Dua: CEO rasa detektif

1970 Words
Azan magrib baru saja selesai dikumandangkan saat Jasmine membuka pintu kamar kost nya. sebuah bedeng 1 petak yang langsung terlihat kasur dan beberapa peralatan masak seadanya jika Jasmine membuka pintu. Kamar itulah yang ia tempati sejak beberapa tahun terakhir, tepatnya sejak ia meninggalkan rumahnya enam tahun yang lalu. Ia tinggal disitu bukan karena merasa betah, tapi tempat itulah satu-satunya yang sanggup ia bayar. Lagipula, ia hidup sendiri. Kamar kos itu hanya berfungsi sebagai tempat istirahat baginya, tidak lebih karena sebagian besar waktu Jasmine ia habiskan di kantor. Jadi,mau tidak mau, karena alasan sebagai tempat sekedar melepas rasa penat saja dia sengaja bertahan. Jasmine meletakkan sepatunya ke sebuah rak kecil dekat pintu lalu kemudian mengambil sepasang sendal yang sudah usang, untuk dipakainya menuju kamar mandi yang berada diluar kamar. Pemilik kos membuat kamar mandi terpisah dari petak-petak kamar dengan alasan efisiensi. Toh tidak setiap menit orang-orang ke kamar mandi. Lagipula kebanyakan penghuni kost menghabiskan waktu di luar lebih banyak daripada di rumah. Jasmine menghela napasnya saat kamar mandi terakhir yang ia tuju berisi orang. Padahal sebelum ia masuk kamar tadi ia yakin belum ada siapapun disitu. Ia lalu memutuskan untuk menuju keran yang tersedia di sebelah kamar mandi yang diperuntukkan sebagai tempat mencuci baju para penyewa lalu mengambil air wudhu disana. * Sakit kepala itu datang lagi seusai Jasmine menunaikan sholat magrib. Dengan tergesa, ia melepaskan mukenanya dan menuju kasur tipis disamping tempat sholatnya dan ia berbaring dengan gemetar sambil memejamkan matanya. Sakit itu begitu luar biasa sampai dia nyaris pingsan namun ia tetap bertahan. setelah satu atau dua jam, biasanya akan reda sendiri lalu ia akan mengambil obat dan meminumnya, segera ia akan merasa lebih baik. Tapi tidak untuk saat ini, bisa bernapas diantara serangan menjijikkan ini saja dia sudah bersyukur. Seperti rasa syukurnya bisa melihat Rhein hari ini.  Rhein luar biasa tampan hari ini dan ia bohong kalau bilang tidak merindukannya. Terakhir kali mereka bertemu sekitar dua bulan lalu saat Jasmine sedang menyapu halaman kantor yang pohon-pohonnya baru saja dipangkas. Ia tidak sendirian karena beberapa office boys dan girls lain membantunya, tapi dengan jeniusnya Rhein langsung tau kalau dia ada disana. Pemuda itu mendekatinya, dan Jasmine serasa diserang oleh serangan jantung mendadak. Selama beberapa menit mereka bicara, Jasmine terus memegang sapu yang ia pakai dengan erat, takut ia benar -benar pingsan saat itu. Benar, ia merasa sangat tidak percaya diri saat bertemu dengan Rhein. Ia minder dengan keadaannya dan merasa sangat malu karena pemuda itu terus menemuinya. Beberapa rekan OB dan juga seorang seniornya, Bu Tanti sering sekali men " ciee" kan Jasmine, tepat saat ada July. Ia jadi bertambah tidak enak. Karena itu, sekarang dia memutuskan lebih banyak menghindar jika ada mereka berdua. Walau pertemuan seperti tadi tidak bisa terhindarkan. Andai dulu ayahnya tidak meninggal. Mereka pasti masih bisa bersama. Dengan ibunya juga tentu saja. Ibu yang lebih memilih mengusir Jasmine daripada berpisah dengan pria yang nyaris memperkosanya. Yang ibunya lebih percayai daripada dirinya yang adalah darah daging ibunya. Andai ayahnya masih hidup, Jasmine pasti tidak akan semerana ini. Ditengah deras hujan dimana ia hampir menabrakkan dirinya ke sebuah truk, ibu guru kesayangannya menyelamatkan nyawa Jasmine. Menampungnya beberapa hari sampai ia selesai Ujian Nasional, namun tidak bisa mempertahankan gadis itu lebih lama karena Jasmine merasa membebani janda beranak tiga tersebut. Ia menjual satu -satunya harta yang sempat ia bawa, sebuah kalung emas pemberian ayahnya untuk bertahan hidup selama beberapa bulan, lalu ia menemukan tempat kost ini tak lama diterima bekerja sebagai pegawai rumah makan.  Jasmine masih sempat menerima ijazah SMA, dan hanya itulah modal yang ia pakai untuk melamar bekerja. Sayang tidak banyak tempat lagi mau menampung tamatan SMA. Ia akhirnya diterima sebagai Office Girl setelah menunggu hampir satu tahun lamanya. Gajinya meningkat tapi tidak banyak. Biasanya akan habis tepat diakhir bulan, karena ia harus menebus obat untuk penyakit yang ia alami. Ah. Ibunya juga tidak akan tega mengusirnya jika ia tidak menderita penyakit ini. Tapi nyatanya, ia memang menderita penyakit ini. Penyakit yang sama yang merenggut nyawa ayahnya. Ia tahu dan paham sekali kenapa ibunya tidak mempertahankannya. Penyakit ini menghabiskan banyak uang. Itulah juga menjadi penyebab ibunya segera menikah lagi. Ia tak sanggup menanggung hutang banyak dan hidup dalam kemiskinan. Air mata Jasmine meleleh selagi ia membayangkan semua itu. Ia merasa tidak layak bedekatan dengan Rhein. Walau seluruh masa kecil mereka habiskan bersama. Mereka adalah tetangga dan jelas menjadi sahabat yang dekat. Ketika berada di kelas tiga SMA July kemudian hadir. Saat yang sama juga ayah Jasmine mendadak lemah dan butuh perhatian lebih.  Dua jam kemudian rasa sakit itu perlahan lenyap. Jasmine mencoba mengerjapkan matanya yang masih basah lalu memutuskan bangkit dengan perlahan untuk meraih botol obat yang ia letakkan di sebuah meja kecil tak jauh dari kasurnya. Botol obat itu jauh lebih ringan daripada beberapa hari lalu. Pertanda sudah tak lama lagi isinya akan habis.  Jasmine mengambil sebutir , lalu mengambil segelas air dan meminumnya. Setelah menelan obatnya ia menghela napas lega. Kemudian matanya beradu pada sebuah pigura kecil. Ada foto berukuran 3x4 didalamnya. Satu -satunya yang dapat ia temukan di dompetnya enam tahun lalu. Sebuah pas foto hitam putih dengan wajah ayahnya berada disana. Jasmine mengelus pinggir bingkai itu dengan kasih sayang yang meluap- luap. Sudah enam tahun mereka berpisah dan Jasmine dengan jujur mengakui rindu kepada ayahnya benar-benar tak bisa ditahan lagi. Tapi ia tahu, tenggelam dalam kesedihan meratapi ayahnya tidak akan mengembalikan beliau disisinya. Maka, setelahnya Jasmine akan mengirimkan doa kepada ayahnya agar beliau merasa tentram disana. * Tiiin! Tiin!  Suara klakson mobil yang nyaring membuat Jasmine buru- buru bergegas mendorong sebuah tempat sampah besar beroda kearah yang lebih sepi sampai ia menyadari mobil yang tadi memberi klakson adalah mobil Rhein. Pemuda itu melambai dari balik jendela yang terbuka, sebelum ia memastikan tidak ada mobil lain dibelakangnya, Rhein memutuskan memarkir mobilnya tak jauh dari situ. Jasmine hanya melirik sekilas, merasa tahu apa tujuan pemuda itu ke kantor, apalagi kalau bukan untuk bertemu July, dia memutuskan tetap mendorong tempat sampah tersebut. Tidak lama ia tiba di tempat pembuangan. Dengan cekatan Jasmine menarik rubbish bag atau kantong sampah besar berwarna hitam keluar dari tempat sampah yg ia bawa menuju bak besar yang tersedia di bagian belakang kantor. Setelah meletakkan kantong sampah itu pada tempatnya, ia lalu menutup tempat sampah yang ia bawa, lalu kembali mendorongnya untuk dibawa masuk ke dalam kantor.  Lalu ia melihat sosok Rhein berdiri menatapnya, tak jauh dari tempat Jasmine berada. Pemuda itu tersenyum memandang Jasmine. Namun gadis itu hanya menatapnya kikuk.  " Jasmine, apa kabar?" Gadis itu mengangguk lemah.  " Idih, Jas, sombong banget sih." gerutu Rhein kemudian. Namun ia segera tersenyum melihat Jasmine salah tingkah. " Kabar baik, Rhein. Kamu mau cari July? "  Pemuda itu menggeleng.  " Enggak juga, sih. July nggak ada di kantornya. Meeting di luar kayaknya. Aku kebetulan lewat sini pas ngeliat kamu. Shift kamu udah selesai? Kita makan yuk?" Katanya santai sementara mendengar ajakannya itu, Jasmine langsung menatapnya horor. Rhein mengajaknya makan bareng? yang benar saja. Apa pemuda itu tidak lihat kondisinya saat ini sedang memegang tempat sampah, jauh dari kata keren untuk bisa diajak oleh pemuda sepertinya. " Idih, biasa aja kenapa sih, Jas. Kayak nggak pernah diajak makan aja sama aku. Yuk ikut, aku laper nih belom makan dari siang." Jasmine menghela napasnya dengan berat mendengar ajakan pemuda itu. Dia sudah menduga hal ini akan terjadi. Toh tidak hanya sekali Rhein mengajaknya. Sudah berkali- kali malah dan sejujurnya Jasmine lelah terus menolak. Pemuda itu tetap tidak mau mengerti. Kondisi mereka saat ini sudah jauh beda. Dia bukan lagi Jasmine yang dulu. Lagipula kenapa Rhein tidak merasa malu dengan terang-terangan mengajaknya padahal pemuda itu berhubungan dengan July.  Jasmine menggeleng dan hal itu langsung membuat senyum yang terkembang dari wajah Rhein nyaris hilang.  " Aku masih ada urusan habis ini, nggak bisa menemani kamu." katanya yang segera disambut protes oleh pemuda itu.  " Kalo soal kerjaan, aku tahu pasti, shift kamu udah habis. Tadi aku nanyain sama temenmu si Wantok itu. Jadi kamu nggak bisa bohong."  Ingin rasanya Jasmine menggetok kepala Wantok, yang berani -beraninya membocorkan jadwal kerjanya seenak hati apalagi kepada Rhein. Sekarang dia harus beralasan apa lagi agar pemuda itu mau mengerti? " Sudah deh, Jas. Kamu nggak usah mikir yang macem- macem lagi. Pokoknya kamu selesain urusan kamu, aku tunggu di lobby. Kita makan yang enak habis ini. OK?" " Aku nggak bohong bilang kalau ada urusan habis ini..." seru Jasmine panik yang langsung dihadiahi tatapan penuh selidik oleh Rhein. " Urusan apa sih? Kan bisa sama aku perginya, sekalian selesai kita makan." " Aku mau ke pasar. Kamu pasti nggak mau ikut. Disana becek dan bau. Lagian, pasar kalo sore cepet tutup. Aku mesti buru-buru kesana. " Jasmine yakin setelah ia mengatakan kata becek dan bau, Rhein mengundurkan niatnya. Namun ternyata Rhein mengatakan sebaliknya.  " Oke. Kita kepasar, habis itu kita makan. Pokoknya kamu harus mau. Sudah berapa kali aku nyari kamu, ngajak makan doang, susah banget sih, Jas. Kayak aku mau ketemu klien penting saking susahnya. " ia tersenyum dengan manis sekali yang membuat Jasmine tertegun. Pasti ada yang salah di pikiran pemuda itu sampai berani tanpa malu mengajaknya makan. Sedangkan Jasmine sendiri sudah menolak karena ia tahu, hubungan persahabatannya dengan Rhein sudah selesai sejak lama. Bahkan Jasmine sering sekali menghindar agar pemuda itu tahu, Jasmine tidak ingin menyakiti hati July. Lagipula kenapa Rhein tidak malu terus.mengajaknya bicara di tempat seperti ini. Dia cuma pegawai rendah yang tidak pantas bergaul dengan mereka.  Jasmine hampir berteriak saat dia menyadari pemuda itu tengah mendorong tempat sampah yang harusnya ia bawa menuju ke dalam gedung. Bahkan Jasmine nyaris tersandung saat mengejar Rhein yang tanpa rasa malu membantunya.  * Pasar sore dekat perusahaan tempat Jasmine bekerja sudah buka saat mereka tiba. Pengunjungnya pun mulai ramai. Sesungguhnya tempat itu tidak bisa dikatakan kotor dan becek. Karena mengambil bahu kiri dan kanan jalan. Lebih tepatnya disebut pasar dadakan yang cuma ada selama dua jam yaitu dari jam empat sampai jam enam sore. Yang dijual juga beragam, mulai dari sayuran, perabotan, bahkan pakaian dan sepatu. Jasmine lebih sering belanja di situ karena selain dekat kantornya, dia tak perlu bersusah payah lagi naik turun angkot hanya untuk belanja ke pasar apalagi jadwal kerjanya yang harus siaga di pagi hari membuatnya sering tidak sempat melakukannya. Jasmine berjalan pelan sambil melihat- lihat para pedagang sibuk dengan dagangan mereka sementara Rhein berjalan disampingnya. Bagi Rhein, ini adalah pengalamannya yang pertama kali mengunjungi pasar sejak dia SMA. Setelahnya ia hanya menemani ibunya ke supermarket, atau mampir ke warung tetangga namun itupun sangat jarang, karena segera setelah ia lulus SMA, Rhein kuliah di Inggris. Saat kembali, ia sudah sibuk dengan perusahaan yang ia rintis saat kuliah, sebuah proyek e- commerce sederhana yang kemudian jadi besar. Dalam hitungan bulan, Rhein berhasil menjadi pengusaha muda yang sangat diperhitungkan dalam dunia bisnis. Namanya malah sering disebut -sebut dalam majalah bisnis nasional dan luar negeri, dengan prospek perusahaannya yang menjanjikan. Ia juga menjadi incaran banyak wanita lajang yang berusaha mengejar cintanya, siapa yang bisa menolak pesona pemuda tampan dan kaya raya, bukan. Rhein sibuk melirik lapak penjual pakaian dalam yang berada tak jauh dari lapak tukang sayur tempat Jasmine sibuk bertransaksi saat ini ketika didengarnya gadis itu berbicara pelan.  " Rhein jangan jauh-jauh dari aku." Rhein menoleh dan tersenyum. " Kenapa, Jas? Kamu takut aku hilang ya? " Jasmine membelalakkan matanya melihat kepedean tingkat tinggi milik pemuda itu. Ia baru saja selesai membayar belanjaannya, sekilo tomat matang sudah berpindah ketangannya. Lalu dengan santai ia melenggang melewati Rhein.  " Yang bener aja. Ada dua bapak - bapak tuh ngincer dompet kamu dari tadi. Kamu geer banget." " What?! Jasmine, yang bener aja kamu, mau- maunya belanja disini. Ayo pergi. " Serunya panik sambil menarik tangan gadis itu yang sedang tertawa tertahan.  " Bentar Rhein, Aku belum beli kubis. " katanya. " Bodoh amat sama kubis kamu. Abis ini aku beliin kamu kubis sekarung. Jangan belanja disini lagi." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD