya berkali-kali, mencoba menemukan keanehan di wajah mereka saat menyebutkan nama itu. Tidak ada yang aneh. Kenapa hanya dirinya yang bahkan memikirkan lelaki itu membuat jantungnya berdegup kencang, padahal dia belum tahu namanya.
"Tapi...aku sedang memijit Ayah," tolak Nayma.
"Antarkan dulu, nanti setelah itu kamu bisa memijit Ayah lagi." Liong menarik kakinya sehingga tangan Nayma tidak bisa memijit kakinya lagi.
Kali ini Nayma tidak bisa menolak lagi. Kata penolakan sudah hampir keluar dari mulutnya lagi, tapi dicegahnya. Ayah dan Ibunya pasti curiga kenapa dia tidak mau melakukan pekerjaan mudah itu. Apakah Ayah dan Ibunya percaya jika dia mengatakan jantungnya berdebar-debar, wajahnya memanas, dan lidahnya mendadak kelu jika bertemu lelaki itu? Mereka pasti tidak akan percaya.
Dengan langkah berat, Nayma membawa nampan berisi teh dan kue menuju ujung kapal. Dari jauh matanya sudah menangkap punggung lelaki itu, berkilat karena keringat yang tertimpa cahaya matahari.
Kue yang diantarkan Nayma ini adalah hasil buatannya semalam. Kue yang dibuatnya dari beras yang ditumbuk halus. Berasnya sendiri didapatkan dari hasil barter dagangan mereka dengan penduduk asli pulau ini. Ayahnya sangat menyukai kue sederhana ini. Tapi entahlah, Nayma tidak tahu apakah lidah lelaki itu juga sama.
Saat jaraknya tinggal beberapa langkah lagi, Nayma terdiam. Perasaan aneh mulai merayap pelan dan itu membuatnya merasa tidak nyaman.
Nayma bingung, kalimat pembuka apa yang tepat untuk menyapa lelaki itu. Bagaimana jika ditinggalkannya saja nampan ini dan kemudian pergi tanpa bicara satu kata pun?
"Tidak usah repot-repot, Nona." Nayma tersentak kaget, padahal tadi dia sedang memikirkan harus berbicara apa.
"Ngg...Ibu menyuruhku mengantar teh dan kue ini," katanya.
"Terimakasih. Simpan saja disana, Nona," jawab lelaki itu.
"Istirahat saja dulu, nanti baru dilanjutkan lagi." Saat kata terakhir diucapkan, Nayma tidak mengerti kenapa dia bisa berbicara seperti itu.
"Usul yang bagus. Ayo duduk disini, temani saya minum teh, Nona."
"Nayma, jangan panggil Nona," protes Nayma dengan wajah serius. Dia kesal sekali, lelaki ini sangat suka memanggilnya dengan sebutan Nona. Nayma tidak suka, rasanya terlalu kaku dan malah membuatnya tambah salah tingkah. Lelaki itu terbahak dan kemudian menuangkan tehnya.
"Baiklah Nayma, sepertinya umur kita tidak berbeda begitu jauh. Kalau begitu panggil saja aku Arash."
Seketika Nayma terdiam. Dia sudah tahu nama lelaki itu dari ayahnya. Arash, nama yang begitu indah saat disebutkan. Ah, lagi-lagi Nayma merasa wajahnya mendadak memanas. Tapi, kali ini saat mendengar dia menyebutkan namanya sendiri, lagi-lagi perasaan aneh mulai menjalarinya.
"Kue ini kamu yang buat?" tanyanya sambil mengunyah kue dengan bersemangat. Nayma tercengang dan mendadak kesulitan untuk menjawab pertanyaannya. Dia gadis yang tidak pandai berbasa-basi, dan kali ini entah kenapa Nayma berusaha dengan keras agar pembicaraan mereka tidak berhenti sampai di situ saja.
"Eh...iya," sahutnya tergagap.
"Enak," katanya singkat. Hanya satu kata dan membawa efek yang luar biasa buatnya. Nayma merona dan menunduk tersipu.
"Besok akan kubawakan lagi," ujar Nayma bersemangat. Sejenak dia tersadar dan menutup mulutnya.
Arash tersenyum dan mengangguk dengan yakin. Ada apa ini? Apa pengaruh udara yang begitu panas, atau karena semalam dia tidak bisa tidur dengan benar. Kenapa rasanya detak jantungnya semakin kencang?
"Besok kamu masih di sini?" tanya Nayma pelan, hampir tidak terdengar.
"Tentu saja, pekerjaanku belum selesai," sahut Arash dan entah kenapa Nayma malah mengembuskan napas lega. Dia terdiam dan pada saat yang bersamaan pandangan mereka bertemu di satu titik. (*)