4. Boleh Saja

1060 Words
Nayma masih bisa merasakan jantungnya yang berdebar kencang saat Arash menyentuh wajahnya tadi. Napasnya memburu, dia yakin ada yang tidak benar sedang terjadi padanya. Tapi sampai Arash beranjak pergi karena kedatangan kedua orang tuanya, Nayma belum juga mendapatkan jawaban. Dia mengelus wajahnya, berusaha merasakan kembali bagaimana tadi telapak tangan Arash menyusuri kulit wajahnya. Kontan Nayma menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dia merasa sangat malu dan berdebar. "Nayma, biar Ayah cek dulu kamarmu. Kata Arash, tadi ada ular yang masuk." Suara berat ayahnya membuatnya tersadar. "Sudah ditangkap Arash, Ayah," sahutnya saat membuka pintu kamarnya. "Siapa tahu ada ular yang lainnya lagi," balas ayahnya. Ular masuk ke dalam kapal sebenarnya bukan hal baru buat Nayma. Tapi tetap saja jika hal itu terjadi, dialah yang paling ketakutan. "Besok Ayah akan meminta bantuan Arash untuk memindahkan kamarmu. Sepertinya kamar ini membuat ular-ular betah," kata ayahnya lagi. Nayma tersenyum masam mendengar perkataan ayahnya. Entah karena memang khawatir padanya atau berniat menggodanya karena Nayma paling malas jika diminta merapikan kamarnya. "Kamarku di sini saja, Ayah. Aku tidak mau jika Ayah memindahkan kamarku ke kamar Kak Abie atau Kak Asei," tolaknya masih dengan wajah masamnya. "Besok akan kubersihkan kamarku, Ayah," lanjutnya lagi berharap Liong membatalkan rencananya. Nayma paling suka dengan kamarnya yang berada di ujung kamar ini. Dari balik jendela, dia bisa melihat semua pemandangan yang sedang dilewati oleh kapal mereka. "Arash akan membantumu," ujar Liong. Nayma mengernyit, heran dengan ucapan ayahnya. "Aku tidak memerlukan bantuan siapa pun, Ayah," tolaknya. "Iya, Ayah mengerti. Ayah cuma meminta bantuan Arash untuk memperbaiki jendela kamarmu yang rusak. Kenapa bisa sampai engselnya patah?" tanya Liong dan dijawab dengan gelengan kepala Nayma. Nayma mendesah, tidak mungkin dia menceritakan jika jendelanya rusak karena terjangan kaki Arash. "Baik Ayah," sahut Nayma akhirnya hanya agar ayahnya tidak berbicara panjang lebar lagi. Nayma menarik napas panjang setelah ayahnya meninggalkan kamar. Sebenarnya Nayma sudah tidak ingin berhubungan dengan Arash. Lelaki itu selalu saja mengacaukan perasaannya. Entah apa yang sebenarnya terjadi, pikiran dan perasaannya tidak bisa diajak bekerja sama. "Aku akan memperbaiki jendela kamarmu." Suara itu terdengar sangat jelas di telinganya. Nayma mengangkat wajahnya dengan ragu. Benar saja sosok lelaki bermata gelap itu sedang berdiri di luar kamar, tepat di sebelah jendela. "Besok saja. Kamu pasti sudah kelelahan," sahut Nayma dengan suara bergetar. "Tidak. Aku tidak mungkin membiarkanmu tidur dengan jendela rusak malam ini," tolaknya sambil mengeluarkan perlalatannya. Nayma tercengang tapi tidak bisa menolaknya. "Lagi pula ini karena kesalahanku," lanjutnya lagi. Hening, tidak ada yang memulai pembicaraan lagi. Yang terdengar selanjutnya hanya dentingan suara palu yang beradu dengan kayu. Nayma ingin beranjak dari kamarnya, tapi merasa tidak enak jika meninggalkan Arash tanpa bicara apa pun. Nayma merasa kesal dengan dirinya yang terlihat bodoh saat berhadapan dengan lelaki ini. "Sebelum gelap, jendelamu sudah akan selesai diperbaiki." Suara itu memecah keheningan. Nayma mengangguk-anggukan kepalanya tanda dia merespon ucapan Arash. "Aku akan memasang jala di ventilasi jendela ini, agar ular atau pun binatang lain tidak bisa masuk." Arash masih terus berbicara sementara Nayma masih terpaku tanpa kata. "Maaf kalau merepotkan," ujar Nayma akhirnya. "Jangan merasa bersalah. Seharusnya akulah yang meminta maaf," ucap Arash sambil menoleh ke arah Nayma sekilas. "Maaf sudah merusak jendela kamarmu," lanjutnya. Nayma tersenyum menahan geli di dalam hatinya. Bukankah jendela kamarnya dirusak karena teriakannya? Sudah seharusnya permintaan maaf ini dihentikan. "Tidak apa-apa. Terima kasih karena sudah menolongku tadi," kata Nayma akhirnya. Arash menyahut ucapan Nayma dengan gumaman tidak jelas dan membuat mereka kembali terdiam. "Adik perempuanku sangat menyukai kue buatanmu," kata Arash tiba-tiba. Nayma mengernyitkan keningnya, seingatnya dia tidak pernah bertemu dengan adik perempuan Arash. "Aku belum pernah bertemu dengannya," sahut Nayma. "Iya, memang belum. Kemarin aku membawa pulang kue buatanmu," kata Arash. "Syukurlah, akan kubuatkan lagi nanti," kata Nayma riang. "Mau ke rumahku?" tawar Arash tiba-tiba. Mata Nayma membesar, antara kaget dan tidak percaya dengan ucapan Arash. "Maksudku, mau bertemu adik perempuanku? Dia memang masih anak-anak, tapi kurasa kalian bisa jadi teman baik." Arash meralat ucapanya sambil tangannya tetap bekerja memperbaiki jendela kamar Nayma. "Bolehkah?" tanya Nayma tidak percaya. Seuumur hidupnya yang dihabiskan di dalam kapal, Nayma tidak memilik teman. Orang-orang yang bisa dianggapnya teman hanya orang tua dan kedua kakak lelakinya. Apakah sama rasanya jika dia memiliki teman yang lain. "Tentu saja," jawab Arash yakin. "Kapan aku bisa bertemu dengannya?" tanya Nayma bersemangat. "Kapan saja bisa," sahut Arash. "Ah...tapi pasti tidak bisa. Ayah selalu melarangku keluar dari kapal," timpal Nayma dengan wajah murung. "Tidak bisakah kau membawanya ke sini?" pinta Nayma penuh harap. "Tempat tinggalku lumayan jauh. Begini saja, besok aku akan meminta ijin pada Paman Liong," usul Arash. Nayma menggeleng, tidak percaya pada usul Arash yang dirasanya akan sia-sia. "Tidak akan berhasil. Bahkan jika aku pergi dengan kedua kakakku saja, juga tidak pernah diijinkan oleh Ayah," kata Nayma. "Aku tidak boleh ke luar dari kapal jika tidak bersama Ayah atau Ibu," lanjutnya. "Pasti diijinkan, aku perayu paling ulung. Jangan kau ragukan," ucap Arash sambil terkekeh. "Kebetulan besok Paman Liong memintaku menyusul ke dua kakakmu ke kota. Kita akan melewati desaku sebelum sampai ke kota dan kau boleh mampir sebentar," jelas Arash. Nayma membuang napas panjang, tetap saja ayahnya tidak akan mengijinkannya pergi. Bersama kakaknya saja tidak boleh apalagi dengan Arash yang bari beberapa hari dikenalnya. "Kau seperti tidak percaya padaku." Arash melirik Nayma setelah menyelesaikan kalimatnya. "Eh...bukan begitu. Kau belum kenal ayahku saja," balas Nayma tidak enak. "Kau juga belum kenal aku. Lihat saja, ayahmu pasti akan mengijinkan kita pergi." Arash seperti menirukan ucapan Nayma. "Kalau berhasil, artinya kau adalah orang pertama yang berhasil membawaku ke luar dari kapal ini," ujar Nayma dengan wajah serius. Arash tergelak karena wajah serius Nayma terlihat lucu. "Bagaimana kalau kita mencobanya?" Arash memiringkan kepalanya berusaha menatap wajahnya. Nayma terdiam karena salah tingkah dan tak lama terdengar langkah-langkah berat mendekat ke arah mereka. "Padahal aku memintamu untuk mengerjakannya besok." Liong melangkah masuk ke kamar putrinya dan berdiri di depan jendela. "Tidak apa-apa, Paman. Lagi pula tidak ada yang bisa kukerjakan lagi karena menunggu alat-alat yang sedang di kota," sahut Arash. "Ayah...." Nayma menahan ucapanya sejenak dan menatap ke arah Arash, seketika dia tidak yakin semua ini akan berhasil. "Paman, besok Paman memintaku ke kota untuk menyusul Abie dan Asei. Bolehkan Nayma ikut denganku?" potong Arash sebelum Nayma menuntaskan ucapannya. Hening, tidak ada jawaban dari Liong. Nayma mengira Ayahnya akan menggantung Arash hidup-hidup karena permintaan lancangnya itu. "Boleh, bawa saja. Dia juga sudah lama tidak kemana-mana," sahut Liong. (*)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD