Nayma bangun dengan tergesa, apalagi saat dia membuka jendela kamarnya dan mendapatkan matahari sudah begitu tinggi. Dia mendesah gelisah, tidak biasanya dia kesiangan seperti ini.
Apakah mungkin karena mimpi yang semalam dialaminya? Tapi entah kenapa, saat matanya terbuka tadi, mendadak dia melupakan mimpinya. Seperti ada yang aneh dengan mimpinya, tapi bahkan Nayma sendiri tidak berhasil mengingatnya.
"Nayma, Ibu dan Ayah turun dari kapal sebentar untuk menjual dagangan kita." Suara ibunya memecah konsentrasinya.
Ayah dan ibunya berdagang barang keperluan rumah tangga, seperti rempah-rempah untuk bumbu dapur, ikan atau daging yang sudah diawetkan oleh ibunya sendiri. Atau pun kadang juga mereka menjual peralatan rumah tangga seperti pisau, juga alat berburu.
Semua barang-barang dagangan mereka itu didapatkan Ayahnya dari kota-kota yang mereka singgahi dan kemudian dijual kembali di kota lainnya. Begitu terus siklus hidup mereka, sampai Nayma sendiri sudah lupa dengan kota asalnya.
"Aku ikut," ujarnya cepat sambil membuka pintu kamarnya.
"Di kapal saja. Sebentar lagi Arash akan datang, dia akan bingung kalau tidak ada satu orang pun di kapal," kata Ayahnya. Nayma berguman tidak jelas tapi mau tidak mau menuruti perkataan Ayahnya.
Seperti pagi hari yang biasa dilakukannya, Nayma segera beranjak ke dapur dan mengambil sekeranjang penuh sayuran yang sudah disiapkan ibunya. Sayuran segar ini pasti baru dibeli ibunya dari penduduk setempat.
Nayma tersenyum menyadari jika sayuran ini akan diolahnya menjadi makan siang mereka.
"Ada juga beberapa ekor ikan hasil tangkapanku, bakal jadi perpaduan yang lezat dengan sayuran hijau ini." Sebuah suara menggagetkannya. Nayma menoleh dan hampir menjatuhkan keranjang sayurnya jika saja Arash tidak menangkapnya.
"Kamu menggagetkanku," ujarnya menggerutu. Arash terkekeh sambil mengembalikan keranjang sayur ke tangan Nayma.
"Sepertinya Paman Liong tidak ada di kapal," kata Arash kemudian.
"Ayah bersama Ibu sedang turun ke desa setempat untuk menjual dagangan mereka. Apa ada masalah? Nanti tunggu Ayah pulang saja jika kamu ingin membicarakannya," sahut Nayma.
"Tidak ada masalah apa pun. Aku baru saja datang dan mendapatkan kapal ini begitu sepi," jawab Arash.
"Ya sudah, ikannya aku letakkan di sini ya. Aku mulai kerja dulu," lanjutnya.
Nayma berguman kesal saat tidak berhasil menahan Arash untuk mengobrol sebentar lagi dengannya. Dia memang payah, baru saja Arash mengajaknya berbicara basa-basi seperti ini, dia sudah salah tingkah.
Sambil membuang napas panjang, dia mengambil tiga ekor ikan dengan ukuran yang lumayan besar yang tadi diletakkan Arash di dalam ember. Seketika Nayma merenung, dia begitu penasaran dengan kehidupan lelaki ini. Bagaimana kesehariannya, dan bagaimana hal lainnya.
Ah! Nayma mengusap keningnya perlahan. Ini salah, tidak seharusnya dia bersikap tidak tahu diri seperti ini. Arash orang asing baginya, sosok lelaki yang baru dikenalnya. Nayma membuang napas dan segera bergegas memulai memasaknya.
***
Nayma membawa nampan berisi makan siang Arash dengan tangan bergetar. Dia mengutuki dirinya sendiri yang begitu salah tingkah saat berhadapan dengan lelaki itu.
Ayah dan Ibunya belum pulang dan hari sudah semakin siang. Jika menunggu mereka pulang, lelaki itu pasti akan kelaparan. Tidak mungkin Nayma membiarkan Arash kelaparan sedangkan hidangan untuk makan siang mereka sudah siap.
Harusnya diacuhkannya saja lelaki itu. Nayma membuang napas dan mencoba berdamai dengan pikirannya.
"Apa Paman Liong belum kembali?" tanya Arash saat melihat Nayma menghampirinya. Nayma menggeleng dan kemudian meletakkan nampan makan siang Arash di sebelahnya.
"Makanlah, hari sudah siang" ucapnya.
Arash menatap wajah Nayma yang terlihat kebingungan. Gadis itu seperti ragu saat meletakkan nampan makan siangnya.
"Kenapa?" tanya Arash sambil berusaha membantu mengambil nampannya dari tangan Nayma.
"Oh...tidak apa-apa," sahutnya terbata.
"Aku kembali ke dalam dulu," lanjutnya dengan wajah menunduk. Semakin gadis itu bersikap aneh, Arash semakin penasaran dengan menatap wajah gadis itu dalam-dalam. Nayma memalingkan wajahnya dengan cepat dan segera beranjak dari hadapan lelaki itu. Dia dapat merasakan hawa panas mejalari wajahnya dengan perlahan.
Nayma menutup pintu kamarnya dan terdiam beberapa saat. Keanehan apa yang sebenarnya terjadi padanya? Nayma tidak pernah merasakan perasaan salah tingkah dan berdebar-debar seperti ini sebelumnya. Apa karena selama ini dia jarang bertemu dengan orang-orang?
Nayma membuang napas kesal dan terduduk di ujung tempat tidurnya. Matanya mengedar ke sekeliling kamarnya, rasanya begitu membosankan berada di kamar yang kecil ini. Nayma mendesah lagi, apa dia harus menunggu kedua orang tuanya kembali baru dia akan keluar dari kamar ini? Nayma berguman tidak jelas sambil mengintip dari jendela kamarnya yang terbuka.
Rasanya begitu membingungkan. Bagaimana bisa di saat yang bersamaan dia merasakan keinginan untuk bertemu dengan Arash tapi di saat yang bersamaan dia juga merasa berdebar saat berada di dekatnya.
Dari celah jendelanya yang terbuka, Nayma bisa menangkap sosok Arash yang sedang duduk memungunginya. Teriknya sinar matahari menerpa kulit punggungnya yang terbuka. Kilau kecoklatan tubuh lelaki itu membuat Nayma kagum tapi sedetik kemudian dia berusaha menghalaunya. Berapa kali pun Nayma mencoba untuk menggelak pada pesona lelaki itu, untuk kesekian kalinya juga hatinya berbohong dan indera penglihatannya akan berusaha mencuri pandang sosok itu lagi.
Dengan perlahan ditutupnya jendela kamarnya sehingga hanya menyisakan celah kecil. Nayma menggeleng, hatinya sedang berperang. Walaupun dia sadar sebentar lagi rasa penasarannya akan datang dan membawanya kembali pada kebodohan yang dilakukannya.
Kali ini kamarnya hanya bercahaya remang-remang, karena dia baru menutup jendela kamarnya tadi. Nayma seperti sedang memperingatkan dirinya sendiri untuk menghilangkan wajah Arash dari pikirannya. Matanya tertutup rapat. Nayma menarik napas panjang dan berharap saat dia membuka matanya kembali, tidak ada lagi Arash di pikirannya.
Nayma membuka matanya perlahan dan wajahnya mendadak pias saat melihat suatu benda berwarna kehitaman di dekat meja riasnya.
"Ular!!!" Dia berteriak sekuat mungkin dengan tangan gemetar. Nayma bergerak gelisah, kebingungan untuk keluar dari kamarnya.
Saat pikirannya sedang menahan rasa cemas dan bingung, seseorang mendorong jendela kamarnya dengan kasar dan melompat ke dalamnya.
"Ada apa?" tanya sosok yang melompat dari jendela tadi. Nayma terisak menahan rasa takutnya.
"Ular...," sahutnya sambil menunjuk binatang melata yang sedang melingkar di meja riasnya.
"Aku akan mengusirnya," kata Arash.
Nayma terduduk di atas tempat tidurnya tanpa berani turun. Rasa takut membuatnya seperti orang kebingungan. Dengan cepat Arash menangkap ular yang berwarna coklat kehitaman itu dan membawanya keluar kapal. Bukan ular besar, hanya seukuran lengan anak kecil. Tapi tetap saja membuat Nayma ketakutan.
"Sudah aku kembalikan ke hutan." Sebuah suara membuat Nayma mendongakkan kepalanya. Arash yang bertelanjang d**a membuatnya terdiam. Struktur tubuhnya yang terlihat kuat membuat Nayma berdebar kembali, apalagi warna kulitnya yang kecoklatan. Ah! Nayma menutup mulutnya menyadari hal bodoh yang dilakukanya.
"Kenapa? Apa kau terluka?" tanya Arash sambil mendekat ke arahnya. Dengan cepat Arash menarik tangan Nayma dan memperhatikannya dengan saksama.
"Ng...tidak...tidak ada! Aku...aku hanya takut," ucapnya terbata-bata.
"Kau pasti sangat ketakutan, tanganmu terasa sangat dingin," kata Arash masih dengan memegang kedua telapak tangannya.
"Wajahmu juga memerah," lanjut Arash sambil terus menatap wajah Nayma. Nayma kehilangan kata-kata saat Arash menyentuh wajahnya perlahan. (*)