Satu: Office girl yang sembunyi di balik lift
Jasmine sedang mengangkat sebuah ember berisi alat pel dan air yang telah bercampur dengan cairan pembersih lantai menuju ke bagian toilet perempuan saat ia berpapasan dengan July yang baru saja keluar dari sana. Dengan kikuk ia tersenyum lalu cepat -cepat menundukkan wajahnya, sambil berusaha sibuk dengan benda yang ia bawa sedari tadi. Namun hal itu ternyata tak menyurut kan niat July untuk menegurnya.
" Jasmine, apa kabar? "
Mendengar sapaan wanita itu, Jasmine serta merta kaget. Sudah terlalu sering ia berusaha menghindar dari July, tapi hari ini mereka bertemu dan saat July menyapanya adalah hal terakhir yang diinginkan oleh Jasmine.
" Ba.. baik, mbak. Alhamdulillah sehat." katanya parau.
July lalu tersenyum.
" Biasa aja kali, Jas... nggak usah panggil mbak. "
Jasmine menggaruk - garuk kepalanya yang tak gatal. Tangannya yang satu lagi masih memegang ember. Lalu dirinya menatap penampilan July dari atas sampai ke bawah dengan seksama. Lalu tersenyum getir. July memang teman satu sekolahnya dulu saat SMA. Mereka satu angkatan hanya berbeda kelas. Saat ini, enam tahun kemudian, mereka berdua berdiri dengan kehidupan yang berbeda. July yang cantik dengan wajah bak dipahat seindah patung dewi Yunani memakai pakaian mahal keluaran terbaru dan berbau harum parfum mahal dan sepatu yang dalam mimpi saja dia tidak sanggup membayangkannya. Sementara Jasmine sendiri, dengan seragam office girl nya, hanya memakai sepatu murahan yang ia beli dipasar malam,kaus kaki hitam yang sudah kendor dan ia ganjal dengan karet gelang agar tetap bisa dipakai, wajah seadanya tanpa polesan.
Keadaan itu sungguh membuatnya minder. Ia sering sekali berusaha menghindari July. Apa ia pantas ber "hi" ria dengan gadis itu? July adalah sekretaris direktur, sementara dirinya adalah office girl, kasta pekerja paling bawah di perusahaan itu. Ia bahkan bukan pegawai perusahaan tempat ia bekerja saat ini. Perusahaan yang memperkerjakannya adalah perusahaan outsourcing, dan ia ditempatkan di perusahaan ini sejak dua tahun lalu.
Walaupun sebelumnya ia pernah bekerja di tempat lain sebagai pelayan rumah makan dan penjaga kantin di sebuah pabrik.
Tidak.
Ia cukup tahu diri. Memang pernah sekali ia memanggil July dengan namanya, lalu supervisornya yang kebetulan lewat langsung menegur Jasmine agar tidak berbuat lancang lagi. Sejak itulah Jasmine bersikap hari-hati.
" Nggak apa - apa. Saya nggak enak sama yang lainnya." Kata gadis itu.
July menggeleng pelan.
" Idih, apa - apaan sih kamu, Jas. Biasa aja. Kita kan temen. Oh iya, kamu sudah makan, belum? kita makan yuk. Kan sudah waktu makan siang. Ada Rhein juga mau datang. Kamu gabung ya sama kita?" pintanya.
Mendengar nama Rhein disebut, jantung Jasmine berdetak lebih cepat. Pemuda itu lagi- lagi mampir ke sini. Tentu saja ia akan menemui July. Ia menelan ludah dengan susah payah. Alangkah tampak konyol jika mereka terlihat bersama, seorang sekretaris direktur, lalu seorang CEO perusahaan periklanan yang terkenal tampan, kaya, sukses dan berbakat makan siang bersama dengan seorang office girl kumal seperti dirinya.
Ia menggeleng pelan.
" Maaf mbak, nggak bisa. Tadi staff direksi nitip dibeliin makan siang. Sebentar lagi saya mau keluar. Tapi terima kasih tawarannya."
Raut wajah July nampak kecewa. Lalu ia dengan cepat menarik tangan Jasmine yang bebas.
" Jasmine, ih. Sok sibuk banget. Rhein sering banget loh kesini, tapi kalian nggak sempet ketemu. Kadang dia juga cari kamu, tapi kamunya nggak ada di manapun. Kalian kan teman akrab dulu waktu SMA.Apa kamu nggak kangen?"
Kangen
Ingin rasanya Jasmine menjawab ucapan July itu. Tapi ia sangat sadar dengan keadaannya saat ini. Dirinya bukan apa - apa dan bukan siapa -siapa. Ia merasa tidak pantas, bahkan tidak berhak memimpikan semua itu. Karena itu iya hanya tersenyum kecut, sebagai jawaban dari pertanyaan July.
Beberapa detik kemudian mereka dikagetkan dengan suara ringtone monofonik milik Jasmine yang berbunyi nyaring. Sebuah ponsel jadul pemberian ayahnya delapan tahun yang lalu.
" Iya mbak Nina..."
" Dek udah dibeli belom pesenan mbak? Udah laper banget ini. Kamu dimana sih? Cepetan dong. Si Budi sama Ami pesen lotek sama sate padang. Kamu talangin dulu ya, ntar kita ganti. Jangan lupa sama es selendang mayang di sebelah tukang rujak tuh. Cepetan yah, ntar anak mbak diperut ngiler nih. "
Yang menelepon adalah wakil HRD. Dari nadanya yang tidak sabar,sudah jelas wanita itu menyuruh Jasmine menjadi tukang beli makanan padahal berdasarkan job description mereka, pekerjaan itu bukanlah tugas office boy dan girl. Namun tak jarang para pegawai perusahaan meminta mereka dengan alasan malas bergerak atau tidak mau bersusah payah mengantri berjejalan di warung pinggir jalan dengan kondisi matahari,yang terik dan ganas menyerbu mereka.
" Iya, mbak Nina. Sebentar ya. Saya masih ada tugas sebentar. " balas Jasmine.
Lalu terdengar nada protes dari seberang dan Jasmine terpaksa harus menutup ujung speakernya lalu menatap July yang sedari tadi menunggu jawabannya.
" Maaf ya, mbak. Ini aja mbak Nina HRD udah nelepon nanyain pesenannya. Saya nggak bisa ikut gabung. Tapi terima kasih sudah mau mengajak. "
Setelah itu, Jasmine masuk ke dalam toilet perempuan dan memasukkan peralatan kebersihan yang sedari tadi ia bawa ke dalam ruangan kecil disamping salah satu bilik toilet, sementara July menggelengkan kepalanya, lalu bergegas meninggalkan gadis itu.
*
Rhein Ararya Agnibrata memasuki gedung perusahaan ekspor impor tempat July dan Jasmine bekerja. Ia baru saja kembali dari Jepang, tempatnya melakukan perjalanan bisnis selama satu setengah bulan, lalu sesaat setelah ia menginjakkan kaki di Jakarta, ponselnya berbunyi, dan sebuah pesan dari July meminta dirinya bertemu di kantornya. Mereka akan makan siang bersama, maka Rhein kemudian tidak merasa sama sekali kesusahan untuk menjemput July juga.
Dan disinilah dia, di lobby utama PT. Chandrawarna yang megah saat July memintanya menunggu selama lima menit sebelum gadis itu turun dengan lift. Rhein memutuskan duduk disebuah sofa empuk di pojok lobby yang berdinding kaca sehingga siapa saja bisa melihat aktivitas diluar gedung dengan leluasa. Ia baru saja hendak mengeluarkan ponselnya ketika dilihatnya July keluar dari lift dan dengan riang berjalan menuju ke arahnya sambil melambaikan tangan.
Rhein segera berdiri menyambutnya, lalu mereka berpelukan.
July tampak cantik dengan kemeja sutra berwarna putih dengan motif bunga - bunga mawar yang berwarna merah segar, dipadu dengan rok pensil berwarna merah yang ketat membalut pinggul dan pahanya. Stiletto cantik yang juga berwarna merah menambah kesan seksi pada dirinya.
" Rhein nggak lama kan nunggu aku? Tadi si bos nelepon sebentar. "
Rhein tersenyum sambil menggeleng kecil.
" Nggak. Aku juga baru sampai kok. Jadi kita mau makan dimana?"
July sedikit mengerutkan keningnya tanda berpikir sejenak sebelum ia memutuskan berbicara.
" Aku kepingin makan dim sum sih, tapi takutnya nggak kenyang. hihihi. Apa kita makan nasi bakar aja, Rhein? Di dekat sini ada restoran baru buka. "
Rhein mengangguk mengiyakan.
" Boleh. Aku sudah lama nggak makan nasi bakar. Yuk kita kesana."
July mengangguk. Lalu mereka berjalan menuju parkiran mobil. Namun belum sampai satu langkah, saat berbalik Rhein mendapati Jasmine yang beru saja kembali dari beberapa rumah makan di luar, menyelesaikan tugasnya membelikan pesanan para pegawai, masuk dengan tergopoh-gopoh sambil membawa beberapa kantung berisi makanan dan juga es titipan wakil HRD.
Gadis itu tidak menyadari kehadirannya dan masih sibuk dengan tentengan di tangannya, saat sebuah lift terbuka dan ia berusaha mengejar masuk namun terlambat. Lift terlanjur penuh karena ada banyak pegawai yang saat itu berdiri di pintu lift beranjak masuk.
Lalu ia disana. Menunggu lift itu kembali setelah mengantarkan para pegawai yang mendahului gadis itu. Jasmine menghela napasnya lalu menyeka keringat yang muncul di dahinya dengan ujung siku. Sungguh repot karena kedua tangannya penuh belanjaan dan ia tidak berniat meletakkan semua itu ke lantai. Kemudian, ia memperbaiki pernapasannya yang sempat kacau karena berlari tadi. Jantungnya masih berdetak kencang.
Rhein melihat semua yang ia lakukan. Mencoba mencerna dengan baik seperti apa sosok Jasmine yang sekarang berbanding terbalik dengan dirinya beberapa tahun yang lalu. Tubuh Jasmine tampak lebih kurus dari saat terakhir ia melihatnya. wajahnya nampak pucat, tidak merona seperti saat mereka di SMA dula dimana wajah Jasmine akan mudah sekali memerah seperti tomat saat ia menggodanya. Raut wajah gadis itu tampak lebih keras. Pertanda ia telah jarang sekali tersenyum pada siapapun kecuali memang kepada siapapun yang ia diharuskan tersenyum karena tuntutan pekerjaannya.
Dulu mereka sangat akrab. Bahkan July saja tidak sanggup memisahkan mereka. Kecuali setelah peristiwa itu. Saat ayah Jasmine meninggal dan Ibunya mengusir Jasmine. Saat itu juga, persahabatan mereka terputus. Jasmine menghilang selama beberapa bulan setelah Ujian Nasional. Padahal ia sudah bersusah payah mencarinya. Bahkan tahun pertama masa perkuliahannya hampir terlantar karena usahanya mencari gadis itu. Mereka bertemu, pada akhirnya. Namun yang ia temukan adalah Jasmine yang telah berubah. Kehidupan telah merubahnya,juga persahabatan mereka. Jasmine menjauh tanpa sempat Rhein menawarkan apapun untuknya bahkan menganggap seolah pemuda itu tidak pernah ada lagi.
" Rhein..."
Suara July menyadarkan lamunan pemuda itu. Saat ia menoleh, ia tahu July berpikir hal yang sama dengan yang ia pikirkan.
" Kamu nggak mau bicara sama Jasmine? Mumpung ada dia disini. " katanya.
" Aku mau. Tapi aku selalu tahu akan seperti apa jadinya bila aku memaksa. Memastikan bahwa ia baik- baik saja, sudah lebih dari cukup buatku, July. Walau aku sungguh ingin, dia sendiri yang mengatakan kepadaku keadaanya."
Rhein tersenyum getir. Sungguh hal yang menyiksa sekali mendapati kenyataan seperti ini. Ia dan July hidup dengan sangat berkecukupan, sementara Jasmine harus berjuang seorang diri. Padahal dulu mereka lebih dekat dari apapun tak ada yang mampu memisahkan. Kini, melihat Jasmine dari jauh pun adalah sebuah anugerah buat Rhein.
July menepuk pundak pemuda itu mencoba membesarkan hatinya. Ia memberi Rhein kesempatan untuk lebih lama memandangi Jasmine dengan leluasa walau tak lama kemudian lift kembali terbuka dan Jasmine bergegas masuk. Saat gadis itu berbalik, akhirnya mata mereka bertemu. Jasmine akhirnya menatap wajah Rhein setelah sekian lama.
Namun hanya sesaat. Jasmine segera menundukkan kepalanya, lalu pintu lift mulai menutup.